Mengapa BPJS Haram?

Mengapa BPJS Haram?

wpid-1438262822187

Denda keterlambatan pembayaran iuran belum mencerminkan konsep ideal jamainan sosial dalam Islam. MUI mendesak BPJS syariah segera dibentuk.

Ramai diberitakan, dikonfirmasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga melalui berbagai media tentang haramnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosisal (BPJS) Kesehatan. Seperti dikatakan Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin sebagaimana dikutip JPNN.com, Selasa (28/7) bahwa unsur yang menjadikan BPJS Kesehatan itu tak sesuai syariah adalah bunga. “Ya menggunakan bunga, indikatornya bunga,” kata Kiai Ma’ruf Amin, menjelaskan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari lalu.

Bahkan Kyai Ma’ruf mendorong segera dibuat BPJS Kesehatan Syariah sebagai solusinya. “Harus dibuat yang syariah. Harus ada BPJS yang syariah, yang diloloskan (syarat-syaratnya) secara syariah,” jelasnya.

Nah, mengapa haram? Apa yang membuatnya demikian? Dari situs resmi MUI didapatkan dokumen hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015. Dalam dokumen nitu, pada bagian KOMISI FATWA SE INDONESIA V TAHUN 2015 Tentang MASAIL QANUNIYAH (Masalah Hukum dan Perundang-undangan), MUI menyoroti khusus UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Berikut kutipan beberapa pointer dari putusan MUI tersebut:

MUI menyambut baik dengan diterbitkannya UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. MUI juga bersyukur pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, telah melakukan berbagai upaya, program, dan kegiatan untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan sehingga makin banyak warga masyarakat yang merasakan manfaat program BPJS tersebut
Namun demikian, program termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS – khususnya BPJS Kesehatan – dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah, dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, nampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antarpara pihak.
Sejak 1994, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang asuransi syariah untuk merespon terhadap pandangan umat Islam yang berpendapat bahwa asuransi konvensional bertentangan dengan syariah. Kalau pun ada yang mengikuti, mereka tetap berpendapat bahwa hal itu dilakukan karena masih dalam kondisi darurat.
Sebagaimana diketahui, apabila terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja.

Sementara keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.

Nah, denda keterlambatan inilah yang dinilai tidak jauh beda dengan produk seperti kartu kredit atau kredit konvensional lainnya, beraroma ribawi.

sumber: mysharing, Juli, 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *