23 Juni 2025 – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak. Iran secara terbuka mengancam akan menutup Selat Hormuz, salah satu jalur pelayaran energi paling vital di dunia sebagai bentuk respons atas dukungan militer Amerika Serikat terhadap Israel dalam konflik terbaru di kawasan. Retorika keras dari Teheran menyebut bahwa “langkah ekstrem akan diambil” jika agresi Israel yang dibacking penuh oleh Amerika Serikat tidak dihentikan. Pernyataan ini langsung mengguncang pasar energi global, memicu kekhawatiran atas potensi lonjakan harga minyak dan krisis pasokan bahan bakar dunia.
Potensi penutupan selat tersebut oleh Iran menimbulkan kekhawatiran besar terhadap stabilitas pasokan energi global dan ekonomi internasional. Sekitar 20 persen pasokan minyak dunia dan sebagian besar gas alam cair (LNG) melewati Selat Hormuz setiap hari, menjadikannya titik kritis dalam rantai distribusi energi global. Negara-negara Asia seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan menjadi konsumen utama dari pasokan energi yang melalui selat ini. Tak kurang dari 38 persen total aliran minyak melalui selat berasal dari Arab Saudi.
Jika selat benar-benar ditutup, para analis memperkirakan harga minyak dunia dapat melonjak drastis. Beberapa proyeksi menyebut harga bisa naik dari USD 90 menjadi USD 200 per barel, tergantung pada durasi dan skala gangguan. Sejarah mencatat bahwa setiap konflik besar yang melibatkan produsen minyak utama hampir selalu berdampak langsung pada lonjakan harga energi global.
Konsekuensi penutupan selat tidak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga berpotensi memicu inflasi global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Negara-negara pengimpor minyak utama di Asia diperkirakan akan mengalami kenaikan biaya bahan bakar, lonjakan premi asuransi pengiriman, dan tekanan pada sektor manufaktur dan logistik. Negara-negara seperti Filipina bahkan menghadapi ancaman resesi akibat kenaikan tajam dalam harga transportasi dan kebutuhan pokok.
Penutupan selat bukan hanya merugikan pihak pengimpor. Negara-negara pengekspor minyak di kawasan Teluk Persia, termasuk Iran sendiri, akan mengalami kerugian besar karena terhambatnya jalur ekspor utama. Hampir seluruh ekspor LNG Qatar juga bergantung pada akses Selat Hormuz, menjadikan situasi ini sangat kompleks dan penuh risiko bilateral.
Ketegangan di wilayah ini diprediksi akan memicu respons militer cepat dari Amerika Serikat dan sekutunya, yang secara historis memiliki kepentingan besar menjaga kebebasan navigasi di kawasan tersebut. Walaupun kemampuan Iran untuk menutup selat secara permanen dinilai terbatas, gangguan berskala menengah dalam beberapa hari hingga minggu dapat mengacaukan pasar global. Selain respon militer, jalur diplomatik juga ditempuh. Amerika Serikat disebut telah mendorong Tiongkok untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Iran, mengingat pentingnya pasokan energi bagi perekonomian Tiongkok.
Beberapa negara Teluk memiliki jalur pipa alternatif, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, namun kapasitasnya hanya sekitar 2,6 juta barel per hari, jauh dari cukup untuk menutupi seluruh volume yang biasa melewati Selat Hormuz. Hal ini menunjukkan keterbatasan solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, ancaman seperti ini akan mempercepat upaya diversifikasi sumber energi dan jalur distribusi, serta mendorong negara-negara besar untuk memperkuat strategi ketahanan energi nasional. Bagi Tiongkok, misalnya, hal ini bisa menjadi pemicu untuk mengamankan lebih banyak infrastruktur energi lintas darat dan memperkuat kemitraan strategis di kawasan Asia Tengah.
Penutupan Selat Hormuz, meskipun belum terjadi secara resmi, sudah cukup untuk mengguncang pasar energi dan memicu reaksi dari berbagai penjuru dunia. Dengan potensi dampak yang sangat luas mulai dari harga minyak, inflasi global, hingga tensi geopolitik. Situasi ini menjadi salah satu isu paling krusial yang harus terus dipantau dalam dinamika hubungan internasional dan ketahanan energi global.
Penulis: Muhammad Fazil Zihni
Disunting oleh Admin