Oleh : Halwani ( KSEI IsEF SEBI )
1. Pendahuluan
Perbincangan terkait geliat sektor keuangan nasional tidak bisa lepas dari pembahasan mengenai lembaga keuangan, dalam hal ini perbankan syariah. (Rose: 2010) menyebutkan bahwa perbankan merupakan lembaga intermediasi yang berfungsi sebagai lembaga penyaluran dana dari sektor yang kelebihan, ke sektor yang kekurangan dana. Meskipun telah berdiri selama 20 tahun, System Keuangan Islam (Islamic Finance System/FIS) Masih memiliki market share yang sangat Kecil. Pada tahun 2009 besarnya aset perbankan Syariah di bandingkan dengan total asset perbankan nasional sebesar 2,45%.Hingga November 2011, sistem keuangan Islam hanya memiliki market share 3,82%.(Ade Wirman Syafei, 2013).
Dengan demikian, pertumbuhan sistem keuangan Islam selama 2009 sampai dengan 2011 hanya 1,37% atau 0,5% per tahun. Berdasarkan outlook perbankan syariah 2016 market share perkembangan perbankan syariah di Indonesia sampai bulan desember 2016 tercatat sebesar ± 4,86%. Sehingga target market share yang di canangkan Bank Indonesia sebesar 5% pada tahun 2008 sampai 2016 bagi perbankan syariah selama beberapa tahun berjalan belum tercapai (Mulya Siregar:2016)
Dalam internal perbankan syariah, terdapat dua masalah pokok yang perlu diperbaiki. Pertama ialah permasalahan ukuran keberhasilan bank syariah yang lebih mengutamakan pencapaian keuntungan dan efisiensi biaya dibandingkan dengan pencapaian maqasid syariah (Hasibuan, 2011). Permasalahan berikutnya ialah pembiayaan non profit-loss sharing seperti murabahah masih mendominasi pembiayaan pada bank-bank syariah di Indonesia. Pada tahun 2010 komposisi pembiayaan murabahah sebesar 55% terhadap total pembiayaan, sedangkan data November 2011 sebesar 54%. Meskipun menunjukkan sedikit penurunan, namun pembiayaan non profit-loss sharing ini masih mendominasi (Ade Wirman Syafei, Sisca Decyola Widuhung, 2013).
Namun dalam hal inovasi, perbankan syariah menemui beberapa kendala yang menghambat perkembangan bisnisnya (Kajian Model Bisnis Perbankan Syariah: 2017). Bank Syariah masih belum mampu seutuhnya menyentuh masyarakat yang membutuhkan bantuan modal pembiayaan produktif (Statistik Perbankan Syariah: 2017). Rendahnya market share perbankan syariah di Indonesia juga merupakan penghambat utama bagi perkembangannya, per bulan Maret 2017 mencapai 5,4% dari pangsa pasar keuangan nasional. Lebih lanjut meskipun tumbuh namun rendah capaian angka pertumbuhan ini.
Dewasa ini teknologi berperan penting dalam peradaban bisnis yang bersifat mempermudah dan mempercepat aktivitas kerja bisnis sehingga menjadi optimal dan efisien. Menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2015 menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta (34% dari jumlah penduduk) dan pengguna ponsel sebanyak 318,5 juta jiwa. Melihat persoalan pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah, agar masyarakat memiliki tingkat literasi keuangan syariah, maka perlu adanya perluasan bisnis perbankan syariah yang di hubungakan dengan keberadaan Financial Technologi (Fintech) hubungan bisnis ini yang saling berkaitan dengan industry (perbankan dan Fintech) yang memiliki kelebihan dan kekurangan pada karakter bisnisnya.
Lebih lanjut berbagai perkembangan pelaku industri fintech, pengakuan regulator dan potensi masyarakat yang masih luas terhadap akses keuangan, memungkinkan digagasnya suatu strategi yang menghubungkan antara perbankan syariah dan fintech. untuk memperkuat pembiayaan yang inklusif persoalan manajemen risiko sebagai salah satu masalah yang harus dikelola bank.(Said, 2017)
2. Strategi Linkage Perbankan Syariah dan Financial Technology
Secara umum untuk menghadirkan model bisnis yang menjadi jalan tengah antara praktisi dan regulator (sekaligus akademisi) pada perbankan syariah. Bentuk strategi tahap awal adalah dengan dilakukannya linkage yang mutualis antara perbankan syariah dengan fintech. Berikut ini pola linkage yang akan dibangun
berdasarkan karakteristik keunggulan masing-masing model industri perbankan maupun financial technology. Dalam hal ini penulis menginisiasikan model saling silang antara kekuatan-kelemahan-peluang dan ancaman yang dimiliki oleh perbankan syariah maupun fintech.
Sebagaimana Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan regulasi yang menjamin keberadaan financial technology yakni POJK No. 77 No 01 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Lebih lanjut dalam pola pembiayaan yang berbasis linkage telah diperkenalkan tiga model pembiayaan generic model linkage, antara lain; model executing, channeling dan joint financing. Dalam pola executing bank syariah memberikan pembiayaan kepada LKM untuk diteruskan pada UMK, LKM diberikan kewenangan untuk memutuskan calon mitra yang akan mendapatkan fasilitas pembiayaan dan konsekuensi risiko juga ditanggung oleh BPR dan pencatatan di bank umum sebagai pembiayan ke LKM. Akad yang digunakan antara bank syariah dan LKM adalah mudharabah sedangkan antara LKM dengan UMK disesuaikan dengan kebutuhan UMK.
Selanjutnya jika pola channeling perbankan syariah memberikan pembiayaan langsung kepada UMK sebagai end user melalui LKM yang bertindak sebagai wakil dari bank tersebut. Pada bank syariah dengan LKM digunakan akad wakalah sedangkan antara LKM dengan UMK disesuaikan dengan kebutuhan. Terakhir dalam pola joint financing pembiayan yang dilakukan antara bank syariah dan LKM dalam membiayai UMK, dimana risiko ditanggung bersama oleh kedua belah pihak sesuai porsi masing-masing. Akad yang digunakan antara bank syariah dengan LKM adalah musyarakah sedangkan antara LKM dan UMK disesuaikan dengan kebutuhan.
Pada pola linkage pembiayaan linkage executing ini, arsitektur linkage pembiayaan yang dibangun adalah hubungan kelembagaan antara fintech dengan perbankan, sebagaimana dalam teori prinsipal agen, bahwa suatu kontrak yang awet dipengaruhi oleh kejelasan dan keseimbangan informasi antara prinsipal (bank syariah) dengan agen (fintech) lebih lanjut untuk menciptakan pola yang menguntungkan dalam hubungan kelembagaan ini. Kesepakatan akad yang digunakan haruslah jelas, dalam pola linkage executing digunakan akad mudharabah.
3. Pengelolaan ZISWAF berbasis CROWDFUNDING dengan menggunakan rekening perbankan syariah karena besar sekali potensi dari dana social yang di miliki oleh umat Islam maka Oleh karena itu sudah seharusnya dana lembaga-lembaga social umat islam harus di kelola oleh di perbankan syariah untuk mendorong pertumbuhan market share Perbankan syariah. Seperti KITA BISA. COM