IONS FoSSEI: Rush Money

IONS FoSSEI: Rush Money

Oleh: Dr. Ronald Rulindo

 Diskusi Islamic Economics Online Talks (IONS) FoSSEI pada minggu, 27 November 2016 disampaikan oleh Bapak Dr. Ronald Rulindo, yaitu seorang Head of Islamic Finance and Risk Management Research di perusahaan asuransi simpanan Indonesia. Dengan tema IONS kali ini adalah tentang Rush Money atau bahasa formalnya yang biasa dikenal di dunia akademis ataupun praktisi adalah Bank Run, dan di moderatori oleh Riyas Yayuk Basuki dari STEI SEBI.

Pengenalan Singkat tentang Rush Money atau Bank Run

Definisi secara umum Rush Money atau Bank Run adalah kondisi dimana nasabah menarik dana dari bank beramai-ramai sehingga bank tidak sanggup mengembalikan uang nasabah yang disimpan dibank tersebut. Kalau bank run-nya terjadi pada satu bank saja mungkin masalah tidak terlalu besar dan dapat diatasi, tetapi kalau terjadi pada beberapa bank pada saat yang bersamaan maka hal itu bisa menjadi masalah, bukan hanya pada sistem perbankan tetapi juga perekonomian nasional. Sejarah Bank Run sendiri sudah lama ada bahkan selama industri perbankan berdiri semenjak abad 16 lalu, seperti Belanda tahun 1634, Inggris 1717, Prancis 1815 dan tentu saja Amerika Serikat yang terkenal dengan great depression tahun 1929, namun kenapa Rush Money atau Bank Run bisa terjadi?

Sebagaimana yang kita ketahui fungsi bank adalah financial intermediary. Jadi, bank menyalurkan dana dan disalurkan pada pihak yang memerlukan dana. Tentu saja pihak yang memerlukan dana menerima pinjaman atau pembiayaan dengan jangka waktu yang cukup lama dibandingkan dengan pihak yang kelebihan dana. Jika pihak yang kelebihan dana menempatkan dananya ke bank dengan perjanjian bisa diambil kembali kapan saja, atau paling tidak 1 bulan ataupun 3 bulan kedepan. Kredit yang diberikan pada pihak yang memerlukan dana berjangka waktu lebih panjang bahkan bisa lebih dari 15 tahun baru dikembalikan. Disitu terlihat apa yang biasa disebut liquidity gap. Sebagai antiasipasi, bank sentral ataupun Otoritas Jasa Keuangan mengharuskan bank untuk menyisihkan sebagian dananya yang disebut dengan reserve requirement. Kalau di Indonesia dikenal dengan Giro Wajib Minimum. Selain itu, bank juga melakukan investasi pada surat berharga jangka pendek untuk jaga-jaga seandainya dana yag ditarik cukup besar surat berharga tersebut dapat dijual segera. Karena kalau semua disimpan di Giro Wajib Minimum ataupun dalam cash maka keuntungan yang dieroleh menjadi tidak optimal.

Usaha untuk mendorong terjadinya Rush Money itu perlu diwaspadai. Upaya tersebut juga pernah dilakukan pada zaman dahulu, yaitu pada tahun 1832 ketika oposisi ingin menggulingkan pemerintahan di Inggris sana. Menurut, Mervyn King, gubernurnya Bank of England ketika global financial crisis terjadi tahun 2008, tindakan memulai Bank Run adalah tindakan yang tidak rasional. Akan tetapi menjadi rasional ketika Bank Run telah terjadi karena orang khawatir uang mereka di bank tidak dapat dikembaikan.

Bagi siapa yang mengalami krisis moneter tahun 97-98 mungkin masih ingat apa yang terjadi dengan BCA pada waktu itu. Ketika pemerintah memutuskan melikuidasi 16 bank, terjadi kepanikan masyarakat karena mereka berpikir hal yang sama dapat terjadi uang mereka di bank. Padahal, tidak semua bank yang akan ditutup. BCA pada saat itu merupakan bank yang sehat. Tetapi karena masyarakat yang mulai panik, mereka menarik uangnya beramai-ramai. Mereka melihat banyak orang antri di bank, akhirnya mereka melakukan hal yang sama. Sebagi akibatnya pemerintah terpaksa menyelamatkan BCA karena BCA termasuk bank besar. Mungkin banyak yang bertanya kenapa bank yang mengalami rush harus diselamatkan. Bukankan itu berarti menyelamatkan pemiliknya?

Pertanyaan itu sebagian benar sebagian tidak tepat. Kembali pada fungsi intermediary bank tadi, mengumpulkan dana dari pihak kelebihan uang kemudian menyalurkannya pada pihak yang memerlukan dana. Kalau terjadi bank run, dananya ditarik bank akan mengalami masalah likuiditas. Biasanya bank akan meminjam pada bank lain dulu tetapi pinjaman seperti itu biayanya pasti mahal. Karena, mahal bisa menambah kerugian bank, kalau bank rugi dan bankrut. Uang nasabah yang ditempatkan di bank tidak dapat dikembalikan. Maka yang jadi rugi adalah nasabah. Ketika industri perbankan belum highly regulated seperti saat ini, ketika terjadi bank run bank akan menarik juga kredit yang disalurkannya. Akibatnya pengusaha-pengusaha yang tadinya mennerima kredit mengalami likuiditas. Akhirnya merekalah yang mengalami kebangkrutan. Untuk menghindari hal tersebut terjadi maka bank sentral menjalankan fungsi lender of the last resortnya. Mereka memberikan pinjaman jangka pendeknya kepada bank agar bank dapat mengatasi rush tersebut. Setelah situasi normal pinjaman tersebut harus segera dikembalikan. Selain itu, terdapat berbagai peraturan-peraturan lain untuk memperkuat bank ketika bank run terjadi. Selain ketentuan reserve requirement ada ketentuan Capital Adequacy Requirement atau CAR.

CAR minimum adalah 8% dari asset. Tetapi dengan ketentuan Bael III sekarang bank tentu perlu mencadangkan modal lebih tinggi dari itu. Selain itu, ketentuan tambahan seperti liquidity coverage ratio untuk memastikan bank memiliki cash yang cukup untuk memenuhi penarikan dana 1 bulan kedepan, dan net stable funding ratio untuk memastikan bank memiliki sumber dana 1 tahun yang akan dating. Dari sudut pandang operasional sendiri ada beberapa startegi untuk mengurangi dampak bank run. Seperti membatasi penarikan bahkan juga melakukan bank holiday alias bank diliburkan. Akan tetapi mekanisme modern yang saat ini telah diterapkan di lebih dari 80 negara adalah deposit insurance system. Yang di Indonesia dikenal dengan Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS. Mekanisme deposit insurance petama kali diperkenalkan di Amerika Serikat kita terjadi great depression. Dengan, adanya penjaminan simpanan diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir karena nantinya kalau bank ditutup uang mereka akan diganti oleh LPS sampai dengan batas tertentu. Kalau di Indonesia batasnya adalah 2 milyar per nasabah per bank.

Efektifkah Keberadaan LPS Terhadap Mencegah Bank Rush?

Sebenarnya jawabannya relatif, karena bisa jadi masyarakat tetap akan melakukan rush karena tidak mau menjalani proses yang lama untuk mendapatkan pembayaran dana dari LPS. Ataupun terdapat kemungkinan dananya LPS tidak cukup kalau bank yang di rush kemudian ditutup karena terlalu besar.  Mari kita lihat kondisi real saat ini. Apakah ada yang tau LPS saat ini telah menutup 70 bank? Walaupun hampir semuanya adalah BPR, terdapat 1 bank umum yang dlikuidasi dan  1 bank umum lagi yang diselamatlkan.

Pertanyaannya apabila bank run atau kampanye rush money kemarin berlangsung apakah berjalan efektif? Dengan demikian banyak mekanisme yang diciptakan terutama di Indonesia jawabannya adalah mungkin tidak. Karena BI pasti akan memberikan LOLR dan kalaupun gagal LPS ada untuk membayarkan klaim simpanan nasabahnya. Hanya saja kalau rushnya betul-betul besar mencapai ratusan trilyun barulah bisa muncul masalah. Hanya saja masalahnya tentu bukan hanya menjadi masalah bank saja bahkan bisa menjadi masalah negara. Kalu sudah masalah negara tentu yang mengalami kesulitan adalah masyrakat di negara tersebut. Sebagai contoh tambahan terhadap kekuatan sistem yang sudah ada, pada krisis global tahun 2008 panik masyarakat dapat ditekan dengan diselamatkannya bank century dan ditutupnya bank IFI.

Jadi mekanisme penjaminan simpanan lumayan efektif mencegah terjadinya rush saat itu, walaupun Indonesia tidak menerapkan blanket guarantee. Kemudian tools paling kuat untuk mengatasi bank run adalah blanket guarantee alias semua simpanan masyarakat berapapun besarnya dijamin pemerintah. Tahun 98 mekanisme blanket guarantee dipakai di Indonesia untuk menghentikan rush. Tahun 2008 Malaysia, Singapura atau Australia kembali menerapkan blanket guarantee karena khawatir rush yang terjadi. Indonesia sebenarnya akan menerapkan blanket guarantee pada waktu itu tetapi wapres Jusf Kalla tidak setuju dan sebagai solusi, batasan pinjaman LPS dinaikan  2 milyar dari sebelumnya hanya 100 juta saja. Meskipun demikian dari sudut pencegahan rush nya terbilang sukses, tetapi dari sudut pandang politik lumayan menimbulkan masalah. Mungkin semua sudah tau kasus Bank Century terdapat banyak pertanyaan kenapa bank tersebut tidak ditutup. Alasan BI dan pemerintah apada saat itu adalah masyarakat masih trauma dengan kejadian tahun 98. Jadi memang pemerintah tahun 2008 tersebut memutuskan tidak boleh ada bank yang ditutup pada kondisi tersebut. Kalau lihat kembali krisis moneter 97-98 sebenarnya rush tersebut masih tetap terjadi walaupun sudah ada blanket guarantee. Dan rushnya sendiri baru betul-betul ketika berhenti ketika pemerintah menjamin tidak akan ada lagi bank yang ditutup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *