Momentum Perbaikan Regulasi Lembaga Filantropi

Momentum Perbaikan Regulasi Lembaga Filantropi

Oleh: Kiki Hardiansyah & Reza Awaliah Ali

Pada tahun 2021, Charities Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia dalam laporan World Giving Index. Dalam penilaian tersebut Indonesia mendapatkan skor 69 yang mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya hanya 59. Capaian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki  kecenderungan untuk senantiasa berdonasi, bahkan di tengah pandemi dan bencana krisis. Hal tersebut turut dikonfirmasi oleh Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, bahwa pada masa pandemi total penghimpunan dana lembaga filantropi tetap mengalami peningkatan, meskipun tidak sebesar saat masa normal.

Berbagai lembaga filantropi, baik yang bersifat keagamaan maupun kemanusiaan berkembang pesat di Indonesia. Dilansir dari filantropi.id terdapat 84 lembaga filantropi yang 30 diantaranya merupakan lembaga filantropi di bidang kemanusiaan. Indikator perkembangan lembaga kemanusiaan juga dilihat total penyaluran dana sosial yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti Yayasan Aksi Cepat Tanggap yang telah menyalurkan donasi ratusan miliar per tahun sejak tahun 2017. Di sisi lain, lembaga filantropi memiliki peran dalam mengentaskan kemiskinan, penyaluran harta wakaf. Begitu pun dengan lembaga wakaf atau lembaga filantropi lainnya, mampu berkembang dengan baik. Wakaf berperan dalam pembangunan ekonomi sosial masyarakat. OJK mencatat per Juni 2021 bantuan pembiayaan UMKM melalui wakaf mencapai Rp 67,4 miliar. Oleh karena itu, peran lembaga filantropi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

(Sumber: Katadata.id)

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa perjalanan pengelolaan dana filantropi ini, sempat beberapa kali tersandung masalah. Di antaranya adalah kasus penyelewengan dana zakat di Dumai, kasus Pagaralam tahun 2014, dan kasus terbaru di tahun 2022 yang melibatkan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Kasus-kasus tersebut jelas memberikan dampak negatif, tidak hanya kepada lembaga bersangkutan, tetapi juga pada gerakan filantropi di Indonesia secara luas. Penurunan tingkat kepercayaan masyarakat menjadi dampak langsung dari kasus-kasus tersebut. Padahal kepercayaan masyarakat merupakan modal utama dalam pengoptimalan gerakan filantropi. Salah satu bukti dari penurunan tersebut adalah dalam program kurban. Berbeda dengan tahun sebelumnya, saat H-3 Idul Adha tahun 2021 BAZNAS sudah mendapatkan 80% dari target kurban, tetapi nyatanya pada tahun 2022 ini hanya mencapai 47% dari target (jpnn.con). Selain itu, kasus-kasus tersebut juga dapat berdampak pada kemungkinan berkurangnya jumlah amil di masa depan, karena semakin sedikit yang berdonasi di lembaga filantropi.

Oleh karena itu, diperlukan adanya perbaikan, khususnya dalam aspek regulasi sehingga kasus yang serupa tidak terulang lagi di masa depan. Permasalahan ini dapat menjadi momentum dalam perbaikan regulasi Salah satu aspek regulasi yang perlu dikaji kembali yaitu terkait Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980. Hal ini dikarenakan belum terdapat peraturan yang mengatur sanksi jika terjadi kecurangan terhadap akuntabilitas dan sanksi jika terjadi kecurangan dalam penggunaan dana sumbangan masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 terdapat aspek batas-batas wilayah ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi lembaga filantropi saat ini yang melakukan fundraising secara digital.

Pertama, Undang-Undang No. 9 Tahun 1961 pasal 2 ayat (2)  yang menyebutkan bahwa pengumpulan uang dan barang harus dilakukan di lingkungan yang terbatas sehingga hal ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kegiatan fundraising saat ini. Hal ini dikarenakan fundraising yang dilakukan oleh berbagai lembaga filantropi menggunakan platform online yang tidak mengenal batas-batas wilayah dalam hal perhimpunan dan penyaluran dana.

Kedua, meningkatkan transparansi dengan penerapan PSAK 109 dan 112. Meskipun telah lama dikeluarkan, nyatanya prosedur pelaporan keuangan ini masih belum banyak diterapkan. Penelitian Cahyani (2022),  Sari & Malik (2021) dan Pasania, dkk (2020) memiliki kesimpulan demikian. Oleh karena itu, regulasi mengenai penguatan implementasi PSAK 109 untuk zakat dan 112 untuk wakaf amat diperlukan sehingga, Lembaga filantropi dapat lebih transparan dan akuntabel.

Ketiga, meningkatkan sistem akuntabilitas dengan pengawasan. Pemangku kebijakan perlu mewajibkan setidaknya eksistensi komite audit internal dan Dewan Pengawas Syariah. Komite audit internal memiliki tugas untuk mengawasi dan melaporkan secara berkala mengenai pengelolaan dana filantropi, apakah sudah sesuai atau ada indikasi penyimpangan. Sedangkan Dewan Pengawas Syariah bertugas untuk memastikan bahwa berbagai aturan syariah mengenai zakat dan wakaf dapat diterapkan.

Ketiga, penguatan SDM lembaga filantropi. Penguatan SDM diperlukan baik dari sisi profesionalitas dan spiritual, seperti program kajian rutin dan peningkatan keahlian. Amil perlu menyadari amanahnya kepada umat dan Allah SWT., Amil perlu memiliki idealisme untuk menjadi bagian pembangun peradaban umat. Jangan sampai nilai-nilai Islam dan kontribusi hanya sebagai pemanis semata.

Terlepas dari hal tersebut, tetap pada dasarnya peran lembaga filantropi sangat krusial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lembaga filantropi berperan dalam perbaikan ekonomi pasca pandemi.  Chief Executive Officer Rumah Zakat, Nur Efendi menyampaikan bahwa lembaga filantropi berkontribusi langsung dalam mengurangi angka pengangguran baik di desa maupun perkotaan. Oleh karena itu, dukungan dari para pemangku kebijakan dan berbagai lapisan masyarakat merupakan langkah penting untuk mewujudkan gerakan filantropi yang jauh lebih baik ke di masa depan. Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *