FoSSEI MENULIS : FINTECH SYARIAH, JAWABAN PERMODALAN TANPA RIBA. BAGAIMANA?

FoSSEI MENULIS : FINTECH SYARIAH, JAWABAN PERMODALAN TANPA RIBA. BAGAIMANA?

Oleh : Rosdiana Azizah (Ksei RISEF UIN Raden Intan Lampung)

Apa itu Fintech?

Di indonesia saat ini, tengah berkembang sebuah usaha dari teknologi keuangan yaitu fintech (financial technology). Fintech merupakan salah satu mode inovasi perkembangan teknologi dalam dunia keuangan atau finacial. Sehingga National Digital Research Centre (NDRC) mendefinisikan konsep fintech tersebut dengan harapan kemudahan, keamanan dan modern dalam transaksi keuangan bagi masyarakat.

Cakupan bisnis fintech meliputi pembayaran (payment), peminjaman (lending), perencanaan keuangan (personal finance), Investasi ritel, pembayaran (crowfunding), situs pembanding produk keuangan (comparison site atau financial aggregator), riset keuangan dan lainnya.

Bahkan pada penghujung desember 2016, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (Peer-to-Peer Lending/ P2P Lending) sebagai payung hukum perkembangan fintech.

Sudahkan terbit regulasi untuk fintech syariah?
Sedangkan perintisan pembentukan fatwa mengenai fintech sebagai pembiayaan berbasis syariah sedang digencarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN- MUI) bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai tindak lanjut pemerintah dalam membentuk payung hukum terhadap perekembangan fintech syariah di Indonesia.
Seperti yang dikatakan Anggota DSN MUI Adiwarman Karim yang dikutip dari kontan, kamis (1/2/2018) bahwa peminat lending sariah juga oleh non muslim, selain muslim tentunya.

Adakah Risiko?

Dalam perkembangannya, dikarenakan belum terbentuk regulasi spesifik yang memayungi, fintech syariah juga menghadapi risiko operasional selain risiko hukum. Risiko itu membayangi investor atau pemberi pinjaman fintech syariah, seperti penipuan maupun kredit macet atau pinjaman tidak kembali. Risiko tersebut sangatlah mungkin terjadi karena proses akad hanya dilakukan secara online dan tidak ada tatap muka. Meski akad sudah disepakati, tidak ada jaminan bahwa sang peminjam untuk berlaku jujur dalam menyampaikan laporan keuangan usahanya bahkan setelah akad disepakati. Sehingga Lutfi Adhiansyah, founder dari Ammana.id. mengungkapkan, “risiko yang tinggi bisa diminimalkan dengan penerapan underlying transaction. Jaminan tersebut nantinya dapat disita apabila peminjam terbukti sengaja melakukan penipuan terkait laporan keuangan maupun dana pinjamannya.” Ia juga mengungkapkan bahwa diperlukan badan pengawas berkompeten dari lembaga keuangan mikro syariah untuk memantau mitra bisnis dalam jumlah kelayakan pinjaman dana serta penggunaan dananya dilapangan sebagai bentuk kehati-hatian.

Pada tahun 2016, Oliver Wyman sebagai lembaga konsultan manajemen internasional mengungkapkan hasil risetnya, mencatat potensi pembiayaan fintechdi indonesia mencapai AS$130 miliar. Sebagian potensi tersebut ditargetkan bagi Usaha Mikro Kecil Menenegah (UMKM). Sehingga perkembangan perusahaan fintech turut berkontribusi terhadap permodalan UMKM, terutama fintech syariah. Indonesia ialah negara urutan ketiga dengan jumlah fintech Syariah terbanyak karena pada tahun 2017 telah mencapai 15 unit atau sekitar 14,56% dari 103 fintech syariah global.

Contoh perusahaan fintech syariah yang telah berkembang di Indonesia adalah PT Ammana Fintek Syariah, PayTren, Indves, Alami sharia, PT Investree Radhika Jaya (Investree.com/ syariah) dan mariusaha.co.id. Tidak terlepas dari perkembangan fintech konvensional, Fintech syariah merupakan solusi dan asa yang cerah bagi Usaha Mikro Kecil Menenegah (UMKM) atau keluarga mustad’afiin yaitu pihak yang kurang upaya dari segi keuangan, jangkauan waktu dan lokasi untuk permodalan. Terutama pelaku UMKM yang menginginkan memperoleh modal non riba.
Fintech syariah, mengapa?

Untuk memperoleh pembiayaan syariah, Perusahaan fintech syariah merupakan perantara antara peminjam atau pelaku usaha dengan investor atau Institusi Keuangan Syariah seperti Perbankan Syariah. Bukan sebagai pemberi modal seperti pada fintech konvensional. Platform yang disediakan adalah pembiayaan murah untuk UMKM yang menggunakan pendekatan “peer-to-peer lending marketplace.” Konsep pembiayaan melalui perusahaan fintech syariah ini merupakan solusi dan jawaban bagi UMKM mengenai kerumitan permodalan dan tanpa penentuan bunga dari sang pemberi pinjaman. Karena semua akan ditentukan lewat akad yang sudah disepakati antara pemberi maupun penerima pinjaman.

Akad yang telah disepakati juga tidak sama antara satu dengan yang lain, yaitu berdasarkan peruntukan dana dari sang pengaju pinjaman. Perbedaan fintech syariah dengan konvensional dalam menekan risiko dapat jelas terlihat. Yakni jika pada fintech konvensional ialah dengan menggemukkan bunga sebagai bentuk kehati-hatian. Sehingga ketiadaan bunga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi fintech syariah.Tentunya dengan harapan masyarakat indonesia terbuka untuk membaca peluang dan literasi Keuangan Syariah.

Tetapi..
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa pada tahun 2016, indeks literasi Keuangan Syariah hanya 8,11 %. Yang artinya hanya sekitar 8 orang dari jumlah 100 orang memahami Keuangan Syariah. Dimana angka tersebut jauh dari presentase literasi Keuangan Nasional pada tahun tersebut, yaitu 29,66 %. Sedangkan tujuan Strategi Nasional Keuangan Inklusi (SNKI) Pemerintah adalah 75% penduduk Indonesia memiliki akses terhadap produk keuangan syariah di tahun 2019.

Didasarkan pada prospek dan peminat fintech syariah, telah menunjukkan bahwa fintech syariah memiliki masa depan yang cerah. Hal tersebut didasarkan pada penduduk Indonesia yang merupakan mayoritas muslim terbesar.
Maka..
Selain melek teknologi, diharapkan penduduk Indonesia sekaligus sebagai pelaku UMKM haruslah melek terhadap rambu-rambu syariah yang terkait rukun dan syarat sahnya suatu akad. Maka mereka akan mampu memanfaatkan peluang perkembangan fintech syariah secara maksimal.

Selain itu, tindakan-tindakan sebagai bentuk kebijakan dari pihak pengawas di lapangan juga diperlukan untuk meminimalisir risiko-risiko yang akan dihadapi investor. Sehingga ketika aspek pelaku UMKM cerdas, Investor bijak, dan akad yang sesuai ketentuan prinsip berekonomi syariah telah bersinergi, serta diperkuat dengan regulasi pemayung fintech syariah, maka Insya Allah UMKM yang unggul akan tercipta.
Aamin ya rabbal ‘alamiin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *