Ada Apa di Balik Krisis Minyak Goreng?

Ada Apa di Balik Krisis Minyak Goreng?

Oleh: Iffah Hafizah & Dzuliyati Kadji (Bapernas Keilmuan FoSSEI)

Indonesia merupakan salah satu produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Hal ini dibuktikan dari total nilai ekspor kelapa sawit dari Indonesia mencapai US$17,36 miliar pada 2020, yang memiliki sumbangsih 53,46% dari total nilai ekspor kelapa sawit dunia yang sejumlah US$32,48 miliar di tahun tersebut (Dihni, 2022). Selanjutnya pada 2021, nilai ekspor minyak sawit mentah mencapai US$ 35 miliar, mengalami kenaikan sebesar 52,8% dari 2020 yang sebesar US$ 22,9 miliar (Pahlevi, 2022). Meski demikian, Indonesia justru berhadapan dengan krisis minyak goreng di pasar domestik. Sejak beberapa bulan terakhir, polemik lonjakan harga minyak goreng kian disorot. Harga minyak goreng yang melejit sejak akhir 2021 dan berlanjut hingga 2022 menjadi sebuah ironi bagi negara eksportir kelapa sawit terbesar di dunia ini. 

Menurut Center for Indonesian Policy Studies (2022), harga minyak goreng di Indonesia turut dipengaruhi oleh harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil / CPO) internasional. Sepanjang tahun 2021, harga CPO internasional meningkat signifikan sebesar 36,3% dibandingkan tahun sebelumnya (Endarwati, 2021). Sementara banyak produsen minyak goreng dalam negeri yang tidak berafiliasi dengan produsen CPO atau kebun sawit, sehingga harga minyak goreng sangat bergantung terhadap harga CPO. Akibatnya, harga minyak goreng terutama jenis curah dan kemasan meningkat tajam seiring peningkatan harga CPO global.

Kebijakan untuk meredam krisis minyak goreng di Indonesia jika dirunut ke belakang terbilang amat dinamis. Pada 18 Januari 2022, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberlakukan kebijakan minyak goreng Rp14.000 per liter di toko ritel dan di pasar tradisional sepekan setelahnya. Belum berjalan sepenuhnya, Kemendag memberlakukan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) terhitung sejak 27 Januari 2022. Kebijakan berlanjut dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada 1 Februari 2022, meski demikian minyak goreng masih langka dan mahal. Hingga pada 13 Maret 2022, pemerintah mencabut kebijakan HET dan mengambil kebijakan subsidi minyak goreng curah Rp14.000 per liter, sementara minyak goreng kemasan menyesuaikan dengan mekanisme pasar.

Menteri Perdagangan mengakui bahwa kebijakan harga ini belum optimal salah satunya karena distributor dan produsen yang memprioritaskan untuk memasok pasar ekspor. Intervensi pemerintah terhadap harga minyak goreng di dalam negeri membuat ekspor CPO lebih menguntungkan bagi produsen di tengah kenaikan harga minyak sawit di pasar global, padahal pihak pemerintah mengakui ketersediaan minyak melimpah sebanyak 415 juta liter sejak 14 Februari 2022 namun hanya bertahan 20 hari (Wahyudi, 2022). Sebelumnya, kinerja ekspor non-migas selama 2021 telah mengalami kenaikan signifikan dibanding 2020, salah satunya diakibatkan kenaikan harga ekspor olahan minyak kelapa sawit sebesar 42,41 persen (BPS, 2021). Walaupun dari sisi ekspor menguntungkan, namun seharusnya keterjangkauan minyak goreng bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah pun perlu mendapatkan perhatian. Mengingat minyak goreng merupakan salah satu bahan pokok sehingga permintaannya inelastis bagi masyarakat.  

Menanggapi krisis minyak goreng di Indonesia, Peneliti INDEF Rusli Abdulah et al., (2022) memaparkan empat faktor yang dapat menstimulasi kenaikan harga CPO. Pertama, terjadinya penurunan produksi CPO di negara produsen akibat Covid-19 serta gangguan cuaca. Misalnya, produksi CPO Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton atau turun 0,31% dibandingkan produksi 2020 sebesar 47,03 juta ton. Kedua, permintaan CPO mengalami kenaikan di pasar domestik maupun pasar ekspor. Untuk permintaan minyak sawit di dalam negeri saja terjadi kenaikan 6% dari 17,34 juta ton pada 2020 menjadi 18,42 juta ton pada 2021. Ketiga, kenaikan harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas, dan batu bara. Semakin mahalnya harga komoditas energi tersebut mendorong terjadinya substitusi energi fosil dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari biofuel. Keempat, terjadinya gejala commodity supercycle di masa pandemi Covid-19 saat ini melahirkan fenomena spekulasi di pasar komoditas, termasuk pada pasar CPO. Masifnya stimulus fiskal yang digelontorkan berbagai negara dunia selama masa pandemi menyebabkan bertambahnya uang beredar, sehingga memicu inflasi.

Adapun dalam Palm Oil Supply and Demand Outlook Report 2022, dinyatakan bahwa tren perdagangan minyak sawit pada tahun 2022 akan sangat bergantung pada biodiesel. Sejak triwulan pertama tahun 2020, pemerintah telah menerapkan kebijakan B30 yang mewajibkan perusahaan bahan bakar minyak di Indonesia untuk mencampur 70% solar dengan 30% biodiesel untuk menghemat bahan bakar fosil yang terbatas dengan mencampurkan bahan bakar lain dalam proses pengolahan bahan bakar minyak. Produsen CPO lebih cenderung menjual CPO ke perusahaan biodiesel daripada perusahaan minyak goreng karena harga jual CPO ke pasar biodiesel domestik lebih tinggi dibandingkan penjualan ke perusahaan minyak goreng. Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Perdagangan menyatakan bahwa alokasi program biodiesel memiliki pengaruh terhadap terbatasnya ketersediaan minyak goreng, namun hal ini dibantah oleh pemerintah seperti Komisi VII DPR dan Kementerian ESDM bahwa keterbatasan pasokan minyak goreng tidak ada hubungannya dengan program biodiesel tersebut (Media Indonesia, 2022; Kontan.co.id, 2022). 

Namun demikian, masalah kelangkaan ini juga perlu disoroti dari hulu ke hilir terkait dengan perilaku penimbunan yang tidak dapat dipungkiri masih banyak dijumpai baik dari sisi distributor yang menunggu berakhirnya kebijakan harga maupun masyarakat yang mengalami panic buying. Dari sudut pandang ekonomi Islam, penimbunan dan intervensi harga yang keliru dapat menyebabkan distorsi pasar (Rahmi, 2015). Para Ekonom Muslim seperti Yahya bin Umar, Imam al-Ghazali, Abu Yusuf dan Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang sama bahwa intervensi harga hanya dapat dilakukan apabila kondisi pasar tidak stabil akibat adanya ketidakadilan (Saleh, 2011). Namun sayangnya, intervensi harga yang dilakukan pemerintah Indonesia justru menimbulkan ketidakstabilan pasokan minyak goreng di dalam negeri. Adapun terkait ihtikar, juga tidak diperbolehkan karena mengganggu kestabilan pasar dan menyulitkan orang lain yang membutuhkan bahan pokok tersebut.  Realita yang terjadi di Indonesia pun demikian, dapat dilihat dari keterbatasan pasokan minyak goreng selama kebijakan harga dan kemudian pasokannya normal kembali. 

Sebagai respon awal terhadap harga minyak goreng yang meroket, pemerintah membuat kebijakan subsidi minyak goreng. Per 1 Februari 2022, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), masing-masing untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter. Namun, kebijakan ini malah membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka. Hampir dua minggu berlalu sejak diterapkan, harga minyak goreng di pasar hanya turun tipis seiring bongkar-pasang kebijakan. Ini terjadi karena penetapan HET tak diiringi tambahan pasokan memadai, sehingga harga jual masih bertahan di level tinggi. Bisa jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok minyak dengan harga lama belum habis. Hal ini merupakan salah satu dampak dari kurangnya kontrol pemerintah pasca mengeluarkan aturan baru, misalnya belum ada sanksi terhadap produsen minyak goreng yang tidak menjalankan aturan.

