Oleh: Nuriyatul Hidayah, KSEI IES Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Peserta Lomba Opini Ekonomi Syariah FoSSEI 2017)
Perkembangan industri keuangan berbasis syariah (IKBS) kian marak di Indonesia. Banyak industri keuangan konvensional yang mengekspansikan usahanya ke dalam industri keuangan berbasis syariah. Salah satu hal yang mendorong perkembangan ini, karena produk ataupun jasa yang diberikan oleh IKBS terhindar dari praktik-praktik haram dalam prinsip syariah seperti riba (bunga), gharar (ketidakjelasan) dan maysir (judi) yang dapat menimbulkan keuntungan sepihak dan kerugian di pihak lainnya, sehingga adanya ketidakadilan di antara kedua belah pihak. Termasuk Pegadaian, yang merupakan lembaga keuangan milik pemerintah, pada tahun 2003 mengekspansikan dirinya dengan mendirikan Pegadaian (rahn) Syariah.
Pegadaian Syariah pada dasarnya berjalan di atas dua akad, yaitu Akad Rahn (penahanan harta) dan Akad Ijarah (pemindahan hak guna atas barang). Dengan adanya dua akad tersebut, Pegadaian Syariah dapat menahan suatu barang sebagai jaminan atas utangnya (marhun bih) dan mengenakan biaya sewa atas penyimpanan barang gadaian nasabah.
Dilihat dari mekanisme peminjamannya, Pegadaian Syariah tidak jauh berbeda dengan Pegadaian konvensional. Yaitu, melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang gadaian yang kemudian akan ditaksir oleh pihak pegadaian untuk menentukan besarnya jumlah pinjaman yang nantinya akan diberikan. Besarnya pinjaman yang diberikan, maksimal 90% dari nilai taksiran. Setelah uang pinjaman diterima, maka nasabah harus menandatangani Surat Bukti Gadai. Setelah itu, nasabah dikenakan biaya administrasi atas jasa tersebut yang dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Perbedaan paling jelas di sini selain dasar pengenaan biaya adminitrasinya adalah, tidak adanya pengenaan bunga terhadap uang pinjaman seperti yang diterapkan dalam Pegadaian konvensional. Pada Pegadaian Syariah, bunga diganti dengan biaya penyimpanan/pemeliharaan yang juga dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman.
Perbedaan juga terlihat ketika nasabah tidak sanggup untuk menebus hutangnya. Jika Pegadaian konvensional melelang barang gadaian dan terjadi selisih lebih, maka selisih lebih itu menjadi milik pihak pegadaian. Sedangkan pada Pegadaian Syariah, pihak pegadaian menjual barang gadaiannya yang jika terjadi selisih lebih, maka selisih tersebut diserahkan kepada Lembaga Zakat Infak dan Shadaqah (ZIS).
Selain menawarkan jasa gadai syariah, pegadaian syariah juga memiliki produk dan jasa lain, seperti produk MULIA (Murabahah Logam Mulia) untuk investasi jangka panjang yang menawarkan masyarakat untuk memiliki logam mulia dengan cara mengangsur di pegadaian syariah, Produk ARRUM (Ar- Rahn untuk Usaha Mikro Kecil), dan program Amanah.
Pegadaian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Pegadaian memudahkan mereka untuk mendapatkan kredit, hanya dengan menggadaikan barang, tidak seperti bank yang rumit, dan memiliki banyak persyaratan. Dengan keadaan tersebut, seharusnya pegadaian syariah yang menawarkan jasa yang lebih menarik dibanding pegadaian konvensional, seperti tidak adanya sistem bunga, kehadirannya pasti akan lebih diminati.
Penduduk Indonesia yang bukan beragama Islam juga dapat menikmati jasa Pegadaian Syariah ini, karena Pegadaian Syariah memberikan jasa pelayanan, bukan jasa keagamaan. Kehadiran Pegadaian Syariah juga menjadi batu loncatan bagi masyarakat, untuk lebih mengenal sistem ekonomi syariah yang sebenarnya lebih banyak membawa kemaslahatan.
Namun, pegadaian masih kurang diminati oleh masyarakat, karena sampai saat ini yang tergambar dalam pikiran masyarakat adalah jika mereka pergi ke Pegadaian untuk menggadaikan barang, maka terkesan miskin, sehingga banyak orang yang enggan untuk pergi menjaminkan barangnya ke Pegadaian. Hal itu pula yang terjadi pada Pegadaian Syariah yang dapat dikatakan masih relatif baru dalam industri keuangan.
Selain itu, mensosialisasikan sisi syariahnya kepada masyarakat, juga menjadi tantangan tersendiri bagi Pegadaian Syariah. Ditambah lagi, pengguna jasa pegadaian yang mayoritas merupakan masyarakat menengah ke bawah, masih kurang mengerti dengan produk- produk dalam Pegadaian Syariah yang ditawarkan dalam istilah Islam. Sehingga dalam praktiknya pun, masih sering terjadi kesalahpahaman antara pihak Pegadaian Syariah dengan masyarakat, tentang prosedur peminjaman yang benar. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Pegadaian Syariah, dan bisa jadi, sistem syariah yang diharapkan membawa kemaslahatan bagi masyarakat, malah menjadi sia-sia. Dan akhirnya, masyarakat lebih memilih melakukan transaksi gadai di pegadaian konvensional.
Maraknya pegadaian bodong tanpa mengantongi izin pemerintah pun menjadi hambatan berkembangnya Pegadaian Syariah. Kebanyakan pegadaian bodong menawarkan jasa yang lebih menarik, seperti memberi kemudahan untuk semua jenis barang gadai dan lamanya jangka waktu pengembalian kredit. Hal itu membuat masyarkat lebih tertarik untuk menggadaikan barangnya di pegadaian bodong.
Jadi, PR pemerintah saat ini adalah, bagaimana caranya agar pegadaian memiliki image yang juga baik layaknya bank. Selain itu, sosialisasi Pegadaian Syariah kepada masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi, karena masih banyak masyarakat yang belum tahu kehadiran Pegadaian Syariah dan jasa-jasa yang ditawarkannya. Pengoptimalan produk yang sudah ada, memperbanyak lagi produk/jasa yang ditawarkan, dan memvariasikan barang yang dapat digadaikan ditambah dengan memperbanyak tenaga profesional dalam bidangnya, juga dapat meningkatkan mutu Pegadaian Syariah.