Ferdian Firmansyah
Fenomena pandemi COVID-19 sangat berefek pada hampir seluruh bidang kehidupan, baik ekonomi, kesehatan, maupun sosial. Dalam sektor ekonomi, pandemi ini tidak hanya menggerus sektor keuangan, namun juga sektor riil. Salah satu sektor yang sangat terdampak akan adanya pandemi ini adalah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Padahal selama ini, UMKM memegang kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Bagaimana tidak, menurut data yang disajikan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenkopUKM) pada tahun 2018, terdapat 64.194.057 UMKM yang telah mencakup sekitar 99 persen dari total unit usaha. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), UMKM memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dengan persentase sebesar 61,4 persen. Angka-angka tersebut membuktikan bahwa UMKM merupakan tumpuan utama bagi ekonomi nasional.
Tak dapat dipungkiri, adanya pandemi COVID-19 cukup memukul
mundur UMKM yang menjadi
salah satu tulang
punggung perekonomian nasional. Menurut KemenkopUKM, sekitar 37.000 UMKM melaporkan bahwa usaha mereka cukup terdampak oleh adanya
pandemi COVID-19 ini. Masalah yang
dialami pun bermacam-macam, seperti penurunan penjualan yang memaksa
adanya pengurangan produksi serta macetnya pembiayaan dan distribusi barang. Hal tersebut
sangatlah mengkhawatirkan sehingga memerlukan perhatian serius. Beberapa solusi
yang diberikan adalah proses restrukturisasi UMKM dipermudah disertai dengan
pemberian stimulus kredit UMKM senilai Rp70 Triliun dari Pemerintah Pusat. Namun, pemberian
stimulus tersebut dirasa kurang maksimal karena masih cukup banyak pelaku usaha
yang belum menerima stimulus
tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh kurang luasnya jangkauan stimulus
pemerintah sehingga stimulus tersebut tidak sampai ke semua pelaku usaha UMKM
yang terdampak. Selain itu, besarnya jumlah stimulus yang dirasa belum bisa mencakup
seluruh UMKM yang terdampak dapat menjadi salah satu faktor kurang maksimalnya pemberian stimulus oleh pemerintah.
Hal tersebut tentu akan lebih mendorong adanya peran filantropi. Filantropi merupakan tindakan sukarela seseorang berdasarkan keinginannya demi kemaslahatan umum (Friedman & McGarvie, 2002). Sedangkan ZISWAF (Zakat, Infaq, Shodaqoh, Wakaf) merupakan instrumen filantropi yang berlandaskan nilai- nilai islam serta bertujuan untuk pemberdayaan umat. Salah satu lembaga pengelola dana ZISWAF yang berupaya untuk memberdayakan pelaku UMKM terdampak pandemi ini adalah Rumah Zakat. Lembaga ini telah bergerak dengan memberi bantuan berupa modal dan pendampingan usaha kepada ratusan UMKM yang telah terdaftar sebagai unit usaha.
Realitanya, kekuatan terbesar ekonomi islam terletak pada filantropi, sebuah tindakan kolektif yang didasarkan pada society atau kepedulian sosial. Dalam hal ini, ZISWAF masih menjadi pijakan bagi perkembangan ekonomi islam. Tidaklah mengherankan jika potensi ZISWAF bagi arus perekonomian sangat masif. Hal tersebut dipertegas oleh kenyataan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia dengan angka mencapai 229 juta. Ditambah lagi, pada tahun 2018, Indonesia sempat dinobatkan oleh Charities Aid Foundation (CAF) menjadi negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi di dunia. Kita ambil contoh zakat.
Menurut Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), potensi zakat
sendiri pada tahun 2020 mencapai Rp340 Triliun. Akan tetapi, lembaga amil zakat
hanya dapat mengumpulkan sekitar Rp5
Triliun. Selain itu, menurut data Badan Wakaf Indonesia (BWI), filantropi islam
dalam praktiknya masih didominasi oleh ZIS. Padahal, pengembangan filantropi
berupa wakaf tidak kalah pentingnya, terutama wakaf tunai. Pandangan masyarakat
mengenai wakaf cenderung hanya terfokus pada
aset tidak bergerak.
Berdasarkan data BWI, potensi wakaf
tunai sendiri hampir mencapai Rp180 triliun. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa wakaf tunai juga berpotensi mendorong
perekonomian terutama dalam membantu permodalan sektor UMKM, dimana nilai uang akan tetap dijaga utuh dan dikelola secara produktif.
Lalu apa penyebab kurang optimalnya pemanfaatan instrumen ZISWAF? Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai ZISWAF atau kurang praktisnya penyaluran ZISWAF itu sendiri. Kedua, kurang maksimalnya peran penghubung antara pemberi dan penerima dana. Ditambah lagi dengan adanya pandemi COVID-19, ruang gerak tiap individu akan semakin terbatas. Ketiga, kepercayaan kepada penerima serta pengelola dana. Menurut Tarmizi (2011), salah satu bentuk profesionalitas kerja adalah pelayanan kepada pemberi dana dengan pendekatan modern, karena mereka juga membutuhkan kepuasan dan kemudahan. Maka dari itu, penting bagi pengelola dana untuk meningkatkan kualitas layanan dan inovasi, salah satunya melalui pendekatan berupa technology-based yang tentu akan mempermudah donatur untuk menyalurkan dananya. Harapannya, dengan adanya kemudahan tersebut, dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas dan juga donatur dapat secara rutin menyalurkan dananya sehingga dana yang diterima untuk kemaslahatan umat semakin meningkat. Dari sinilah, pengembangan infrastruktur pengelolaan yang terdigitalisasi melalui financial technology (fintech) dapat menjadi jembatan dalam memaksimalkan ZISWAF.
Salah satu lembaga filantropi yang mulai memanfaatkan fintech adalah Baznas. Lembaga ini menggandeng fintech SOBATKU. Sedangkan untuk wakaf tunai, telah dikembangkan Sharia Financial Technology (SFT). Sistem ini dimanfaatkan untuk memperluas produktifitas wakaf sekaligus mengintegrasikan stakeholder terkait. Sistem ini juga digunakan untuk pembentukan big data yang mengintegrasikan berbagai sistem dan pihak yang berkaitan.
Walaupun masih tergolong baru, penggunaan fintech sebagai media pengumpulan ZISWAF
sudah mulai dilirik oleh para penggiat sosial untuk menyalurkan dana mereka.
Salah satu contohnya adalah fintech berbasis
crowdfunding, yaitu sebuah platform
penghimpunan dana masyarakat, dengan hasil yang didapatkan ditujukan sebagai
pembiayaan pada sebuah proyek, kegiatan sosial, atau merealisasikan unit usaha
(Arifin & Wisudanto, 2017). Seiring berjalannya waktu, munculah konsep
berupa Islamic crowdfunding dimana
dana yang dikumpulkan harus terbebas dari riba, maysir, maupun gharar serta
harus digunakan sesuai prinsip Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah. Sayangnya, penggunaan fintech sebagai metode baru dalam mengumpulkan dana filantropi belum terlalu banyak diterapkan. Padahal, perpaduan antara instrumen filantropi dengan teknologi merupakan salah satu strategi pengumpulan dana yang menjanjikan. Maka dari itu, dibutuhkan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai penjamin halalnya islamic crowdfunding dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara yang memberikan izin sekaligus pengawas praktik crowdfunding.
Berbagai media sosial kini semakin marak mengadakan
kampanye crowdfunding untuk membantu UMKM yang dikumpulkan dalam suatu
platform. Hasil penghimpunan dana tersebut selanjutnya akan disalurkan kepada
pelaku UMKM. Kemudahan UMKM dalam mengakses serta memperoleh pembiayaan menjadi
salah satu kunci keberhasilan dalam pengumpulan dana melalui fintech. Maka dari itu, integrasi antara berbagai pihak
seperti Baznas, BWI (jika donasi berupa wakaf), OJK, MUI, investor perusahaan fintech, serta kelompok UMKM yang
terdampak pun sangatlah penting demi maksimalnya peran ZISWAF bagi UMKM. Jika
dampak pandemi COVID-19 terhadap UMKM dapat diminimalisir, tentu krisis ekonomi
berupa kesenjangan sosial, pengangguran, maupun kemiskinan dapat ditekan.
Sehingga, kemaslahatan umat akan tetap terjaga dengan baik.
Daftar Pustaka
Pakpahan, Aknolt Kristian. 2020. “COVID-19 dan Implikasi Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional.
Ryandono, Muhamad Nafik Hadi. 2018. “Fintech Waqaf: Solusi Permodalan Perusahaan Startup Wirausaha Muda”. Jurnal Studi Pemuda Vol. 7 no. 6 2018.
Hapsari, Vidia. 2019. “Fintech Crowdfunding Mulai Banyak Dilirik Penggiat Sosial.” Diakses pada 13 Juni 2020. (duniafintech.com)
Wahyuni, Sri, dan Septiana Indriani Kusumaningrum. 2019. “Jatsiyah Financing System: Fintech Berbasis Waqaf-Crowdfunding untuk Tercapainya Kemaslahatan Nelayan ABK.” Jurnal Ekonomi dan Keuangan Islam Vol. 6 no. 2 2019.
Fahlefi, Rizal. 2018. “Inklusi Keuangan Syariah Melalui Inovasi Fintech di Sektor Filantropi.” Diakses pada 13 Juni 2020. (ecampus.iainbatusangkar.ac.id)
FR, Yahya. 2020. “Data Populasi Penduduk Muslim 2020: Indonesia Terbesar di Dunia.” Diakses pada 13 Juni 2020. (ibtimes.id)