Sinergi Industri 4.0 dan Automodernisme dalam Mewujudkan Konsep Halal Lifestyle

Sinergi Industri 4.0 dan Automodernisme dalam Mewujudkan Konsep Halal Lifestyle

oleh Ali Wardani ( Ksei FORKEIS UIN Alauddin Makassar )

Revolusi Industri 4.0 secara resmi muncul di Jerman, tepatnya ketika dilakukan Hannover Fair 2011 (Kagermann dkk, 2011). Istilah industri 4.0 dalam Hannover Fair 2011 merujuk pada konsep pemanfaatan teknologi digital di berbagai bidang. Rancangan pemanfaatan teknologi digital secara resmi dijadikan konsep kebijakan pengembangan ekonomi beberapa negara di dunia. Misalnya Jerman yang menuangkannya dalam kebijakan High-Tech Strategy 2020. Sedangkan di beberapa negara lain dituangkan dalam kebijakan lain misalnya Smart Factories, Industrial Internet of Things dan Smart Industry. Meski mempunyai nama yang berbeda, secara subtansi kebijakan tersebut tetap mengusung satu tema yaitu Revolusi Industri 4.0.

Digitaliasi atau Revolusi Industri 4.0 dalam era modernitas memberi dampak terhadap berbagai tatanan kehidupan manusia, termasuk budaya. Robert Samuel, dalam bukunya New Media, Cultural Studies and Critical Theory of After Postmodernism (2010:3) mengatakan bahwa digitalisasi membantu membentuk tahapan budaya baru dalam masyarakat yang disebutnya dengan istilah automodernity. Konsep automodernity secara singkat merupakan tahapan akulturasi budaya atau pergeseran budaya sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan kata lain, proses digitaliasi Industri 4.0 dapat menggeser budaya dalam masyarakat modern menjadi budaya baru.

Secara sederhana, budaya yang berkembang dalam masyarakat saat ini sebagai akibat dari automodernity disebut budaya global. Budaya ini memiliki karakteristik berupa penyatuan budaya atau gaya hidup masyarakat sebagai akibat dari kemajuan teknologi. Komunikasi yang tak terpisah oleh jarak dan waktu merupakan faktor utama dari berkembangnya budaya global. Sebagai contoh, gaya hidup barat yang cenderung hedonisme menjadi budaya global yang ditiru masyarakat di belahan bumi lainnya. Penyebabnya tidak lain adalah proses automodernity yang terjadi dikarenkan mudahnya mendapatkan informasi melalui media.

Berbeda dengan gaya hidup barat yang hedonis, Islam menawarkan gaya hidup yang disebut dengan halal lifestyle atau gaya hidup halal. Halal lifestyle atau gaya hidup halal merupakan sebuah konsep gaya hidup bernafaskan Islam yang digali dari nilai-nilai ajaran Islam (Al-Quran dan As-Sunnah). Gaya hidup halal lebih mengedepankan nilai ibadah yang membuatnya berbeda dari gaya hidup hedonis yang mengedepankan nafsu manusia. Halal lifestyle sendiri bukan merupakan sebuah budaya, namun memiliki peluang menjadi budaya baru dalam era Industri 4.0 melalui proses automodernity.

Automodernity atau pergeseran budaya sebagai dampak proses digitalisasi Indusrti 4.0 merupakan peluang bagi konsep halal lifestyle menjadi budaya. Halal lifestyle dapat diwujudkan menjadi budaya baru melalui gerakan digitalisasi akses berbagai kebutuhan manusia misalnya produk makanan halal, keuangan islam, perjalanan halal, busana sopan, media dan rekreasi halal serta farmasi dan kosmetik halal. Dengan begitu proses digitalisasi akan membantu akulturasi budaya global menjadi budaya halal lifestyle.

Peluang halal lifestyle menjadi sebuah budaya baru dalam era Industri 4.0 setidaknya dapat dilihat dari dua sisi yang tentunya terkait dalam proses digitalisasi. Pertama, dari sisi konsumen, potensi pasar muslim yang bertransaksi secara digital masih cukup besar yaitu seebesar 5,8% penduduk dunia dengan jumlah transaksi mencapai US$107,2 miliar (www.muslimpopulation.com). Tentunya dengan potensi pasar yang besar ini, start-up berbasis syariah atau layanan digital halal masih mempunyai peluang besar dalam membantu automodernisme budaya global menuju budaya halal lifestyle. Kedua, sisi produsen, dimana dalam era Industri 4.0 kemajuan teknologi sangatlah pesat. Fenomena ini memungkinan produsen membuat start-up atau aplikasi halal baru dengan cepat dan mudah. Melalui perkembangan start-up berbasis halal yang cepat, maka akulturasi budaya global menjadi budaya halal lifestyle akan semakin mudah dengan jangkauan yang luas. Sebagai contoh, perkembangan media elektronik Islami pada tahun  2013 senilai US$ 186 miliar dengan perkiraan pertumbuhan mencapai US$301 miliar di tahun 2019. Angka pertumubuhan ini diperkiran dapat menyerap 5,2% dari total konsumsi dunia (Ditjen PEN, 2015). Dengan angka konsumsi dan perkembangan yang tinggi maka penyebaran nilai Islam atau budaya halal lifestyle akan semakin mudah melalui media.

Peluang pengembangan Ekonomi Islam terkhusus halal lifestyle dalam era Industri 4.0 harus dimanfaatkan. Pemanfaatan ini tentunya melalui proses digitalisasi nilai Ekonomi Islam itu sendiri. Sebagai contoh, melalui financial tecnologi atau fintech berbasis syariah, nilai-nilai Islam seperti kejujuran dan bebas riba akan terwujud di dalamnya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan masuknya nilai-nilai Islam tersebut, maka konsumen akan merasa lebih aman dan senantiasa menggunakan produk halal dalam pemenuhan kebutuhannya seperti makanan, wisata, kosmetik, farmasi dan lain sebagainya. Melalui digitalisasi berbagai kebutuhan manusia ini, maka bukan tidak mungkin budaya halal lifestyle dapat menggeser atau mengakulturasi  budaya global yang eksis hari ini.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *