Fenomena relokasi menjadi suatu hal yang hampir pasti dalam pembangunan di Indonesia. Hampir selalu ada bangunan dan warga yang harus dipindahkan dalam setiap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sayangnya, track record pembangunan di Indonesia sering mencatatkan relokasi yang menciptakan konflik. Tidak sedikit dari konflik tersebut yang menimbulkan korban jiwa. Pada September 2023, warga Indonesia yang mengalami ricuh akibat proses relokasi adalah warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Warga Rempang hendak direlokasi ke perkampungan di Pulau Galang, tetangga sebelah Pulau Rempang karena adanya rencana pembangunan Rempang Eco City. Rencana pembangunan Rempang Eco City yang sudah berhenti didiskusikan selama 18 tahun kini hendak dilanjutkan dan direalisasikan.
Dengan dibangunnya Rempang Eco City, Pulau Rempang akan menjadi pulau yang ramah lingkungan dan sustainable lewat investasi yang dilakukan perusahaan Xinyi Glass Holding Ltd. dari China. Pulau Rempang yang memiliki luas 17.600 hektar itu akan dikembangkan menjadi tempat pariwisata dan industri berbasis teknologi terbarukan serta pelabuhan bertaraf internasional. 2.000 hektar lahan Rempang akan dijadikan pabrik pengolahan pasir kuarsa terbesar kedua di dunia. Dengan investasi berskala besar itu, pemerintah berharap Pulau Rempang mampu meningkatkan kompetitivitas Indonesia dengan negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia serta di taraf Asia Tenggara. Namun, harapan pemerintah tidak sama dengan harapan warga Rempang.
Sumber: Bisnis.com
Relokasi tidak berjalan mulus karena sampai saat ini hanya 10% warga Rempang yang bersedia dipindahkan. Pulau Rempang itu adalah perkampungan tua. Pulau Rempang bukan seperti permukiman di pinggir rel kereta, pinggir Daerah Aliran Sungai (DAS), atau kolong jalan yang mendapatkan izin membangun secara ilegal. Permukiman Melayu sudah berdiri di Pulau Rempang sejak berabad-abad lalu. Oleh karena itu, tawaran ganti rugi berupa uang tunai dan unit rumah baru sulit diterima mayoritas warga. Permukiman yang sudah ratusan tahun berdiri menciptakan ikatan yang kuat antara individu dengan alam Rempang. Jika relokasi permukiman ilegal saja berpotensi menciptakan konflik, maka relokasi permukiman tua jelas lebih berpotensi menciptakan konflik.
Solusi dari konflik relokasi apapun akan selalu sama, yaitu komunikasi yang baik dan perencanaan yang matang. Komunikasi diperlukan untuk mempertemukan sudut pandang setiap elemen sampai seluruhnya ada dalam satu pemahaman. Sementara itu, perencanaan kota diperlukan untuk pembangunan yang sesuai visi dan misi seluruh elemen serta keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Miskomunikasi pentahelix yang terjadi antara pemerintah pusat-pemerintah daerah-investor-aparat-masyarakat membuat proses relokasi terkendala karena belum bertemunya sudut pandang masing-masing. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah melihat kendala relokasi sebagai kekhawatiran karena keterlambatan proses pembangunan apalagi sampai menciptakan kerusuhan berdarah bisa membuat investor urung mengucurkan dana. Investor sudah menawarkan fasilitas dan benefit pada masyarakat dan pemerintah, namun benefit itu tetap berlandaskan pada keuntungan jangka pendek dan jangka panjang dari pembangunan infrastruktur. Investor tidak mungkin mengucurkan dana lebih banyak untuk pembinaan masyarakat di permukiman baru atau masyarakat yang belum memiliki skill yang mumpuni. Urusan ini hanya bisa diselesaikan sempurna oleh masyarakat itu sendiri dan pemerintah. Masyarakat sendiri sulit keluar dari Rempang karena ikatan budaya dan butuhnya waktu untuk beradaptasi. Sementara itu, aparat dipertaruhkan kredibilitasnya dalam menjalankan tupoksi sebagai resolusi konflik dan kelancaran pelaksanaan pembangunan di lapangan. Itulah mengapa terdapat oknum aparat yang menyelesaikan konflik relokasi dengan paksaan dan kekerasan.
Sumber: voi.id
Perencanaan yang matang sangat diperlukan dalam sebuah pengembangan kota termasuk dalam pengembangan Eco City. Dalam pembangunan Eco City, diperlukan adanya 4 pilar ini: (1) Keselarasan antara pembangunan infrastruktur dengan pelestarian alam, (2). Pengembangan Eco City tentu saja membutuhkan perencanaan yang terintegrasi antarsektor dan antarelemen. Perencanaan terintegrasi juga harus dibarengi dengan konsistensi dan ketegasan dalam merealisasikan pembangunan. Pemerintah sebagai eksekutor Eco City juga harus memiliki kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan di masa yang akan datang.
Indonesia dapat berkaca pada Singapura sebagai kompetitor Indonesia di Asia Tenggara terkait eco city masterplan. Masterplan pembangunan Eco City di Singapura sudah diletakkan sejak tahun 1967 oleh Perdana Menteri Singapura waktu itu, Lee Kuan Yiew. Singapura juga memiliki visi yang kuat dalam membangun Eco City, yaitu kebahagiaan seluruh warga Singapura. Singapura menjaga integrasi antarelemen dijaga melalui teknologi digital sehingga eksekusinya selalu dalam pengawasan pemerintah Singapura. Bukti kesuksesan Eco City Singapura dapat dilihat melalui Changi Airport dibangun dengan taman gantung dan air terjun dalam bandara, kemudian rumah sakit dengan konsep green building terbesar di Asia ada di Singapura. Singapura bahkan membangun sebuah downtown dengan rasio hijau mencapai 1100% dimana ketika gedung tersebut sudah tidak dipakai, maka gedungnya akan menjadi taman. Eco City yang sukses di Singapura dilanjutkan dengan regulasi pemanfaatan bawah tanah yang apik sebagai bentuk menutupi kekurangan Singapura dalam luas lahan negaranya. Beberapa di antara infrastruktur bawah tanah Singapura adalah MRT yang sudah berdiri sejak 1984 dan yang baru-baru ini dioperasikan adalah underground cooler system. Pemerintah Singapura membangun underground cooler system dimana terdapat jaringan pipa bawah tanah yang menyambungkan bangunan dengan sungai dan laut. Panas bangunan dialirkan ke air hingga suhu bangunan bisa turun 5 – 10 derajat celcius dan penggunaan listrik untuk air conditioner bisa turun sampai hampir 50%.
Sumber: voi.id
Perencanaan ini tidak akan sukses jika tidak adanya integrasi antara rencana pembangunan pemerintah dengan rencana pembangunan infrastruktur dari swasta. Oleh karena itu, Indonesia perlu membenahi masalah perencanaan kotanya. Perbaikan perencanaan bisa dimulai dari pemanfaatan teknologi digital untuk mengintegrasikan RPJPN dan RPJMN pusat, daerah, dan swasta. Eksekusi pembangunan dilaksanakan dengan sertifikasi sebagai bukti hitam di atas putih ditambah dengan pengamanan aparat terpercaya serta pemantauan secara digital. Jangan sampai regulasi pembangunan yang dikeluarkan pada masa lalu diaktifkan kembali dan dieksekusikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dalam menyikapi kasus Rempang Eco City ini, Presidium Nasional Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI), A’am Ar Rosyad menyatakan, “program dan kebijakan yang memiliki tujuan untuk memberikan kemaslahatan alangkah baiknya dilaksanakan dengan metode-metode yang baik dan tidak mendzalimi salah satu pihak, oleh karena itu sangat perlu dilaksanakan musyawarah serta komunikasi yang baik antara berbagai pihak untuk menyepakati kebijakan yang win-win solution”.
Sumber: fossei.org
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik….”
(QS. An-Nahl 16: Ayat 125)
“…hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah.”
(QS. Al-Hasyr 59: Ayat 18)
Penulis: Muhammad Yuka Anugrah
(Badan Pengurus Nasional FoSSEI Bidang Keilmuan 2022/2023)
REFERENSI
Mengintip Permasalahan Tata Ruang Kota Di Indonesia (pemkomedan.go.id)
https://youtu.be/2Rc44pjdHj0?si=uGrHz2A7b0Ahm5l4
https://youtu.be/PM101DvvG4Q?si=FsO74C9dJb8pn_il
https://youtu.be/QCZ8jInO7UY?si=DMmDEVWgyYQ2KL1I