Menakar Eksistensi Keadilan dan Rasionalitas dalam RUU KUP

Menakar Eksistensi Keadilan dan Rasionalitas dalam RUU KUP

Oleh : Mega Ria dan Khansa Fairuz (Bapernas FoSSEI 2020/2021)

Wacana terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang sebelumnya 10 persen muncul ke permukaan. Ketentuan tersebut terdapat pada draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang akan dibahas oleh DPR. Kendati demikian, tarif PPN sebesar 12 persen dapat diubah menjadi sebesar 5 persen paling rendah dan 25 persen paling tinggi. Hal tersebut diatur pada pasal tambahan, yakni Pasal 7A yang menuliskan bahwa  PPN dapat diterapkan dalam skema multitarif, tergantung jenis barang dan jasa (Ulya, 2021e).

Salah satu hal yang menjadi kontroversi di tengah masyarakat adalah rencana Pemerintah yang akan memasang tarif PPN untuk sembako. Adapun jenis sembako yang bakal dikenakan PPN meliputi gula konsumsi, garam konsumsi, gabah, beras, jagung, kedelai, sagu, daging, telur, sayur-sayuran, buah-buahan, bumbu-bumbuan, serta umbi-umbian (Anwar, 2021; Sahara, 2021b, 2021a; Ulya, 2021d, 2021c, 2021b). Sebelumnya, barang-barang tersebut dikecualikan dalam PPN yang diatur dalam aturan turunan, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017. Namun, dalam draf RUU pasal 4A, sembako dihapus dalam kelompok barang yang tidak dikenai PPN.

Selain sembako, RUU KUP juga menghapus beberapa barang hasil tambang maupun hasil pengeboran yang semula tidak dikenai PPN, seperti gas bumi (bukan elpji), panas bumi, asbes, bijih besi, dan lain sebagainya (Sahara, 2021b; Ulya, 2020, 2021b). Lebih jauh, pemerintah juga menambah objek dalam sektor jasa yang akan dikenai PPN, meliputi pendidikan, asuransi, penyiaran tidak bersifat iklan, pengiriman uang dengan wesel pos, keuangan, pelayanan sosial, pelayanan kesehatan medis, pegiriman surat dengan perangko, angkutan umum di air dan di darat, angkutan udara luar dan dalam negeri, serta telepon umum dengan menggunakan uang logam (Sahara, 2021b; Ulya, 2021d, 2021b). Sementara itu, kategori jasa bebas PPN dalam RUU KUP, yakni jasa-jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, kesenian dan hiburan, perhotelan, penyediaan tempa parkir, boga, dan keagamaan

Pengecualian PPN di satu sisi berpotensi mendistorsi dan mengurangi netralitas dari sistem yang selanjutnya dapat berdampak bagi optimalisasi kinerjanya. Sejalan dengan hal tersebut, OECD, World Bank, dan IMF memberi rekomendasi kepada Indonesia untuk mengurangi jumlah barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN sebagai strategi broadening tax base. Alih-alih mengecualikan pajak untuk sembako yang bisa dinikmati pula oleh kalangan masyarakat mampu, pemerintah disarankan untuk menggenjot ragam bantuan sosial dan subsidi lain yang spesifik ditujukan kepada keluarga prasejahtera. Dengan demikian, kebijakannya lebih tepat sasaran sekaligus bisa mengendalikan belanja perpajakan[1] yang polanya terus meningkat antarwaktu (Sahara, 2021b; Ulya, 2021d, 2021a).

Namun demikian, terdapat dampak negatif yang berpotensi muncul dari kebijakan tersebut. Hal inilah yang memicu munculnya berbagai respon negatif dari masyarakat atas tersebarnya draf beleid RUU KUP tersebut. Pertama, perubahan ketentuan PPN merupakan bentuk ketidakadilan, Sebelumnya, pemerintah telah melakukan penyesuaian pajak seperti relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor dan pajak properti, serta tax amnesty (pengampunan pajak) dan beberapa insentif pajak lain dengan alasan meringankan beban masyarakat di tengah pandemi. Padahal, hanya sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang diuntungkan dari kebijakan tersebut. Lebih jauh, kebijakan ini relatif hanya dirasakan oleh masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki daya beli atas mobil (Sahara, 2021b). Relaksasi PPnBM sebelumnya digadang-gadang sebagai bagian dari upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi menengah ke atas. Namun, pemberlakuan PPN untuk barang super mewah pada tarif 25 persen justru menunjukkan sinyal kontradiktif. Hal ini berpotensi menjadikan masyarakat kelas menengah ke atas justru enggan berbelanja untuk barang mewah tersebut.