Lantas, Usai HET minyak goreng dicabut, keberadaan minyak goreng tiba-tiba hadir ke permukaan setelah sebelumnya sulit didapatkan. Meski demikian, kemunculan minyak goreng yang berkesan tiba-tiba ini datang dengan berbagai variasi harga yang berbeda di berbagai tempat. Adapun kisaran harga terbilang mahal jika dibandingkan dengan biasanya. Melansir data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, terhitung per 20 Maret 2022, harga komoditas ini masih berada di kisaran Rp20 ribu per liter dan mulai dari Rp 41 ribu untuk ukuran 2 liter. Bahkan ada yang dijual hingga Rp 50 ribu per 2 liter untuk beberapa merek minyak goreng tertentu.

Ketidakefektifan kebijakan subsidi minyak goreng kemudian diganti dengan kebijakan Domestic Market Operation (DMO) dan Domestic Price Operation (DPO) yang berlaku per 1 Februari 2022. Kebijakan ini diambil untuk memastikan pasokan minyak goreng nasional terpenuhi dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat luas. Namun di sisi lain, kebijakan DMO dan DPO memunculkan keberatan dari para pengusaha yang cenderung pro terhadap kebijakan subsidi. Mengingat dalam kebijakan DMO, perusahaan minyak goreng wajib memasok minyak goreng sebesar 20% dari volume ekspor mereka. Sementara dalam kebijakan DPO, pemerintah menetapkan harga CPO Rp 9.300 per kilogram CPO.

Kebijakan ini diyakini mampu meredam harga minyak goreng. Namun dalam penerapannya, kebijakan DMO dan DPO dinilai masih belum optimal yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng di pasaran. Melansir dari Bisnis.com, tim Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengungkapan banyak eksportir sawit ternyata tidak memasok bahan baku untuk kebutuhan minyak goreng di dalam negeri sehingga membutuhkan waktu untuk mencari pelaku usaha domestik. Selain itu, banyak produsen minyak goreng di dalam negeri yang tidak memiliki kebun kelapa sawit dan kesulitan mendapatkan bahan baku. Eksportir sawit umumnya juga berada di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pasar terbesar minyak goreng ada di Pulau Jawa, sehingga menimbulkan masalah distribusi. 

Gonta ganti kebijakan ternyata masih berlanjut. Per 16 Maret 2022, pemerintah mencabut ketentuan HET untuk komoditas minyak goreng kemasan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022. Dalam peraturan ini, pemerintah menetapkan tiga kebijakan untuk mengatasi kelangkaan pasokan dan tingginya harga minyak goreng di pasar. Pertama, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah seharga Rp14.000. Kedua, pemerintah mengembalikan harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar. Ketiga, pemerintah akan memberikan subsidi untuk minyak goreng curah yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).   

Namun di sisi lain, kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk memberikan subsidi untuk minyak goreng curah dan mengembalikan harga minyak goreng kemasan sesuai mekanisme pasar akan memberikan implikasi tersendiri. Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengemukakan, pemberian subsidi pada minyak goreng curah akan menggeser permintaan dari minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah. Apalagi, minyak goreng curah cukup besar pemanfaatannya baik di rumah tangga maupun UMKM. Dengan begitu, pergeseran demand ini akan kembali mengulang kelangkaan minyak goreng curah di pasaran sehingga perlu adanya pengawasan distribusi dan perdagangan minyak goreng curah untuk menghindari penimbunan kembali terjadi. Kemudian dari segi pengawasan akan sangat susah mengingat minyak goreng curah tidak memiliki barcode dan kode produksi sehingga ada kemungkinan bisa dioplos dengan minyak jelantah dan berpotensi menimbulkan moral hazard. Selain itu, melepas harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar dinilai sebagai kebijakan yang fatal karena yang akan dirugikan adalah kelas menengah. Khususnya yang saat ini pemulihan daya belinya belum bisa kembali pasca pandemi (Nurdiana, 2022).

