Assalamualaikum akh Jabbar, mau tanya nih. Terkait bisnis jual beli kredit. menurut tokoh Zaid bin Ali kan boleh ya, harga jual kredit dg yg tunai dibedakan.
Nah, Kalau saumpama saya punya barang kalau dibayar cas 3jt, tp kalau dibayar berjangka 3 kali akadnya 3,1 kalau 6 kali akadnya 3,2 kalau 10 kali 3,3 itu gmn akh? meski ksepakatan d awal kedua pihak, apakah tmsk riba? atau harus sama semua harga jualnya?
Mohon pencerahanya, trmksh sbelumnya
____________________
Waalaikumussalam warohmatullahi wabarakatuh.
Ikhwatii fillah yang dirahmati oleh Allah. Seperti yang telah difirmankan oleh Allah swt dalam Q.S Al-Baqarah: 275, “….wa ahalla Allahu al-bai’a wa harrama riba…” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Asal muasal turunnya ayat ini dikarenakan kaum Quraisy menyatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba. Keduanya sama memberikan keuntungan, dan keduanya sama memiliki manfaat/faedah. Misal, seorang penjual menjual barangnya seharaga 150 ribu, karena harga pokoknya 100 ribu, maka ia mendapatkan keuntungan 50 ribu. Kasus lain, si fulan meminjamkan uang 100 ribu kepada saudaranya, dan dikembalikan 150 ribu, maka si fulan mendapatkan keuntungan 50 ribu. Keduanya mendapatkan keuntungan yang sama sebesar 50 ribu, namun keduanya adalah hal yang berbeda. Maka dengan tegas Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dalam Islam, keuntungan hanya boleh didapatkan oleh transaksi riil dalam bentuk jual-beli atau bisnis. Sedangkan keuntungan yang didapatkan dari pinjam-meminjam, maka hal ini diharamkan.
Dalam konteks jual beli kredit atau harga yang ditangguhkan, seorang penjual boleh menambahkan harga jual dari harga awal atau harga tunainya. Ingat, konteks jual beli dengan pinjam meminjam sudah berbeda. Jual beli boleh mengambil tambahan, sedangkan pinjam meminjam tidak boleh mengambil tambahan. Mengapa demikian? Karena ketika terjadi transaksi, si pembeli sudah mendapatkan 100% haknya yaitu berupa barang tersebut, sedangkan seorag penjual belum medapatkan 100% haknya yaitu harga jual barang tersebut.
Misal, si penjual menjual rumahnya seharga 300 juta kepada si pembeli dengan tunai. Si pembeli tidak mempunyai uang sebegitu banyaknya ketika itu, maka si pembeli menawarkan jual beli secara kredit, karena pembeli hanya mempunyai uang 30 juta saat itu. Akhirnya keduanya sepakat untuk melakukan transaksi jual beli tersebut. Si pembeli sudah mendapatkan 100% haknya berupa rumah tersebut, sedangkan si penjual hanya mendapatkan 30 juta atau 10% dari haknya. Untuk itu, penjual berhak mendapatkan manfaat lebih dari 300 juta (bisa 400 juta atau 500 juta) tergantung kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu tertentu (bisa 5th, 10th, atau 15th) sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam kaidah fiqh disebutkan, “inna lizzamani hisshotun minats tsamani.” Sesungguhnya waktu mempunyai nilai ekonomis. Inilah yang dimaksud dengan “Economic Value of Time.” Berbeda dengan konsep kapitalis yang membolehkan adanya manfaat dari jangka waktu dalam konteks pinjam-meminjam. Islam hanya membolehkan tambahan manfaat karena tambahan jangka waktu ini dalam konteks riil jual beli (bisnis).
Wallahu A’lam
Jabbar Sambudi II Presnas FoSSEI