Milenial, Zakat, dan Menjadi Masif bersama Teknologi
Oleh: Raden Diky Dermawan
Segala hal berkaitan milenial, tidak asing lagi di telinga. Isu ini menjadi obrolan hampir banyak orang, orang-orang tua maupun milenial itu sendiri. Tidak sedikit orang yang menaruh harapan, namun ada juga yang resah dan khawatir. Perspektif dan pengalaman menjadi pembeda. Apa itu milenial? Hewlett dkk menggambarkan milenial sebagai generasi spesial dan diberikan treatment yang berbeda dibanding generasi baby boomers. Mereka memiliki energi jauh lebih besar untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa. Pada gambar di bawah, saya merangkung pendapat Hewlet dkk mengenai milenial.
Tulisan ini ingin membangun narasi tentang kepedulian milenial dalam
kehidupan sosial di era digital. Salah satu alat ukurnya ialah berzakat atau memberi sumbangan. Penting atau tidak penting, zakat memiliki potensi yang sangat besar: Rp. 217 triliun.[
Bagaimana Kepedulian Sosial Milenial?
Pola pikir yang tertanam bagi kebanyakan milenial: “we buy what we think we need”. Selama yang dibelinya itu berpengaruh untuk meningkatkan eksistensinya, uang bukan halangan. Terlebih kalau produknya dipromosikan oleh influencer favoritnya. Namun, peer pressure dari lingkaran pertemanan tetap alasan terbesar. Kasus berbeda bagi mereka milenial first jobber yang terpesona dengan gaji pertama. Pendapat saya tersebut nyatanya sejalan dengan laporan Ipsos MORI, lembaga riset internasional. Dalam laporannya, secara global 49% milenial ialah konsumtif, 39% dianggap egois.[3] Lalu, apakah ada kepedulian sosial? Secara yakin, saya bilang “ya”. Apabila kita aktif berselancar di media sosial, akan sering terlihat cerita pengalaman dan ajakan untuk berbagi kepedulian. Bahkan posting dapat menyebar sangat cepat hingga viral. Seyogyanya seperti itu media sosial bermain: membagikan semangat kebaikan. Dalam jajak pendapat oleh Tirto, sebanyak 58,89% mengalokasi 5% pendapatan untuk zakat atau sumbangan. Sebanyak 68,84% menyalurkan secara langsung, sementara 11,76% memanfaatkan platform digital. Angka tersebut merupakan tren positif yang menandakan ada semangat berbagi kepedulian, di tengah tekanan konsumerisme. Tentu sangat mungkin untuk meningkatkan angka-angka tersebut, mengingat populasi milenial berada di puncaknya, Sedikit ilustrasi, A adalah first jobber bergaji Rp. 5 juta perbulan. A menyisihkan 5% untuk zakat atau Rp. 250 ribu. Anggap dalam satu kantor terdapat 100 pegawai dengan gaji yang sama, artinya akan terhimpun zakat Rp 25 juta. Dengan zakat, dapat digunakan untuk membiayai operasi bibir sumbing bagi 5 orang anak dari keluarga miskin.
Zakat dan Ekonomi Islam
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang ruku’ ” (QS. Al-Baqarah ayat 43). Zakat adalah wajib bagi setiap muslim yang mampu. Bukan sekedar kewajiban, bangsa-bangsa terdahulu mengisahkan bahwa zakat bermanfaat untuk mengurangi kemiskinan dan membangun perekonomian. Di Indonesia, ekonomi Islam sudah berbaur dengan sistem perekonomian. Pada cakupan makro, tidak sedikit lembaga perbankan yang sudah membentuk unit syariah untuk melayani kebutuhan nasabah dengan kapitalisasi yang besar. Zakat bukan sekedar urusan surgawi, melibatkan juga misi-misi duniawi. Pemerataan dan pemberdayaan ekonomi menjadi misi yang ingin dicapai dengan berkembangnya ekonomi islam.[6] Islam menekankan adanya pemerataan dan pemberdayaan ekonomi, sebagaimana tercantum dalam QS Al-Hasyr ayat 7. Artinya Islam mengkhendaki adanya kepedulian untuk berbagi kekayaan dengan kaum yang membutuhkan. Alhasil, ketika zakat tertunaikan secara sistemis dan masif, jargon-jargon Indonesia sejahtera kelak tercapai.
Teknologi Untuk Memfasilitasi
Teknologi yang mendukung penyaluran zakat sudah menjamur. Seperti Kitabisa.com dengan situsnya, juga ada aplikasi-aplikasi payment gateway yang difungsikan menyalurkan zakat. Sesungguhnya, kita tidak pernah kehabisan cara berzakat. Inovasi termuktahir ini memungkinkan setiap muslimin menebarkan kebaikannya, mulai dari berzakat hingga persiapan umrah. Hadirnya aplikasi ini tentu sangat berguna, khususnya para milenial yang tech savvy dalam segala aktivitasnya. Bagi yang ingin menyalurkan zakat, semua berada dalam genggaman smartphone.
Penutup
Mengapa tulisan ini menitikberatkan milenial? Karena kita yakin bahwa milenial sedang dan akan menjadi “tulang punggung” dunia, ditinjau dari populasi dan pertumbuhannya. Sebab itu, habit milenial tidak boleh dianggap sepele. Dunia perlu solusi dan aksi agar milenial ini dapat membangun potensi untuk peradaban, tentu sesuai karakteristiknya. Rp. 217 triliun potensi zakat perlu dibangun narasinya hingga telinga generasi milenial. Tingkatkan aksesbilitas teknologi agar milenial punya hasrat yang lebih besar berbuat berzakat. Cara-cara “kuno” perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan zaman. Tujuannya sederhana : orang berzakat semakin masif. Saat ini, kita perlu mengapresiasi CIMB Niaga Syariah yang telah konsisten “menjemput bola” dengan gagasan digitalnya, e-Salaam karena telah melayani masyarakat berbuat kebaikan, khususnya berzakat bagi mereka yang terbatas waktu, namun tech savvy.
Hewlett, S.A., dkk. 2009. ‘How Gen Y & Boomers Will Reshape Your Agenda’, Havard Business Review 87:71-76
Informasi pada https://economy.okezone.com/read/2018/02/23/320/1864008/potensi-zakatnasional-capai-rp217-triliun-tahun.
Laporan berjudul “Millennial Myths and Realities”, Juli 2017.
Data pada https://tirto.id/generasi-milenial-suka-memberi-sumbangan-cLHu
Rido, A. 2013. ‘Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab’, Jurnal Al-‘Adl 6(2):7
Fakhurdin. 2008. Fiqh & Manajemen Zakat Indonesia. Malang: UIN Malang Press
UN World Population Estimate (2015)