Kedua, pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok akan membebani masyarakat dan akan menurunkan daya beli masyarakat (Catriana, 2021; Sahara, 2021b). Sehubungan dengan itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah, mengatakan bahwa sembako yang dijadikan objek pajak baru akan mengikis daya beli masyarakat. Hal ini karena Masyarakat begitu tergantung dengan sembako setiap hari (Sahara, 2021b). Ketika PPN dikenakan terhadap barang kebutuhan pokok, masyarakat harus membayar lebih banyak. Hal tersebut akan menjadi beban baru bagi masyarakat terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Bahkan, hal ini berpotensi membuat masyarakat tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari setelah adanya kenaikan harga pasca-penerapan aturan PPN yang baru ini.

Ketiga, pengenaan PPN terhadap jasa pendidikan banyak dinilai tidak cukup rasional. Pasalnya, hal ini cukup kontraproduktif terhadap upaya pemerataan pendidikan yang linier dengan poin SDGs. Pengenaan PPN terhadap biaya pendidikan, yang dijalankan simultan dengan komoditas lainnya, berpotensi menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan sekunder yang harus dikorbankan sebagai trade off. Dengan asumsi tidak adanya peningkatan kesejahteraan orang tua yang ditinjau dari tingkat upah, bahkan berpotensi menurun dengan adanya PPN atas jasa tenaga kerja, realokasi pendapatan pasti terjadi seiring dengan kenaikan berbagai tingkat harga akibat PPN ini. Pengeluaran atas pendidikan yang berpotensi dianggap sebagai kebutuhan sekunder, setelah pemenuhan kebutuhan pokok, dapat berdampak buruk secara jangka panjang bagi anak. Maka, bantuan sosial pendidikan, khususnya bagi keluarga prasejahtera, terbilang esensial dalam mengompensasi dampak kenaikan harga yang terjadi secara simultan. Bantuan tersebut tidak terbatas pada biaya administrasi sekolah, melainkan sarana penunjang, seperti pembelian buku dan internet yang saat ini sangat diperlukan dalam pembelajaran jarak jauh.

Keempat, pengenaan PPN ini juga berpotensi berdampak pada produsen, khususnya yang bergerak dalam sektor non-primer. Peningkatan harga berbagai komoditas yang terjadi secara simultan berpotensi menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat sehingga lebih berfokus pada kebutuhan primer. Hal ini tentu akan menimbulkan potensi penurunan revenue pada produsen komoditas sekunder. Penurunan revenue yang diikuti dengan biaya PPN yang harus ditanggung produsen itu sendiri mengarah pada perlunya efisiensi produksi. Potensi terburuk yang dapat terjadi adalah rasionalisasi produksi melalui pemotongan jumlah tenaga kerja.

Oleh karena itu, dengan meninjau berbagai potensi mudarat dan manfaatnya, perubahan ketentuan PPN ini banyak merugikan masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan dampak buruk saat ini, seperti kegagalan pemenuhan kebutuhan pokok, maupun jangka panjang, seperti tidak terpenuhinya kebutuhan standar pendidikan anak. Selain itu, hal ini juga berdampak buruk bukan hanya bagi masyarakat sebagai konsumen, tetapi juga produsen, khususnya non-perusahaan besar. Lebih jauh, dalam mengompensasi pengeluaran upaya penanganan pandemi, pemerintah hendaknya tidak memilih pos pemasukan yang justru memberikan tambahan beban bagi masyarakat. Hal ini justru dapat menekan daya beli yang selanjutnya berdampak pada kelesuan perekonomian. Salah satu alternatif pembiayaan yang dapat diambil adalah cukai yang dikenakan atas bad goods, seperti rokok, minuman keras, perjudian. Cukai juga dapat dikenakan pada bahan bakar yang segmentasinya kalangan menengah ke atas, seperti pertamax. Skema pembiayaan cukai umumnya banyak digunakan berbagai negara tidak hanya untuk menekan jumlah peredaran barang yang berdampak negatif bagi masyarakat,  tetapi juga untuk meningkatkan pendapatan negara.

Selain itu, apabila PPN multitarif masih akan diterapkan, pengenaan atas beberapa komoditas, khususnya jasa, yang tergolong mewah masih rasional untuk dilakukan. Objek pajak yang sebelumnya dikecualikan dalam draf RUU KUP dan tergolong mewah, seperti jasa kesenian, hiburan, serta perhotelan, sebaiknya dikenakan PPN atasnya. Hal ini disebabkan jasa tersebut jelas merupakan kebutuhan tersier yang hanya bisa diakses untuk kalangan menengah ke atas. Pengecualian atas jasa tersebut pun memunculkan kontradiksi atas prinsip keadilan yang digadang menjadi salah satu latar belakang penerapan PPN multitarif. Maka, hendaknya prinsip keadilan tersebut diimplementasikan secara komprehensif agar tidak terkesan pilih kasih bagi masyarakat.

REFERENSI

Akbar, C. (2021, June 9). Sembako Bakal Dikenakan PPN, Begini Penjelasan Lengkap Stafsus Sri Mulyani. Tempo. https://bisnis.tempo.co/read/1470621/sembako-bakal-dikenakan-ppn-begini-penjelasan-lengkap-stafsus-sri-mulyani?page_num=3

Anwar, M. C. (2021). Seputar Pajak Pertambahan Nilai: Obyek PPN dan Barang Tak Kena PPN. Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2021/06/09/110424626/seputar-pajak-pertambahan-nilai-obyek-ppn-dan-barang-tak-kena-ppn.

Arief, T. (2021, June 9). Wajib Tahu! Ini Daftar Sembako yang Bakal Kena PPN 12 Persen. Bisnis.Com. https://ekonomi.bisnis.com/read/20210609/9/1403391/wajib-tahu-ini-daftar-sembako-yang-bakal-kena-ppn-12-persen

Catriana, E. (2021). Sembako Bakal Kena PPN, Ikatan Pedagang Pasar Protes ke Jokowi. Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2021/06/09/081608626/sembako-bakal-kena-ppn-ikatan-pedagang-pasar-protes-ke-jokowi

CNN Indonesia. (2021, June 10). Sekolah Bakal Kena PPN. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210610094551-532-652500/sekolah-bakal-kena-ppn

Karina, D. (2021, June 9). Ini Daftar Sembako dan Hasil Tambang yang Akan Kena PPN. Kompas TV. https://www.kompas.tv/article/181886/ini-daftar-sembako-dan-hasil-tambang-yang-akan-kena-ppn

Sahara, W. (2021a). Ini Daftar Sembako yang Dikenakan PPN Berdasarkan Undang-undang. Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2021/06/11/13460841/ini-daftar-sembako-yang-dikenakan-ppn-berdasarkan-undang-undang?page=all.

Sahara, W. (2021b). Ironi Kebijakan Pajak Era Jokowi: Bebani yang Miskin, Ringankan yang Kaya. Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2021/06/10/16562871/ironi-kebijakan-pajak-era-jokowi-bebani-yang-miskin-ringankan-yang-kaya.

Santoso, Y. I. (2021, June 10). Pemerintah berencana mengenakan tarif PPN sekolah mahal sebesar 12%. Kontan. https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-berencana-mengenakan-tarif-ppn-sekolah-mahal-sebesar-12

Ulya, F. N. (2020). April 2020, Neraca Perdagangan RI Defisit 350 Juta Dollar AS. Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2020/05/15/110547526/april-2020-neraca-perdagangan-ri-defisit-350-juta-dollar-as

Ulya, F. N. (2021a). Pemerintah Bakal Tarik PPN Sembako, Apa Untung Ruginya? Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2021/06/09/115119926/pemerintah-bakal-tarik-ppn-sembako-apa-untung-ruginya?page=all#page2.

Ulya, F. N. (2021b). Selain Sembako, Ini Barang dan Jasa yang Bakal Kena PPN. Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2021/06/09/095319526/selain-sembako-ini-barang-dan-jasa-yang-bakal-kena-ppn

Ulya, F. N. (2021c). Sembako Bakal Kena Pajak, Kemenkeu: Kami Tak Akan Membabi Buta. Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2021/06/09/131329126/sembako-bakal-kena-pajak-kemenkeu-kami-tak-akan-membabi-buta?page=all#page2

Ulya, F. N. (2021d). Seputar Pajak Sembako, Kekesalan Pedagang, dan Pembelaan Pemerintah. Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2021/06/10/063000026/seputar-pajak-sembako-kekesalan-pedagang-dan-pembelaan-pemerintah.

Ulya, F. N. (2021e). Siapkan Ancang-ancang, PPN Bakal Naik Jadi 12 Persen. Kompas.Com. https://money.kompas.com/read/2021/06/07/162748926/siapkan-ancang-ancang-ppn-bakal-naik-jadi-12-persen


[1] Besarnya belanja perpajakan menunjukan penerimaan perpajakan yang berkurang atau tidak jadi dikumpulkan akibat adanya kebijakan seperti insentif pajak, pengurangan, atau kebijakan khusus lainnya di bidang pajak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *