[FoSSEI Menulis]
Wajah Kebenaran Ekonomi
oleh Juharis, dari KSEI CIES IAIN Pontianak
Berangkat dari hadits pertama Imam Nawawi dalam kitabnya Hadits Arba’in yang berbicara tentang niat seseorang, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya….”
Bukan sesuatu yang asing lagi ketika niat sudah menjadi topik yang sering diperbincangkan oleh para pegiat dakwah. Niat bertaut kelindan dengan ganjaran atau pahala, apabila niatnya benar sekedar menujukannya pada Sang Pencipta maka inilah yang disebut dengan lurusnya niat. Namun sebaliknya, jika pada kenyataannya masih mengonsepkan diri pada pujian sesama yang dijunjung tinggi, jelas ini merupakan kesalahan.
Lurusnya niat akan mengantarkan diri pada kedekatan terhadap Tuhan, kita sepakat bahwa inilah yang disebut ibadah. Ibadah berupa penghambaan manusia kepada sang Khaliq, karena inilah tujuan manusia diciptakan. Ibadah bukan hanya tentang sujudnya seseorang membayangkan Tuhan sedang mengawasi atau melihat setiap gerak-gerik dan kondisi khusyuk (Ihsan). Ibadah juga beruang lingkup hubungan antara manusia dengan manusia, satu diantara contohnya adalah interaksi antara penjual, pembeli dan penyalur, yang kemudian kita namai dengan Ekonomi.
Ekonomi ditengah masyarakat harus memiliki doktrin spiritualitas, supaya setiap kegiatan yang termasuk berekonomi menjadi ibadah bagi pelaku ekonomi. Ekonomi yang berlandaskan spiritualitas, yang bersama kita pahami sebagai ekonomi Islam. Mengutip dari bukunya Mustafa Edwin Nasution, dkk. Berjudul “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam” dihalaman 15, disebutkan bahwa ekonomi dalam Islam itu sesungguhnya bermuara kepada akidah Islam. Dilain sisi, Ekonomi Islam bermuara pada Alquran al karim dan Assunnah Nabawiyah yang berbahasa Arab. Sementara itu, menurut Muhammad Abdul Manan, seorang pakar Ekonomi Islam menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
Alquran dan Sunnah menjadi pembeda landasan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Misalnya ekonomi Kapitalis, yang mengonsep pembahasan ekonomi sebatas aspek materi dari kehidupan manusia. Sistem mereka adalah sekulerisme yang berpedoman pada kaidah pemisahan agama dari kehidupan secara final. Ekonomi Kapitalis hanya memberikan otoritas tunggal kepada akal untuk merumuskan solusi ekonomi, kebutuhan yang diakui hanya materi tanpa memperhatikan kebutuhan spiritual maupun emosional. Demikian kutipan Hafidz Abdurrahman dalam bukunya “Muqoddimah Sistem Ekonomi Islam” di halaman 24.
Kemudian contoh ekonomi konvensional selanjutnya adalah sebagaimana yang dikemukakan Karl Mark yaitu ekonomi sosialis. Ekonomi ini tidak mengakui adanya perbedaan kondisi ekonomi antar individu. Masyarakat disebuah negara harus memiliki kondisi “sama rata, sama rasa.” Masyarakat tidak memiliki hak apapun untuk melakukan inovasi dan kegiatan ekonomi, karena semua adalah tenaga kerja bagi negaranya. Selanjutnya ekonomi campuran, ekonomi yang bertujuan mengurangi dampak negatif sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, perekonomian ini adalah kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dalam menjalankan kegiatan ekonominya (Ekonomiislam.net).
Penulis mencoba mengangkat tentang riba yang kerap diperbincangkan, dan menurut hemat penulis mayoritas dari kita dalam hal membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional yang paling nyata adalah letak ribanya. Karena itu, memusnahkan riba adalah tugas yang diemban ekonomi Islam dan mengimplementasikan zakat merupakan tujuan dari penyucian harta serta sarana pendekatan diri kepada Allah ta’ala.
Adiwarman Karim dalam bukunya ”Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi Syariah” menyebutkan riba ada dua macam, yaitu riba Qardh dan riba al-Buyu’. Riba Qardh adalah riba yang terjadi pada transaksi utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko (al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharraj bidh dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu. Sedangkan riba Buyu’ adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang berbeda kualitas atau kuantitasnya atau berbeda waktu penyerahannya (tidak tunai). Ulama berbeda-beda dalam menyebutkan bentuk-bentuk riba. Maka Adiwarman Karim dengan merujuk pada Alquran menyebutkan riba ada dua sebagaimana disebutkan di atas.
Riba dalam prakteknya pada dasarnya mengandung parasitisme, artinya menguntungkan satu pihak saja. Inilah yang patut kita soroti, karena adanya unsur menguntungkan individu tidak kemudian Islam mengabaikan ini begitu saja. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat yang ke 275: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” ini sudah cukup menjadi dalil haramnya riba. Meskipun masih banyak dalil-dalil yang mengharamkan riba, ayat ke 275 Al-Baqarah tersebut sangat gamblang melarang transaksi riba. Setiap yang dilarang tentu besar dosanya, perhatikan sabda Rasululullah riwayat Hakim berikut: “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.”
Erwandi Tarmizi dalam bukunya “Harta Haram Muamalat Kontemporer” menyebutkan dampak-dampak dari riba, beliau mengutip dari buku “Islam dan Kedokteran Modern” karya Dr. Abdul Aziz Ismail yang menyatakan bahwa riba merupakan salah satu penyebab munculnya penyakit gangguan jantung dikarenakan seorang pelaku riba memiliki sifat tamak dan kikir terhadap harta bahkan pada tahap sebagai pemuja harta. Selain itu, riba juga berdampak terhadap kehidupan bermasyarakat, hancurnya roda kehidupan masyarakat diakibatkan pelaku riba karena kesejahteraan anggota masyarakat seperti satu tubuh, ketika salah satunya sakit maka akan memvirusi yang lainnya. Dengan demikian hilanglah rasa aman dan ketentraman masyarakat tersebut.