Kebijakan yang baik bergantung pada kemampuan pemerintah mendiagnosis akar penyebab kenaikan harga. Jika tidak hati-hati, alih-alih menurunkan harga, kebijakan yang keliru justru berisiko membuat krisis jadi berkepanjangan. Berangkat dari masalah yang telah dijabarkan, ada beberapa langkah yang menurut penulis perlu dilakukan pemerintah untuk memastikan agar masyarakat tidak lagi kesulitan memperoleh minyak goreng dengan harga terjangkau. 

Pertama, perlu adanya pengawasan yang diikuti tindakan tegas atas pelanggaran kebijakan DMO dan DPO oleh pelaku usaha. Kebijakan ini akan efektif jika diikuti dengan kepatuhan para pelaku usaha, misalnya dengan menerapkan sanksi tegas berupa pencabutan izin usaha maupun melakukan larangan ekspor CPO ke luar negeri. Kedua, perlu dirancang sistem perdagangan CPO dan minyak goreng dari hulu ke hilir. Pasalnya, berdasarkan hasil penelitian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), disinyalir adanya indikasi praktik kartel pada perusahaan-perusahaan besar dalam negeri yang kompak menaikkan harga. Dampak praktik ini mendistorsi harga pasar sehingga tidak dapat berjalan murni sesuai hukum supply dan demand. Sebagai langkah preventif, pemerintah perlu mencabut regulasi yang menimbulkan hambatan masuk (entry barrier) pelaku usaha baru di industri minyak goreng, termasuk pelaku usaha lokal dan skala menengah kecil. Karena semakin banyaknya pelaku usaha baru diharapkan akan mengurangi dominasi kelompok usaha yang terintegrasi secara vertikal. 

Ketiga, perlu adanya antisipasi dampak lonjakan harga minyak goreng menjelang lebaran untuk memastikan pasokan minyak goreng mencukupi kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah perlu memperkuat mitigasi terhadap penyimpangan distribusi minyak goreng yang dilakukan oleh mafia minyak goreng, khususnya di kota-kota besar. Upaya ini seyogyanya diperkuat dengan pengawasan dari hulu ke hilir oleh Polri dan Satgas Pangan diseluruh wilayah Indonesia. Tindakan ini dinilai vital khususnya menjelang bulan Ramadhan dalam upaya penyediaan kebutuhan masyarakat terhadap minyak goreng di pasar.

Menilik krisis minyak goreng di negeri lumbung sawit, pemerintah sepertinya belum memiliki jurus jitu dalam menjinakkan turbulensi harga minyak goreng. Salah satu indikasinya adalah bongkar-pasang kebijakan dalam tempo amat pendek yang bukan mustahil masih akan terjadi, melihat harga minyak goreng yang bergeming meski kebijakan berubah silih berganti. Selain stabilitas harga, yang terpenting saat ini adalah memastikan ketersediaan minyak goreng di masyarakat dapat terjamin. Kebijakan yang dibuat seyogyanya tidak hanya di aspek hilir, tapi perlu menyentuh aspek hulu yang mencakup pengelolaan perkebunan, penentuan ekspor bahan mentah, hingga ewenangan investor. Ekspor minyak kelapa sawit sebagai bahan baku kosmetik dan bahan baku makanan juga perlu ditinjau ulang jika kebutuhan dalam negeri belum sepenuhnya terpenuhi. Jangan sampai seperti tikus kelaparan di lumbung padi, masyarakat sulit mendapatkan minyak goreng karena kebijakan yang keliru sejak awal. Meskipun sulit untuk memuaskan semua pihak, kita semua berharap agar krisis minyak goreng ini bisa segera usai. Sebab bukankah negara hadir untuk menjamin kesejahteraan rakyat?

