UU Minerba: Demi Kepentingan Korporasi atau Anak Cucu?

UU Minerba: Demi Kepentingan Korporasi atau Anak Cucu?

Oleh Dito Prakoso

Hari Lingkungan Hidup diperingati oleh seluruh dunia setiap tanggal 5 Juni. Tanggal tersebut ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Stockholm, yang merupakan konferensi pertama PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia pada 1972 di Stockholm, Swedia. Hingga kini, hari tersebut diperingati sebagai pengingat akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai wujud cinta bagi alam yang ditinggali oleh umat manusia. Tentu saja, kesadaran masyarakat global terhadap kondisi lingkungan menjadi hal yang sangat penting bagi keberlangsungan ekosistem pada bumi.
Menjaga alam merupakan tugas seluruh umat manusia. Setiap tahunnya, jumlah penduduk di muka bumi semakin meningkat, dimana hal tersebut beriringan dengan semakin banyaknya permasalahan pada lingkungan global. Permasalahan lingkungan merupakan hal yang kompleks dan bersifat multidimensional. Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), sejumlah permasalahan lingkungan tersebut mencakup deforestasi, perubahan iklim, polusi udara, manajemen lahan, biodiversitas dan kelangkaan air [1]. Selain itu, permasalahan ini melibatkan pemangku-pemangku kepentingan seperti pemerintah, investor maupun stakeholder lainnya.
Keterlibatan pemangku kebijakan semakin terlihat ketika pemerintah dan DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) di tengah pandemi Covid-19. Sugeng Suparwoto, pimpinan Komisi VII DPR mengatakan bahwa secara keseluruhan konsep RUU tersebut menghasilkan beberapa perubahan, yaitu penambahan dua bab baru, menjadi total 28 bab. Kemudian, terjadi perubahan 83 pasal, 52 pasal baru dan sebanyak 18 pasal dihapus. Total pasal dalam UU ini menjadi 209 pasal [2].
Dari perubahan tersebut, terdapat pasal-pasal yang dapat merugikan kondisi alam, salah satunya adalah pasal 169A yang mengatur penjaminan perpanjangan Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa proses lelang. Perpanjangan tanpa lelang ini tentunya akan menguntungkan perusahaan pertambangan yang memang membutuhkan kepastian izin pengelolaan batu bara. Padahal, melalui lelang tersebut pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap pengelolaan tambang tersebut [3]. Evaluasi dan ketentuan kontrak perpanjangan yang dibutuhkan antara lain dalam hal aspek perpanjangan, perizinan, tanggung jawab pengusaha terhadap lingkungan dan lain sebagainya.
Dalam proses pertambangan, pemenuhan terhadap aspek lingkungan perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak lingkungan sekitar akibat aktivitas tambang. US-EPA (1995) melakukan studi tentang pengaruh kegiatan pertambangan terhadap kerusakan lingkungan dan kesehatan manusia pada 66 kegiatan pertambangan. Hasil studi menyebutkan bahwa pencemaran air permukaan dan air tanah merupakan dampak lingkungan yang sering terjadi akibat kegiatan pertambangan. Dampak yang ditumbulkan akibat kegiatan tersebut sebesar 70 persen dan 65 persen secara berurutan [4]. Dampak lain yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan menurut UNEP (1999) yaitu kerusakan habitat dan biodiversitas pada sekitar lokasi tambang, toksisitas logam berat dan pencemaran udara.
Dampak lokal akibat kegiatan pertambangan juga diungkapkan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang mencatat ada 164 konsesi tambang mineral dan batu bara yang tersebar di 55 pulau kecil di seluruh Indonesia yang mengalami sejumlah kerusakan lingkungan dan sosial sebagai dampak dari eksploitasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil tersebut. Dua kerusakan yang paling disorot adalah sumber mata air penduduk yang hilang dan makin sulitnya produksi pangan [5]. Tentu saja, perubahan UU Minerba akan membuka peluang eksploitasi mineral dan batu bara yang lebih masif, yang dapat memberikan dampak negatif bagi kelestarian lingkungan hidup, terancamnya nyawa dan kesehatan warga, konflik sosial dan dampak lainnya.
Indonesia diakui sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik sumber daya hayati maupun sumber daya non-hayati. Kekayaan tersebut berperan besar bagi pemenuhan kebutuhan bangsa Indonesia. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam menyumbang devisa untuk negara. Tambang merupakan salah satu sektor sumber daya yang mampu mendorong pertumbuhan pembangunan pasca kemerdekaan hingga saat ini [6]. Pendapatan negara yang diperoleh dari aktivitas pertambangan dinilai cukup besar. Sebagaimana dikutip dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), bahwa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) dari sektor Energi dan Pertambangan Mineral Batubara (Minerba) sepanjang tahun 2019 mencapai Rp172,9 triliun, walaupun angka ini tidak mencapai target realisasi PNPB yakni Rp214,3 triliun.
Kendati demikian, dibalik besarnya pendapatan negara dari sektor minerba, negara bertanggung jawab atas risiko dari dampak usaha pertambangan terhadap kondisi kelestarian lingkungan hidup. Sejatinya, dalam rangka menertibkan usaha pertambangan, pemerintah telah lama menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Undang-Undang tersebut menjadi muara hukum dalam penyelenggaran usaha pertambangan di Indonesia saat ini.
Dari perubahan UU Minerba tersebut, peluang eksploitasi sumber daya alam tidak dapat dihindarkan, sehingga kelestarian alam akan terganggu. Dalam ajaran agama, perbuatan eksploitasi merupakan hal yang dilarang. Agama sebagai sumber nilai, moralitas dan spiritual bagi penganutnya merupakan salah satu faktor strategis yang turut memengaruhi cara pandang manusia tentang lingkungan hidup. Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang dipeluk oleh sebagian besar masyarakat Indonesia juga akan ikut memengaruhi konsep pandangan tentang lingkungan hidup [7]. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Araf ayat 10 “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu dimuka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.
Umat manusia menjadi kunci dalam menangani masalah lingkungan hidup. Peran manusia sebagai khalifah di bumi ialah untuk dapat memakmurkan bumi dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan lingkungannya. Dalam penggunaan sumber daya alam hendaklah jangan berlebih-lebihan, tetapi hendaklah dapat memelihara keseimbangan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Lingkungan hidup merupakan titipan Allah SWT yang harus dijaga kelestariannya bersama guna diwariskan untuk anak dan cucu kita. Lingkungan hidup adalah kekayaan yang besar dibandingkan harta benda yang kita miliki, tanpa lingkungan hidup yang baik tentunya kita tidak bisa hidup karena sepanjang hayat kita akan sangat tergantung kepadanya.

