Mochammad Ardani (25 Artikel terbaik CIMB Niaga Syariah ft FoSSEI)
Industri perbankan syariah di Indonesia kian berkembang tiap tahunnya. Meskipun terbilang baru lahir, tepatnya di tahun 1992, namun perkembangannya sudah sangat pesat, meskipun belum bisa menyaingi perbankan konvensional yang sudah ada sekarang ini. Perkembangan tersebut terlihat dari tren positif di beberapa aspek yang ada di dunia perbankan.

Data dari OJK RI menunjukkan perbankan syariah terus mengalami peningkatan tiap tahunnya, dilihat dari aspek jumlah aset, tingkat pembiayaan, serta tingkat Dana Pihak Ketiga (DPK). Begitu pula dengan survey tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah yang dilakukan di tahun 2016, memberikan gambaran bahwa masyarakat mulai aware dengan adanya perbankan syariah. Meskipun begitu, tingkat market share masih jauh dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal tersebut bukan berarti perbankan syariah tidak bisa berjaya. Ada banyak peluang dan potensi yang dimilikinya, terlebih lagi di Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Tercatat, sebanyak 87% penduduk Indonesia beragama Islam (sekitar 200 juta lebih).1 Ini menjadi nilai lebih yang tidak dimiliki oleh negara lain. Bahkan, investor dalam maupun luar negeri berbondongbondong untuk mengembangkan bisnis mereka dikarenakan potensi ini. Perbankan syariah seharusnya menjadi fasilitator bagi mereka yang hendak menggunakan layanan keuangan sesuai dengan syariat Islam. Kalau sudah diberikan pilihan yang pasti halal, mengapa masih memilih yang konvensional?
Terlebih lagidi era digitalisasi sekarang ini. Industri sudah mengalami revolusi hingga empat kali, dan kali ini segala aspek kehidupan mengandalkan adanya teknologi informasi dan komunikasi. Segala kegiatan bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja hanya dengan segenggam ponsel pintar. Tentunya, perbankan syariah harus dapat terjun dan mengakomodir peluang yang sangat besar ini agar tidak tertinggal dan tergerus oleh zaman.
Indonesia menjadi pasar yang potensial dalam hal teknologi. Menurut data Global Web Index, Indonesia menempati urutan ke 4 dari 40 negara dalam hal penggunaan waktu untuk internet dalam kesehariannya. Tentu ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sangat giat dan aktif terhadap perkembangan teknologi yang ada.
Perbankan syariah memiliki tantangan yang berat dalam hal ini. Dikatakan oleh Haydar Hanif Fatahillah 2, bahwa menjual pengelolaan keuangan yang berbasis syariah saja dirasa tidak cukup bagi masyarakat. Konsumen (masyarakat) butuh fasilitas lain untuk menunjang berbagai macam kebutuhan mereka. Kemudahan dan kecepatan harus menjadi perhatian utama bagi bank syariah agar bisa terus berkembang atau setidaknya bertahan di era persaingan seperti sekarang. Di sisi lain, perbankan syariah harus dapat bersaing dengan perbankan konvensional yang notabene sudah lama mengembangkan dunia perbankan berbasis teknologi atau digital banking.
Beberapa terobosan sudah mulai dikembangkan dalam pemanfaatan digitalisasi. Platform, aplikasi, hingga layanan digital lainnya membuat perbankan syariah kian menunjukkan keseriusannya. Contoh saja Bank CIMB Niaga Syariah, BNI Syariah, BRI Syariah (BRIS), dan Bank Syariah Mandiri (BSM), yang mengembangkan beberapa platform layanan transaksi keuangan di smartphone.
Meskipun begitu, Bank CIMB Niaga Syariah dianggap unggul dengan layanan yang digagasnya, yang diberi nama e-Salam. Platform yang dibentuk untuk membantu nasabah membayar zakat dan wakaf ke berbagai Lembaga Amil Zakat dan lembaga wakaf. Dikatakan pula bahwa inovasi ini merupakan implementasi dari strategi jemput bola yang sudah direncanakan sejak awal tahun untuk mendekatkan diri kepada nasabah. Ini menjadi terobosan menarik, mengingat potensi ZISWAF di Indonesia sangat besar, namun belum dapat dioptimalkan.
Potensi zakat di Indonesia bisa mencapai 217 triliun pertahun. Namun realisasinya, yang dapat terkumpul hanyalah 6 triliun pertahun (0,2%).4 Sedangkan wakaf sendiri memiliki potensi hingga 185 triliun tiap tahunnya5. Namun, yang dapat terkumpul di tahun 2017 hanya sebesar 400 miliar (0,002%). Sungguh ironi memang. Oleh karenanya, lembaga-lembaga keuangan khususnya perbankan syariah harus dapat memutar otak dan menggali cara-cara solutif supaya dapat menarik konsumen lebih masif lagi. Salah satunya adalah “jemput bola” dengan analisis pasar yang ada, yaitu dengan memanfaatkan teknologi yang tengah berkembang.
Dengan menggunakan teknologi, maka seluruh daerah dapat dijangkau. Digitalisasi juga tidak memandang usia. Bahkan, anak-anak pun sudah banyak yang menggunakan smartphone. Ditambah lagi Indonesia akan mengalami bonus demografi, yang mana jumlah anak muda mendominasi. Hal ini tentunya menjadi peluang yang sangat besar dalam mempenetrasikan digitalisasi perbankan ke masyarakat supaya potens-potensi yang sudah diuraikan di atas bisa teraktualisasi dengan baik oleh perbankan syariah dan meningkatkan perekonomi bangsa secara menyeluruh.