Referensi:

Abdulah, Rusli et.al. (2022). Menakar Efektivitas Kebijakan Subsidi VS DMO-DPO Minyak Goreng. INDEF POLICY BRIEF No. 2/2022. Diakses dari INDEF: https://indef.or.id/source/research/impact-policy-brief/022022_pb_indef.pdf

Badan Pusat Statistik. (2021). Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2020. Diakses dari BPS: https://www.bps.go.id/publication/2021/11/30/5a3d0448122bc6753c953533/statistik-kelapa-sawit-indonesia-2020.html

Center for Indonesian Policy Studies. (2022). Oil Palm Productivity Remains Limited as Price of Cooking Oil Soars in Indonesia. Policy Brief No.12.

CPOPC. (2021). Palm Oil Supply and Demand Outlook Report 2022. Diakses dari CPOPC: https://www.cpopc.org/wp-content/uploads/2021/12/CPOPC-OUTLOOK-2022.pdf 

Dihni, Vika Azkiya. (2022). Indonesia Eksportir Kelapa Sawit Terbesar Dunia Tahun 2020. Diakses dari katadata: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/22/indonesia-eksportir-kelapa-sawit-terbesar-dunia-tahun-2020 

Endarwati, O. (2021). Terungkap! Ternyata Ini Penyebab Harga Minyak Goreng Naik. Diambil kembali dari IDX Channel: https://www.idxchannel.com/economics/terungkap-ternyata-ini-penyebab-harga-minyak-goreng-naik

Limanseto, Haryo. (2022). Pemerintah Mengakselerasi Kebijakan untuk Menjamin Ketersediaan Minyak Goreng bagi Masyarakat. SIARAN PERS HM.4.6/142/SET.M.EKON.3/3/2022. Diambil kembali dari Ekon.go.id: https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/3932/pemerintah-mengakselerasi-kebijakan-untuk-menjamin-ketersediaan-minyak-goreng-bagi-masyarakat

Media Indonesia.com. (2022). DPR Sayangkan Pernyataan Mendag tentang Minyak Goreng dan Biodiesel. Diakses dari https://mediaindonesia.com/ekonomi/469780/dpr-sayangkan-pernyataan-mendag-tentang-minyak-goreng-dan-biodiesel 

Nurdiana, T. (2022). HET Rp 14.000 per Liter dan Ada Sanksi, Harga Minyak Goreng Curah Tak Juga Murah. Diakses dari Kontan: https://nasional.kontan.co.id/news/het-rp-14000-per-liter-dan-ada-sanksi-harga-minyak-goreng-curah-tak-juga-murah

Pahlevi, Reza. (2022). Nilai Ekspor CPO Tembus US$ 35 Miliar pada 2021. Diakses dari katadata: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/31/nilai-ekspor-cpo-tembus-us-35-miliar-pada-2021# 

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional. (2022). Perkembangan Harga Pangan. Diakses dari PIHPS Nasional: https://hargapangan.id/tabel-harga/pasar-tradisional/daerah

Rahmi, A. (2015). Mekanisme Pasar dalam Islam. Jurnal Ekonomi Bisnis dan Kewirausahaan 2015, Vol. 4, No. 2, 177-192. https://media.neliti.com/media/publications/10534-ID-mekanisme-pasar-dalam-islam.pdf

Saleh, M. (2011). Pasar Syari’ah dan Keseimbangan Harga. Media Syariah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial.

Wahyudi, N. A. (2022). Ambyar! Kemendag: Stok Minyak Goreng Murah Melimpah, Bocor ke Industri dan Luar Negeri. Diakses dari Bisnis.com:https://ekonomi.bisnis.com/read/20220309/12/1508499/ambyar-kemendag-stok-minyak-goreng-murah-melimpah-bocor-ke-industri-dan-luar-negeri

Wahyudi, N.A. (2022). DMO Minyak Sawit 30 Persen, Pasokan Bahan Baku Minyak Goreng Bakal Mandek? Diakses dari Bisnis.com: https://ekonomi.bisnis.com/read/20220309/12/1508738/dmo-minyak-sawit-30-persen-pasokan-bahan-baku-minyak-goreng-bakal-mandek

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *