Oleh: Khansa Fairuz (Bapernas FoSSEI 2019/2020)
Terhitung Indonesia telah menginjak setengah tahun sejak terkonfirmasi kasus Covid-19 pertama pada 2 Maret 2020 yang lalu. Periode pandemi yang cukup panjang bagi Indonesia alih-alih justru menghasilkan kondisi semakin memprihatinkan. Pasalnya, kasus terkonfirmasi di Indonesia mencapai 210.940 per 11 September 2020 sehingga menempatkan negeri ini pada posisi tertinggi kedua di Asia Tenggara dan ke-23 di dunia (Center of Strategic and International Studies (2020), Worldometer (2020)). Angka fantastis ini tentu sedikit banyak disumbang oleh pelonggaran kebijakan pembatasan sosial di berbagai daerah yang disambut hangat ketidakacuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.
Di tengah kondisi tersebut, tentu telah terdengar di telinga masyarakat perihal adanya agenda pesta demokrasi, Pilkada serentak 2020, yang akan tetap diselenggarakan di 270 daerah di Indonesia pada 9 Desember 2020. Pilkada serentak 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015 dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota (Tim detikcom, 2019). Dari 270 Pilkada yang diselenggarakan, tercatat ada 309 kabupaten/kota yang akan menggelar pemilihan umum. Di antara 309 wilayah tersebut, diketahui bahwa terdapat 45 kabupaten/kota yang merupakan zona merah atau wilayah dengan risiko penyebaran virus Covid-19 yang tinggi. Jumlah ini diikuti dengan 152 daerah zona risiko sedang, 72 daerah risiko rendah, dan 26 daerah tanpa kasus terkonfirmasi (Nurdiana, 2020).
Apabila berkaca dari berbagai penyelenggaraan sebelumnya, momentum pemilihan umum menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk mengeskpresikan hak politiknya, baik sebelum maupun selama berlangsungnya pesta demokrasi ini. Hal ini menyebabkan potensi munculnya kerumunan massa tentu sulit untuk terelakkan. Maka, bukan suatu hal yang janggal saat beberapa pihak tidak mendukung berlangsungnya pemilihan di tengah kondisi pandemi. Salah satunya adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang berargumen bahwa apabila pelaksanaan Pilkada tetap dilakukan, terdapat kekhawatiran penyebaran Covid-19 akan semakin tidak terkendali. Dari segi hak asasi manusia, hal ini berpotensi terlanggarnya hak-hak, seperti hak untuk hidup, kesehatan, dan rasa aman. Dengan kata lain, pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ini dapat mempertaruhkan kesehatan dan keselamatan penyelenggara, pasangan calon, dan pemilih (Riana, 2020). Saran ini seperti halnya kebijakan Myanmar yang menunda pemilihan umum pada November 2020 ini. Pemerintah Myanmar baru akan mengumumkan perubahan waktu pelaksanaan pada bulan Oktober (Nyein, 2020).
Hipotesis ini bahkan sudah terbukti dengan banyaknya bakal calon peserta Pilkada yang terkonfirmasi positif Covid-19. Data sementara yang berhasil dihimpun per 6 September 2020 pukul 24.00 melalui KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota dari total 21 provinsi, sebanyak 37 calon dinyatakan positif Covid-19 berdasar hasil swab test. Hal memprihatinkan lain juga dicerminkan temuan Bawaslu, yaitu sebanyak 243 Bapaslon melakukan pelanggaran protokol kesehatan selama menjalankan pendaftaran (Alam, 2020). Menanggapi hal ini, Kemendagri memberikan teguran keras terhadap Bapaslon yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Ancaman sanksi juga tengah disiapkan, mulai dari penundaan pelantikan bagi pemenang yang melanggar hingga disiapkannya pejabat sementara langsung dari pusat. Kemendagri dalam hal ini menerapkan prinsip stick and carrot untuk menegakkan protokol kesehatan Covid-19 selama tahapan Pilkada, yaitu pelanggar yang telah mendapatkan teguran akan mendapatkan sanksi lebih berat jika pelanggaran terulang (Bayhaqi, 2020)
Apabila pada periode pendaftaran Bapaslon Pilkada saja terdapat banyak pelanggaran protokol kesehatan, kemungkinan besar akan terjadi pelanggaran dengan angka yang jauh lebih besar saat dimulainya fase kampanye, pemungutan suara, hingga penghitungan suara yang melibatkan lebih banyak masyarakat. Sebagai contoh, asumsikan setiap paslon melanggar protokol kesehatan dengan kampanye di dalam kerumunan massa yang masing-masing berjumlah 300 orang sebanyak satu kali saja. Diketahui bahwa sampai dengan penutupan periode pendaftaran paslon pada 6 September silam, tercatat terdapat 25 bakal paslon yang mendaftar di 9 provinsi, 603 bakal paslon di 222 kabupaten, dan 100 bakal paslon di 37 kota (Bayu, 2020). Dengan asumsi seluruh bapaslon dinyatakan lolos menjadi paslon di Pilkada 2020, dapat diketahui bahwa akan terbentuk 728 kerumunan dengan massa yang terhimpun sebanyak 218.400 orang. Sesuai dengan data kasus Covid-19 per 11 September 2020, terbentuk rasio sebesar 32 pasien positif Covid-19 per 1 juta penduduk. Maka, melalui estimasi kasar dengan asumsi yang ada, penyelenggaraan kampanye tersebut dapat berpotensi mempercepat laju penambahan kasus sebanyak 6976. Hal ini dapat diperparah apabila kerumunan massa terjadi dengan frekuensi dan kapasitas yang lebih besar daripada asumsi penulis sebelumnya.
Maka, pada hari ini yang mungkin potensi keselamatan masyarakat belum dirasa lebih darurat dibandingkan ‘kemaslahatan’ bersama dengan adanya Pilkada serentak 2020, sudah selayaknya baik pemerintah maupun masyarakat mengambil ancang-ancang. Saat ini, masyarakat tidak hanya memerlukan imbauan dan edukasi saja, melainkan upaya ekstra dalam menghadapi Pilkada serentak 2020 ini. Pertama, perlu adanya pengawasan yang diikuti tindakan tegas atas pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan, baik kepada paslon maupun panitia penyelenggara. Misalnya, pada saat fase kampanye apabila paslon melanggar protokol kesehatan sebanyak tiga kali akan didiskualifikasi. Untuk panitia penyelenggara, apabila ditemukan pelanggaran protokol kesehatan di tempat pemungutan suara, akan diberlakukan sanksi berupa denda atau skorsingtugas sebagai panitia penyelenggara. Lebih jauh, perlu adanya alokasi aparat keamanan di setiap TPS yang baik untuk mengurangi moral hazard masyarakat yang merasa tidak diawasi pihak berwajib.
Kedua, perlu dirancang pula sistem pemilihan yang tepat untuk meminimalisasi adanya potensi penyebaran, khususnya bagi masyarakat lansia yang relatif rentan terhadap virus. Salah satu sistem yang dapat diterapkan adalah adanya disiplin kloter waktu pemilihan seperti yang telah dilaksanakan di Singapura (Aman, 2020). Dalam hal ini, lansia diberikan waktu tersendiri sehingga terpisah dari masyarakat berusia muda yang orang tanpa gejala. Alternatif lain yaitu memperbesar rasio TPS dan pemilih seperti yang dilakukan India. Diketahui bahwa kapasitas yang semula 1.500 disesuaikan menjadi 1.000 orang pemilih (Ganapathy, 2020). Selain itu, perlu adanya sistem pemilihan khusus bagi para pengidap Covid-19. Mongolia pada penyelenggaraan pemilihan umumnya menerapkan disiplin isolasi terhadap pemilih yang hendak memasuki TPS apabila terindikasi memiliki gejala positif Covid-19 (Aman, 2020). Di sisi lain, India memberlakukan sistem pemilihan last minute bagi pasien Covid-19 dengan sistem daring yang berada di bawah pengawasan tenaga kesehatan (Ganapathy, 2020).
Terakhir, konsekuensi umum dari penyelenggaraan Pilkada adalah peningkatan kapasitas tes di daerah penyelenggara, khususnya zona risiko tinggi dan sedang. Tes ini juga perlu ditindaklanjuti dengan disiplin karantina, baik secara mandiri untuk gejala ringan maupun di rumah sakit untuk pasien yang membutuhkan perawatan tenaga kesehatan. Hal ini perlu dilakukan dengan cepat untuk menghindari adanya klaster baru pada Pilkada serentak 2020.
Referensi
Alam, B. (2020, September 7). 37 Bakal Calon Peserta Pilkada 2020 Positif Covid-19. Diambil kembali dari Liputan 6: https://www.liputan6.com/news/read/4349459/37-bakal-calon-peserta-pilkada-2020-positif-covid-19
Aman, A. (2020, Agustus 5). Elections in a Pandemic: Lessons From Asia. Diambil kembali dari The Diplomat: https://thediplomat.com/2020/08/elections-in-a-pandemic-lessons-from-asia/
Bayhaqi, A. (2020, September 11). Daftar 72 Petahana Pilkada 2020 yang Ditegur Mendagri karena Langgar Protokol Kesehatan. Diambil kembali dari Liputan 6: https://www.liputan6.com/pilkada/read/4353546/daftar-72-petahana-pilkada-2020-yang-ditegur-mendagri-karena-langgar-protokol-kesehatan
Bayu, D. J. (2020, September 8). 5 Wilayah dengan Bakal Paslon Terbanyak dalam Pilkada 2020. Diambil kembali dari Databoks: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/08/5-wilayah-dengan-bakal-paslon-terbanyak-dalam-pilkada-2020
Center for Strategic and International Studies. (2020, September 11). Southeast Asia Covid-19 Tracker. Diambil kembali dari Center for Strategic and International Studies: https://www.csis.org/programs/southeast-asia-program/southeast-asia-covid-19-tracker-0
Ganapathy, N. (2020, Agustus 28). Covid-19 patients will be able to vote in elections in Bihar, India’s third most populous state. Diambil kembali dari The Straits Times: https://www.straitstimes.com/asia/south-asia/covid-19-patients-will-be-able-to-vote-in-elections-in-bihar-indias-third-most
Nurdiana, T. (2020, September 11). Daftar 45 daerah penyelenggara Pilkada 2020 yang masuk zona merah Covid-19. Diambil kembali dari Kontan: https://nasional.kontan.co.id/news/daftar-45-daerah-penyelenggara-pilkada-2020-yang-masuk-zona-merah-covid-19
Nyein, N. (2020, September 3). Myanmar’s Election Body to Decide on COVID-19 Election Delay in October. Diambil kembali dari The Irrawaddy: https://www.irrawaddy.com/elections/myanmars-election-body-decide-covid-19-election-delay-october.html
Riana, F. (2020, September 11). Angka Covid-19 Masih Tinggi, Komnas HAM Minta KPU Tunda Pilkada 2020. Diambil kembali dari TEMPO.CO: https://pilkada.tempo.co/read/1385248/angka-covid-19-masih-tinggi-komnas-ham-minta-kpu-tunda-pilkada-2020/full&view=ok
Tim detikcom. (2019, Juni 23). Ini 270 Daerah yang Gelar Pilkada Serentak 2020. Diambil kembali dari detikNews: https://news.detik.com/berita/d-4596501/ini-270-daerah-yang-gelar-pilkada-serentak-2020
Worldometer. (2020, Septemeber 11). Countries where COVID-19 has spread. Diambil kembali dari Worldometer: https://www.worldometers.info/coronavirus/countries-where-coronavirus-has-spread/