Setiap pagi, ribuan pengusaha kecil di seluruh indonesia membuka toko mereka dengan satu kekhawatiran yang sama: apakah produk mereka masih akan laku tahun depan? Kekhawatiran ini mencerminkan realitas 5,6 juta produk UMKM
Data BPJPH Mei 2024: 4,4 juta dari 10 juta produk UMKM berhasil bersertifikat halal. Sisanya? Masih bergulat dengan proses yang bikin kepala pusing hingga deadline Oktober 2026 semakin mendekat.
Pengusaha Indonesia harus menunggu hampir sebulan untuk mendapatkan sertifikasi halal, sementara di Malaysia prosesnya dikenal lebih cepat dan efektif. Perbedaan ini terkait dengan kecepatan dan kesiapan untuk memanfaatkan pasar halal yang bernilai triliunan dolar di seluruh dunia.
Akar masalahnya: Sistem sertifikasi halal kita seperti masih pakai mesin tik di era smartphone. Sementara Malaysia sudah pakai aplikasi canggih, kita masih fotokopi berkas bolak-balik. Padahal, solusinya telah ada di depan mata. PT Sreeya Sewu Indonesia telah membuktikan kalau teknologi blockchain bisa bikin tracking halal supply chain jadi transparan, aman, dan super efisien.
Pertanyaannya sekarang: masih mau kita biarkan Indonesia cuma jadi penonton, sementara negara lain berlomba jadi pemain utama di industri halal dunia? Atau saatnya kita berani ambil langkah revolusioner yang bisa ngubah game completely?
UMKM: Tulang Punggung Ekonomi yang Tersandung Sertifikasi Halal
UMKM itu sebenernya jagoan tersembunyi ekonomi Indonesia. Bayangin aja, mereka menyumbang lebih dari 60% PDB nasional dan nyerap 97% tenaga kerja. Jadi, hampir semua orang Indonesia hidupnya bergantung sama sektor ini!
Tapi ada yang bikin miris. Meski potensi ekonomi halal Indonesia besar sekali, mayoritas pelaku UMKM masih kesulitan dalam sertifikasi halal padahal ini peluang emas yang harusnya bisa dimanfaatin maksimal.
Data BPJPH Mei 2024 menunjukkan bahwa dari 10 juta produk UMKM yang harus bersertifikat halal, hanya 4,4 juta yang selesai. Sisanya? Masih 5,6 juta produk (56%) yang statusnya “belum aman” alias belum punya sertifikat halal angka ini tuh bukti kalau sektor UMKM kita belum ready banget hadapi kewajiban sertifikasi halal yang bakal diberlakukan menyeluruh.
bersertifikat halal di Indonesia (2024)
44% (4,4 juta produk)
56% (5,6 juta produk)
Sudah Tersertifikasi Belum Sertifikasi
Sumber : BPJPH, 2024
Ngeri gak sih? Para pelaku UMKM bisa kehilangan kesempatan emas buat ikut kompetisi di pasar halal, baik domestik maupun internasional. Padahal kalau sertifikasi halal ini bisa berjalan lancar, bakal mempercepat inklusi ekonomi syariah, buka akses pasar lebih luas, dan bikin posisi Indonesia makin kuat di industri halal global. Apalagi deadline Oktober 2026 telah di depan mata meski mungkin ada penyesuaian buat UMKM tertentu.
Yang bikin agak lega, pemerintah telah gerak cepat dengan program SEHATI. Sayangnya, masih banyak obstacle yang bikin prosesnya jadi lambat: kurang sosialisasi, masalah budget, dan literasi digital yang masih rendah jadi batu sandungan utama buat para pelaku UMKM.
Sertifikasi Halal: Dari Harapan Jadi Beban
Ceritanya begini – BPJPH telah berusaha keras bikin sistem SIHALAL yang katanya bakal memudahkan proses sertifikasi halal jadi serba digital. Tapi nyatanya? Banyak UMKM yang masih nyangkut di tengah jalan, bahkan ada yang sampai frustasi setengah mati. Lah kok bisa begitu?
Ternyata ada beberapa masalah mendasar yang bikin sistem yang seharusnya mempermudah ini malah jadi sumber keribetan baru
Hambatan utama SIHALAL adalah waktu proses. BPJPH menetapkan standar 21 hari kerja, namun kenyataannya beda jauh. Masalahnya ada di mana-mana. Dokumen sering tidak lengkap, pemeriksaan LPH berlapis-lapis, plus banyak pelaku UMKM yang gaptek soal digital. Akibatnya proses yang harusnya 21 hari bisa membengkak berbulan-bulan.
Yang kedua, sertifikasi halal masih terasa sebagai berat bagi banyak pelaku UMKM. Biaya sertifikasi jadi beban bagi UMKM yang belum dapat program SEHATI. Persyaratan rumit dan minim pendampingan bikin pelaku usaha bingung.
Pelaku usaha kita sering merasa frustrasi saat melihat perbandingan dengan negara-negara di sekitar kita. Sementara sistem di Malaysia dikenal lebih cepat karena lebih efisien, proses sertifikasi halal di Indonesia dapat memakan waktu hingga hampir sebulan. Akibatnya, usaha kecil dan menengah (UMKM) Indonesia menghadapi tantangan dalam bersaing di pasar halal global yang sangat menarik. Kurangnya integrasi antar lembaga memperpanjang proses sertifikasi, dan yang paling dirugikan adalah pelaku usaha itu sendiri.
Risikonya Nyata: UMKM Bisa Tersingkir dari Pasar Halal
Bayangin aja kalau sistem sertifikasi halal yang ribet ini terus dibiarkan begitu saja. Efeknya bakal kerasa banget, tidak cuma buat para pebisnis kecil tapi juga ekonomi kita secara keseluruhan.
Yang paling nyesek, produk-produk UMKM Indonesia jadi susah tembus pasar internasional. Tau gak sih, ada ribuan produk lokal yang sebenarnya berkualitas tapi mentok gara-gara tidak punya sertifikat halal. Negara Timur Tengah sangat ketat soal halal, sementara Indonesia masih berkutat dengan birokrasi lambat, eh kompetitor kayak Malaysia sama Thailand malah telah
duluan ngerebut pasar global.
Terus ada lagi nih yang bikin deg-degan ancaman hukuman yang nunggu di depan mata. Berdasarkan catatan BPJPH bulan Mei 2024, ternyata cuma 44,18% UMKM doang yang telah kantongi sertifikat halal. Lah padahal batas waktu Oktober 2026 makin deket. Kalau telat, siap siap kena sanksi berat: produk ditarik dari peredaran sampai didenda Rp 2 miliar..
Kondisi yang terjadi di Pamekasan bisa jadi gambaran seberapa parahnya situasi ini. Bayangin, dari total 49 ribu pelaku UMKM yang tersebar di 178 desa, yang berhasil dapet sertifikat cuma 9.200 produk per Mei 2024.
Masalahnya makin rumit karena ada 32 ribu UMKM yang bahkan belum punya izin usaha resmi ini jadi penghalang utama buat ngurus sertifikasi. Sejak Oktober 2024 kan sertifikasi halal telah jadi kewajiban. Ini bukan sekadar soal aturan pemerintah, tapi nyawa usaha kecil yang jadi penyangga ekonomi daerah. Kalau tidak ada tindakan cepat, masalah ini bakal menyebar ke seluruh nusantara.
Gambaran Perbandingan Jumlah UMKM, Produk
Bersertifikasi Halal, dan UMKM Belum Berizin
Pamekasan (2024)
Produk UMKM bersertifikat halal UMKM belum memiliki izin usaha Jumlah pelaku UMKM di Pamekasan
9.200
32.185
49.185
0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Jumlah
Sumber: Dinas Koperasi & UKM Pamekasan, 2024
Yang terakhir dan paling bikin sedih, potensi besar ekonomi halal Indonesia jadi sia-sia. Negara kita punya modal lengkap buat jadi raja pasar halal dunia: jumlah muslim terbanyak, sumber daya alam melimpah, plus permintaan yang terus naik. Tapi sayangnya, sistem sertifikasi yang lambat malah jadi batu sandungan besar. Jadi kalau mau tetap kompetitif, mempercepat proses sertifikasi halal bukan lagi soal pilihan, tapi sudah jadi kebutuhan mendesak.
Malaysia ngebut, Kita Masih Stuck di Formulir
Berbagai sistem sertifikasi halal di Indonesia dan Malaysia sangat berbeda. Proses sertifikasi halal masih terhambat oleh dokumen yang tidak lengkap, pemahaman pelaku usaha yang buruk, dan implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) yang belum sempurna, meskipun Indonesia telah mengembangkan platform digital SIHALAL. Secara umum, proses ini memerlukan 21 hingga 27 hari kerja, tetapi seringkali lebih lama. Sebaliknya, berkat integrasi teknologi digital yang matang dan pendampingan komprehensif dari pemerintah, Malaysia dapat mendapatkan sertifikasi lebih cepat melalui JAKIM. Namun, platform SIHALAL masih kurang ramah pengguna bagi pelaku UMKM, terutama di daerah dengan infrastruktur internet yang terbatas. Sistem digital tersebut menimbulkan kesulitan bagi banyak pengusaha.
Survei Putri (2024) menemukan bahwa sebagian besar UMKM (44%) sulit mendapatkan sertifikasi halal karena mereka tidak tahu bagaimana melakukannya. Selain itu, 33% UMKM merasa proses pengajuan sertifikasi halal terlalu rumit dan memakan waktu. Sementara itu, 10% UMKM mengatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk mendapatkan sertifikasi halal menjadi kendala bagi mereka, 10% mengatakan bahwa mereka tidak mengalami kendala, dan 3% mengatakan bahwa proses terbitnya sertifikasi berlangsung lama.
Gambaran Kendala Utama UMKM dalam Sertifikasi Halal di Kabupaten Pamekasan
Proses terbit sertifikat yang lama Tidak mengalami kendala
Kendala biaya
Proses rumit dan memakan waktu Kesulitan karena kurang informasi
3%
10%
10%
33%
44%
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45% 50%
Persentase (%)
Sumber: Putri (2024)
Sementara BPJPH masih memperoleh reputasi yang sebanding dari perspektif pengakuan internasional, sertifikat JAKIM telah memperoleh kepercayaan internasional. Indonesia baru saja memulai penggunaan teknologi blockchain, sementara Malaysia bahkan telah memasukkannya ke dalam sistemnya. Indonesia berisiko semakin tertinggal dalam persaingan industri halal global jika tidak ada upaya perbaikan yang signifikan. Untuk transformasi menyeluruh, evaluasi sistem domestik yang dianggap lamban, birokratis, dan belum sepenuhnya digital harus dijadikan momentum.
Blockchain: Solusi Intelektual untuk Masalah yang Tak Selesai
Bayangin kalau beli makanan halal cukup dengan scan QR code dan langsung kelihatan seluruh proses produksinya. Keren, kan? Sistem sertifikasi halal yang transparan, cepat, dan tidak dapat dimanipulasi adalah kekuatan teknologi blockchain.
Setiap tahap rantai pasokan dicatat secara otomatis dalam sistem terdesentralisasi, mencegah manipulasi atau data palsu. Bisnis tidak perlu mencari dokumen yang tidak jelas, konsumen dapat percaya, dan regulator dapat memantau. Setiap satunya akurat, berguna, dan aman. Malaysia adalah salah satu negara yang telah menerapkan sistem tersebut.
Proses sertifikasi telah dipercepat secara signifikan. Meskipun proyek SiHalal BPJPH masih dalam tahap uji coba, Indonesia telah melihatnya. Potensinya jelas sangat besar, apalagi jika blockchain ini bekerja sama dengan pembiayaan syariah seperti KUR Syariah atau dana sosial Islam untuk membantu UMKM membayar biaya implementasi teknologi. Tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga memberi pemilik bisnis kecil akses yang lebih mudah.
Jika Indonesia berani mengambil tindakan serius, blockchain dapat menjadi bagian penting dari transformasi sistem halal negara, lebih dari sekadar tren teknologi. Kita memiliki kesempatan yang sangat baik untuk bukan hanya mengejar ketertinggalan, tetapi bahkan menjadi pemimpin. Setelah teknologi blockchain tersedia, hanya kehendak politik yang diperlukan untuk diimplementasikan.
Blockchain Indonesia: Teknologi Masa Depan yang Masih Tertutup
Sertifikasi halal blockchain tampaknya merupakan solusi ideal untuk membuat proses menjadi cepat, transparan, dan terpercaya. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari yang diharapkan, sayangnya. Sampai tahun 2025, hukum Indonesia belum mengatur penggunaan blockchain di sektor publik seperti sistem sertifikasi halal.
Meskipun OJK bertanggung jawab atas pengawasan aset digital, belum ada aturan yang jelas tentang penggunaan blockchain untuk layanan publik seperti SiHalal. Meskipun BPJPH telah berusaha untuk memasukkan teknologi ini ke dalam sistem mereka, ini hanyalah uji coba tanpa kebijakan resmi yang jelas.
Tidak adanya literasi digital di kalangan aparatur pemerintah dan pekerja UMKM merupakan tantangan tambahan. Banyak orang bahkan tidak tahu apa itu blockchain atau bagaimana itu berfungsi. Selain itu, di daerah lain, keahlian teknis masih terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Situasi semakin sulit karena infrastruktur digital yang tidak merata, terutama di luar Pulau Jawa. Akses internet yang buruk, ketersediaan perangkat teknologi yang terbatas, dan keterbatasan anggaran membuat UMKM ragu untuk menggunakan teknologi yang manfaatnya belum jelas. Mereka membutuhkan banyak waktu dan energi untuk bertahan hidup sehari-hari.
Proyek SiHalal sendiri sebenarnya langkah awal yang positif dalam digitalisasi sertifikasi halal. Namun implementasinya masih menghadapi banyak hambatan: prosedur yang rumit, kendala teknis, serta kurangnya dukungan dan pelatihan. Bukannya meringankan beban, sistem digital ini justru kerap membingungkan pelaku usaha.
Namun, masih ada kemungkinan. Dengan dukungan dari kebijakan yang jelas, komitmen pemerintah, dan ekosistem yang siap, blockchain dapat menjadi pengubah sistem halal Indonesia. Selain itu, jika digunakan bersama dengan pembiayaan syariah seperti KUR Syariah atau dana sosial Islam untuk membantu usaha kecil dan menengah (UMKM) dalam proses adopsi teknologi. Melihat potensi industri halal Indonesia yang besar dan peluang ekspor yang terus meningkat, investasi di sektor ini jelas merupakan langkah strategis yang harus diambil dalam jangka panjang.
Ini tentang Keberanian Memulai, Bukan Teknologi.
Meskipun dunia semakin efisien dan transparan, jutaan usaha kecil dan menengah halal masih terjebak dalam sistem birokrasi manual.Sementara negara lain berlari dengan blockchain, kita masih sibuk menyusun ulang formulir.
Ini bukan soal teknologi semata. Ini berkaitan dengan keadilan akses, hak UMKM untuk berkembang, dan tanggung jawab kita untuk membangun sistem yang dapat diandalkan tanpa mengorbankan waktu, biaya, dan ketidakpastian. Blockchain adalah lebih dari sekadar alat teknologi; itu adalah jalan menuju sistem halal yang lebih adil, adil, dan kompetitif. Selain itu, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia telah terlalu lama ketinggalan zaman.
Untuk transformasi ini, BPJPH, akademisi, dan stakeholder ekonomi syariah harus bekerja sama untuk membangun sistem sertifikasi halal yang efektif dan transparan. Di masa depan, yang akan dikenang bukan hanya mereka yang tahu solusinya, tetapi juga mereka yang berani menggunakannya.
Daftar Pustaka
Badan Legislasi DPR RI. (2024). Isu sepekan pusat penelitian badan keahlian DPR RI edisi III – Mei 2024. https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan—III PUSLIT-Mei-2024-195.pdf
BPJPH Kementerian Agama Republik Indonesia. (2024). Statistik sertifikasi halal dan program SEHATI.
Halal Times. (2024, April 10). Malaysian halal certification process shortened to 23 working days. Halal Times. https://www.halaltimes.com/malaysian-halal-certification-process shortened-to-23-working-days/
Putri, R. (2024). Tantangan sertifikasi halal pada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) produk pangan di Kabupaten Pamekasan. Assyarikah: Journal of Islamic Economic Business, 2(5), 222–242. https://ejournal.unia.ac.id/index.php/Assyarikah/article/view/1911
Solehah, N., Rahman, A., & Putri, D. (2025). Klasterisasi UMKM terhadap implementasi sertifikasi halal di Kabupaten Pamekasan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Seri III, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Terbuka. https://conference.ut.ac.id/index.php/saintek/article/download/4982/1871/11652
Suara.com. (2023, Juli 15). Sreeya Sewu Indonesia terapkan halal blockchain dalam mengolah produk Belfoods. Suara.com. https://www.suara.com/lifestyle/2023/07/28/195546/sreeya-sewu-indonesia-terapkan halal-blockchain-dalam-mengolah-produk-belfoods

