Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Abu Ubaid (154 H- 224 H)

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Abu Ubaid (154 H- 224 H)

Oleh: Haryati

KSEI Isef STEI SEBI

Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi atau yang lebih dikenal sebagai Abu Ubaid lahir pada 154 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afganistan. Pada usia 20 tahun ia merantau untuk menuntut ilmu ke kota Kaffah, Basrah dan Baghdad yang menjadi pusat ilmu pengetahuan pada masa itu. Kemudian sekembalinya dari perantatuan yaitu tahun 192 H ia diangkat menjadi qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H pada saat pemerintahan Harun Ar-Rasyid.

Abu ubaid merupakan seorang ahli hadist dan ahli fiqh terkemuka di masa hidupnya. Fokus perhatian abu ubaid lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan daripada teknik efisiensi pengelolaannya. Pandangan-pandangan abu ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatannya yang bersifat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia didunia dan akhirat, baik yang bersifat individual maupun sosial. Karya-karya nya terkenal dan salah satu yang termahsyur adalah kitab Al-Amwal yakni kitab yang berisi pandangan Abu Ubaid mengenai keuangan publik.

Kitab Al-Amwal ini terdiri dari beberapa bab, bab pertama adalah tentang Baitul Mal dan Diwan-Diwannya. Abu Ubaid membahas tentang Baitu Mal karena pada saat itu lembaga negara yang berhak untuk mengatur keuangan negara hanya Baitul Mal. Oleh karena itu, ia merasa perlu untuk membahasnya dalam kita Al-Amwal ini. Ia membagi Baitul Mal menjadi dua departemen, yaitu depatemen pembelanjaan (waridat) dan pembelanjaan (nafaqat). Ia mengklasifikasikan sumber pendapatan negara ada tiga yaitu zakat atau shodaqoh, fai’, dan khumus. Sementara untuk pengeluaran negara disatukan dengan jenis pembelanjaannya dan sesuai dengan ketentuan khalifah.

Untuk perlakuan terhadap harta zakat Abu Ubaid adalah orang yang sangat menentang bahwa pembagian zakat harus merata ke delapan asnaf dan tidak boleh disalurkan kepada selain delapan asnaf baik untuk kepentingan negara umat maupun umat. Untuk zakat bintang ternak dan komoditi tidak ada yang boleh mengelola selain pemerintah. Jadi jika sesorang sudah mengeluarkan zakat komoditi tidak lewat pemerintah atau memberinya langsung kepada mustahik zakat, maka harus dikembalikan lagi kepada pemerintah.

Abu ubaid mengklasifikasikan status sosial seseorang berdasarkan status zakatnya. Yang pertama adalah kalangan kaya, yaitu orang yang wajib membayar zakat dan tidak berhak menerima zakat. Orang golongan ini adalah orang yang memiliki 200 dirham atau setaranya. Yang kedua adalah golongan menengah, yaitu orang yang tidak wajib membayar zakat dan tidak berhak menerima zakat pula. Orang golongan menengah adalah orang yang memiliki 40 dirham atau setaranya yang tidak termasuk kebutuhan sandang pangan dan papan. Ketiga adalah golongan penerima zakat, yaitu tidak berkewajiban membayar zakat dan berhak menerima zakat.

Dalam hal keuangan, ia menyetujui fungsi uang sebagai standar nilai pertukaran dan media pertukaran. Abu ubaid juga mengakui kepemilikan pribadi dan juga memberlakukan Iqta dan Hima. Iqta adalah tanah yang diberikan oleh negara kepada seorang rakyat untuk memproduktifkan tanah tersebut. Sedangkan hima adalah padang rumput yang diguakan untuk mengembala. Kepemilikan ini akan diambil kembali oleh negara jika tiga tahun berturut-turut lahan yang diberikan tersebut menganggur.

Sementara dalam hal filosofi hukum ia menganggap keadilan sebagai prinsip utama dan menitikberatkan pada hak khilafah dalam mengambil kebijakan selama sesuai dengan ketentuan syariat. Menurutnya perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik dan ia juga menghentikan diskriminasi, penindasan dalam perpajakan serta menghentikan upaya penghindaran pajak.

Dalam pembagian harta fai’ Abu Ubaid menyoroti tentang dikotomi kaum Badui dan Urban. Karena ia meengedepankan keadilan, maka menurutnya kaum Badui yang tidak terlalu banyak memberikan kontribusi kepada negara mendapatkan harta fai’ yang lebih sedikit daripada kaum Urban. Ia berpendapat bahwa kewajiban yang rakyat berikan kepada negara menetukan sebesar apa hak yang akan diterimanya dari negara. Dalam hal ini karena kaum Urban memiliki kewajiban dan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada negara maka kaum Urban berhak mendapatkan pembagian harta fai’ yang lebih banyak daripada kaum Urban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *