Oleh: Pramuditya Gama Nuari, KSEI Center for Islamic Economics Studies (CIES) FEB UB
Abad 21 merupakan era digitalisasi, perubahan telah terjadi di segala lini, tak terkecuali perekonomian Indonesia kini. Telah banyak bisnis rintisan (start-up) yang sedang berkembang dan dalam kasus ini adalah fintech (financial technology). Menurut data Bank Indonesia, saat ini telah berdiri sekitar 142 perusahaan fintech lokal yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah pun telah memberikan perhatian serius terhadap hal ini. OJK telah mengeluarkan Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 dan Bank Indonesia telah mendirikan Bank Indonesia Fintech Office. Namun, mengapa fintech memiliki peran yang strategis bagi perekonomian? Hal ini disebabkan fintech mampu meningkatkan inklusi keuangan Indonesia, di mana Indonesia berada pada posisi 21,8% sedangkan Malaysia di posisi 81%. Hal ini didukung dengan data bahwa dari 250 juta penduduk Indonesia, terdapat sekitar 88 juta pengguna aktif internet dan 64 juta pengguna aktif telepon genggam (Social Baker, 2016). Sehingga, peningkatan jumlah start-up fintech sejalan dengan jumlah pemilik telepon genggam yang jauh lebih banyak dari jumlah pemilik rekening bank.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, “…Fintech merupakan suatu opportunity bagi UMKM untuk bisa mendapatkan akses agar bisa terjangkau…”. Sebagaimana kita tahu UMKM berkontribusi sebesar 60,34% terhadap PDB dan menyerap tenaga kerja sebesar 97,22%. Namun sekitar 60-70% dari seluruh sektor UMKM belum mempunyai akses pembiayaan melalui perbankan. Penyebabnya dikarenakan banyak UMKM yang tidak bankable, yaitu sekitar 49 juta UMKM. Pengoptimalan peran fintech diharapkan mampu memperbaiki permasalahan ini, seperti bisnis Peer to Peer Lending yang diusung oleh Amartha.com, yaitu menjadi mediator antara UMKM khususnya yang berada di desa dengan para investor. Dengan sistem ini mereka telah melakukan pembiayaan lebih dari Rp 61,3 milyar yang disalurkan kepada lebih dari 29.000 pengusaha mikro yang telah mereka berdayakan pula.
Terlepas dari hal sebelumnya, bagaimana kah kondisi ekonomi Islam di Indonesia saat ini?. Untuk kinerja perbankan syariah pada tahun lalu berada di bawah bank konvensional (Karim Consulting, 2017). Selain itu penerapan ekonomi Islam masih belum merata dikarenakan pemahaman dan edukasi di masyarakat masih rendah (Firmansyah, 2016). Namun, kita memiliki potensi di industri halal. Global State of Islamic Economic menyatakan bahwa, permintaan terhadap produk halal dunia diprediksi meningkat sekitar 9,5 % per tahun, berarti permintaan terhadap produk halal secara global naik dari USD $ 2 triliun pada 2013 menjadi USD $ 3,7 triliun pada 2019. Apalagi Indonesia telah mendapatkan 14 penghargaan dalam ajang World Halal Tourism Awards 2016 yang mampu meningkatkan brandingnya di mata dunia.
Namun, potensi ini tidak luput dari permasalahan, yaitu minimnya UMKM yang melakukan sertifikasi halal terhadap produknya. Hal ini disebabkan biaya sertifikasi yang masih dianggap terlalu mahal yaitu Rp 2,5 juta. Menteri Pariwsiata, Arief Yahya, mengatakan bahwa kelebihan kita adalah produk-produk Indonesia pada dasarnya halal, sehingga banyak yang merasa tidak perlu melakukan sertifikasi halal lagi dan hal ini menjadi boomerang bagi kita. Sehingga produksi industri halal Indonesia lebih rendah dibandingkan Malaysia bahkan Thailand. Karena itu, kelebihan kita merupakan kelemahan kita pula.
Lalu, apakah fintech mampu berperan positif terhadap perkembangan ekonomi Islam ?
Tentu mampu, Islam sebagai agama yang sempurna menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran (Q.S Al-Baqarah: 185). Sehingga fintech dapat diterapkan untuk memudahkan penyebaran ekonomi Islam. Bahkan diperkirakan fintech akan membawa tambahan sekitar USD $ 1 triliun ke dalam industri keuangan syariah (Nazim, 2016), sehingga peran fintech teramat penting. Namun, bagaimanakah caranya?
Sebelumnya, telah banyak fintech yang menawarkan beragam produk inovatif, seperti Duitpintar.com, Amartha.com, dan Investree.com. Semua situs ini dinilai membantu dalam meningkatkan inklusi keuangan dan permodalan UMKM. Beberapa situs tersebut pun telah menawarkan produk keuangan syariah pula, namun disayangkan jumlah produk syariah yang ditawarkan tidak sebanyak jumlah produk yang menggunakan bunga sebagai instrumen utamanya. Sehingga, meski inklusi ekonomi keuangan meningkat, namun bukanlah inklusi ekonomi keuangan Islam. Untuk meningkatkan inklusi ekonomi Islam telah muncul beberapa fintech yang menawarkan seluruh produknya sesuai syariah yaitu Alamisharia.com, Indves.com dan Qasir. Hal ini harus kita kembangkan lagi untuk meningkatkan inklusi ekonomi Islam, bahkan apabila kita mencontoh negara tetangga seperti Singapura yang memiliki Ethiscrowd.com, sebuah fintech syariah yang berhasil meraup dana kolektif sebesar USD $ 362 juta.
Fintech syariah yang mampu kita bentuk adalah fintech dengan model Peer to Peer Financing. Fintech ini berguna untuk membantu permodalan UMKM serta sertifikasi halal sehingga terjadi peningkatan produk halal di Indonesia dan kita semakin mampu bersaing dengan negara lainnya. Bukan hanya itu, membentuk marketplace untuk menawarkan beragam produk perbankan syariah seyogyanya dibutuhkan pula. Hal ini mampu menciptakan efisiensi pembiayaan dan peningkatan ROA serta penurunan NPF pada bank syariah. Dengan adanya fintech syariah ini diharapkan pemahaman ekonomi Islam semakin merata di semua lapisan masyarakat.
“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang berlebihan dalam agama akan kesusahan. Maka istiqamahlah, atau mendekati istiqamah, lalu bersiaplah menerima kabar gembira” (HR. Bukhari no.39)