Oleh: Khansa Fairuz dan Fajrunas Alqodri (Bapernas FoSSEI 2020/2021)
Pada bulan November 2020 silam, Indonesia resmi dinyatakan masuk ke dalam jurang resesi sebagai akibat dari adanya pandemi Covid-19 yang belum kunjung membaik. Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah turut melakukan revitalisasi perekonomian, salah satunya melalui
kebijakan relaksasi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Pemberlakuan relaksasi PPnBM ini akan dimulai per bulan Maret 2021 sampai dengan Desember 2021. Relaksasi PPnBM dalam hal ini hanya berlaku pada mobil dengan kapasitas mesin kurang dari 1.500 cc, berpenggerak 4×2, termasuk sedan, dengan kandungan lokal mencapai 70 persen. Pada tahap pertama, insentif akan diberikan 100 persen dari tarif semestinya. Sementara itu, pada tahap kedua insentifnya 50 persen, dan tahap ketiga sebesar 25 persen (Idris, 2021). Insentif pajak ini memberikan pengaruh perubahan harga yang cukup besar. Pasalnya, PPnBM ini sebelumnya diberlakukan sebesar 10-200 persen dari harga jual mobil dan dikenakan kepada konsumen secara langsung. Maka, pemberlakuan relaksasi PPnBM ini berpotensi dapat mendorong peningkatan permintaan masyarakat pada pasar mobil. Namun demikian, beberapa dampak negatif juga berpotensi muncul dari adanya kebijakan relaksasi tersebut.
Pertama, kebijakan relaksasi ini cukup menjadi paradoks. Insentif pajak ini diharapkan dapat meningkatkan volume penjualan mobil agar dapat membantu menggerakkan perekonomian. Secara rasional, peningkatan jumlah mobil yang dimiliki masyarakat akan rawan
meningkatkan mobilitas masyarakat juga. Di sisi lain, pada situasi pandemi ini masyarakat dianjurkan untuk mengurangi mobilitas. Maka, hal ini cukup memunculkan kontradiksi bagi masyarakat (Dewi, 2021).
Kedua, kebijakan relaksasi ini masih kurang tepat sasaran dengan segmen ≤ 1.500 cc kategori sedan dan 4×2. Segmentasi pada kendaraan tersebut adalah masyarakat menengah ke bawah. Meskipun terjadi penurunan harga mobil, kebijakan relaksasi ini tidak menambah daya
beli masyarakat. Kebijakan akan lebih tepat apabila menargetkan konsumen menengah ke atas. Sebab, mengacu data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, kontribusi konsumsi
Rumah Tangga terbesar adalah kelompok menengah atas dengan angka 80 persen.
Ketiga, aturan relaksasi ini dinilai tidak terlalu berdampak terhadap lembaga keuangan syariah. Dosen Keuangan Syariah asal Universitas Indonesia (UI) Nur Dhani Hendranastiti mengatakan, bahwa PPNBM 0 persen memang diharapkan dapat meningkatkan pembelian mobil. Akan tetapi, dengan kondisi ekonomi seperti saat ini, baik konsumen maupun lembaga keuangan syariah akan lebih berhati-hati. Maka, penurunan PPNBM ini mungkin tidak akan menambah secara signifikan konsumen yang ingin membeli kendaraan bermotor. Di sisi lain, lembaga keuangan syariah saat ini juga masih hati-hati dalam menyalurkan pembiayaannya
sehingga kemungkinan tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Jika pun ada peningkatan, hal ini lebih ke konsumen yang memang mampu dan sesuai dengan kriteria yang dimiliki oleh lembaga keuangan syariah.
Terakhir, pada aspek lingkungan, kebijakan ini tentu berpotensi meningkatkan volume polusi yang dihasilkan oleh kendaraan.
Friedlingstein et al. (2020) melansir bahwa tingkat emisi di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 678 MtCO atau setara dengan peringkat 8 dunia. Dalamhal ini, kendaraan bermotor menjadi kontributor terbesar dalam angka emisi tersebut. Faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah penggunaan bahan bakar minyak (BBM) beroktan rendah (Kurniawan, 2020). Tentu dengan adanya insentif pajak ini, volume kendaraan akan terus meningkat sehingga produksi emisi dari kendaraan motor juga akan meningkat.
Oleh karena itu, terdapat beberapa poin yang harus menjadi perhatian pada kebijakan ini.
Pertama, penanganan pandemi dari sisi kesehatan harus tetap menjadi perhatian utama. Dengan adanya kebijakan insentif pajak ini, masyarakat berpotensi meningkatkan mobilitas, khususnya pada masa libur lebaran yang akan datang. Perlu adanya kebijakan ekstra seperti drive-thru test
untuk mencegah penderita Covid-19 melakukan mobilitas antardaerah dengan kendaraan pribadi.
Kedua, perlunya regulasi dalam pengawasan kredit yang diberikan ke masyarakat. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi potensi gagal bayar dari pengguna produk pembiayaan pada masa pemotongan PPnBM karena merasa adanya ‘aji mumpung’.
Ketiga, perlu adanya perhatian lebih pada lingkungan yang sangat berpotensi terdegradasi dengan peningkatan polusi yang dihasilkan kendaraan pribadi baru masyarakat. Hal ini dapat diantisipasi dengan pemberlakuan minimal jumlah penumpang mobil dan revitalisasi area hijau Indonesia.
Referensi
Dewi, R. K. (2021, Februari 22). Menilik Dampak dan Manfaat dari Kebijakan Kredit Kendaraan dan KPR DP 0 Persen. Diambil kembali dari Kompas.com:https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/22/093000365/menilik-dampak-dan-manfaat-dari-kebijakan-kredit-kendaraan-dan-kpr-dp-0?page=all
Friedlingstein et al., 2020 : The Global Carbon Budget 2020, Earth System Science Data. Available at: Friedlingstein et al. 2020.
Idris, M. (2021, Februari 14). Mengenal PPnBM, Pajak yang Bikin Mobil Jadi “Barang Mahal” di RI. Diambil kembali dari Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2021/02/14/180342326/mengenal-ppnbm-pajak-yang-bikin-mobil-jadi-barang-mahal-di-ri?page=all.
Kurniawan, R. (2020, Desember 14). Kendaraan Bermotor Sumbang 60 Persen Polusi diIndonesia. Diambil kembali dari Kompas.com: https://otomotif.kompas.com/read/2020/12/14/082200615/kendaraan-bermotor-sumbang60-persen-polusi-di-indonesia.
Rahma, A. (2021 , Februari 20). Headline : Stimulus Pajak dan DP Kendaraan Baru 0 Persen, Plus-Minusnya. Diambil Kembali dari Liputan6.com:
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4487732/headline-stimulus-pajak-dan-dp-kendaraan-baru-0-persen-plus-minusnya