Referensi

[1]
UNEP, “21 Issues for the 21st Century: Result of the UNEP Foresight Process on Emerging Environmental Issues,” United Nations Environment Programme (UNEP), Nairobi, 2012.

[2]
Detik, “Pasal-pasal ‘Mencurigakan’ dalam RUU Minerba,” 12 May 2020. [Online]. Available: https://finance.detik.com/energi/d-5011570/pasal-pasal-mencurigakan-dalam-ruu-minerba. [Accessed 3 June 2020].

[3]
Mongabay, “UU Minerba Ketok Palu: Jaminan Korporasi, Ancaman bagi Rakyat dan Lingkungan,” 13 May 2020. [Online]. Available: https://www.mongabay.co.id/2020/05/13/uu-minerba-ketok-palu-jaminan-korporasi-ancaman-bagi-rakyat-dan-lingkungan/. [Accessed 3 June 2020].

[4]
EPA, “EPA Office of Compliance Sector Notebook Project, Profile of the Metal Mining Industry,” U.S. Environmental Protection Agency, Washington, 1995.

[5]
CNN, “Ratusan Konsesi Tambang Disebut Merusak Pulau Kecil,” 26 03 2019. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190325172953-32-380525/ratusan-konsesi-tambang-disebut-merusak-pulau-kecil. [Accessed 3 June 2020].

[6]
Suara, “Catatan Kritis Perubahan UU Minerba: Babak Baru Pertambangan di Indonesia,” 22 May 2020. [Online]. Available: https://www.suara.com/yoursay/2020/05/22/134329/catatan-kritis-perubahan-uu-minerba-babak-baru-pertambangan-di-indonesia. [Accessed 3 June 2020].

[7]
M. Ilyas, “Lingkungan Hidup dalam Pandangan Islam,” Jurnal Sosial Humaniora, vol. I, no. 2, pp. 154-166, 2008.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *