Industri Keuangan Syariah harus Syariah

Industri Keuangan Syariah harus Syariah

Oleh : Erwanda Nuryahya, KSEI SCIEmics Universitas Pendidikan Indonesia

Peserta LOES

Industri Keuangan Syariah merupakan salah satu sektor yang sedang dikembangkan sampai awal tahun 2017 ini. berdasarkan data OJK aset keuangan syariah adalah sebesar Rp. 3.952 triliun. Aset ini terbagi menjadi aset perbankan syariah sebesar 297,9 triliun, aset industri keuangan non bank (IKNB) sebesar Rp. 74,8 triliun, pasar modal 3.579 triliun.

Dari data ini terlihat pasar modal menjadi sektor industri keuangan syariah yang lebih besar memberikan pasokan modal, disusul oleh IKNB dan perbankan syariah. Market share keuangan syariah sendiri mencapai 5,3 % dari target yang diusung sebesar 16% di tahun 2016 kemarin. hal ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan negara malaysia yang market share industri keuangan syariah mereka mecapai 15%.

Sumber:.kompas.com
Sumber:.kompas.com

Di sektor perbankan syariah masih mempunyai peluang mencapai 15.000 triliun, artinya masih ada sekitar 97% lagi yang bisa dipenetrasi untuk keuangan syariah. Menurut menteri keuangan Indonesia Sri Mulyani mengatakan, perkembangan industri keuangan syariah indonesia masih minim bila dibandingkan dengan negara-negara timur tengah  yang mereka berhasil mengembangkan industri keuangan syariah semakin besar dan juga berhasil mengembangkan industri keuangan konvensional  dengan baik.

Mengapa hal ini bisa terjadi, sedangkan kita semua mengetahui Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia pun sudah cukup lama, terhitung sejak berdirinya bank muamalah pada awal tahun 90-an yang menjadi cikal bakal bank syariah di Indonesia dan sampai saat ini di awal tahun 2017 bank syariah sudah ada sebanyak 34 bank syariah yang terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah ) sebanyak 13 dan UUS (Unit Usaha Syariah) sebanyak 21, namun pangsa pasar industri keuangan syariah masih jauh dari target yang ingin dicapai. Banyak permasalahan yang telah di analisis diantaranya, minimnya sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat tentang industri keuangan syariah, kurang primanya pelayanan dari perbankan–perbankan syariah, dan juga ketidak nyamanan dari nasabah muslim sendiri tentang kehalalan produk dan transaksi yang ada di perbankan syariah.

Namun, kali ini penulis mencoba menganalisis permasalahan–permasalahan dan penyebab industri keuangan syariah yang belum sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. penulis mencoba mengkajinya dari keabsahan hukum islam, berdasarkan dari Al-Quran dan As Sunnah, islam terdiri dari tiga aspek yakni aqidah (kepercayaan), syariah (aturan), dan akhlak. syariah telah mengatur segala jenis perbuatan yang kita lakukan, itu semuanya terkandung di sumber hukum islam. syariah juga menyatakan setiap tambahan yang diambil dalam transaksi jual beli atau utang piutang yang sering kita sebut dengan riba, hukumnya haram.

Dalam Al-qur’an Allah telah menjelaskan bahwa Allah “menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S.Al Baqarah : 275). Bahkan terjemah dari Al Baqarah : 275 menjelaskan “orang – orang yang memakan riba tidak dapat mampu berdiri melainkan berdiri seperti orang yang kemasukan setan karena gila”. Menurut Ibnu Katsir maksud dari kalimat diatas menjelaskan tentang orang orang yang menganggap riba sebagai instrumen meningkatkankan kekayaan, maka Allah akan mengancam dan mengazab mereka yang digambarkan sebagaimana penjelasan dari ayat diatas dan mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari kiamat kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan syaitan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya.

Penulis mencoba menelaah lebih jauh terjemah Al Baqarah : 275 tersebut, jika maksud ayat diatas bahwa orang –orang yang melaksanakan riba tidak mampu berdiri melainkan berdiri seperti berdirinya orang orang yang kemasukan setan karena gila. penulis mencoba mengkaitkannya dengan sistem industri keuangan syariah di Indonesia. Bahwa akad akad yang ada di bank syariah Indonesia, memang sudah berubah semuanya menjadi syariah, seperti murabahah, modharabah-murabahah, sukuk ijarah, dan KPR musyarakah mutanaqisah. Namun, akad yang ada disini, hanya sebuah kamuflase, mengapa penulis menganggapnya kamuflase.

Misalnya saja, di akad KPR musyarakah mutanaqisah dimana aqad sewa dan bunga menjadi aqad sewa dan bagi hasil (penjelasan lengkap : Chandra Natadipurba, Ekonomi Islam 101, hlm.182-189). Aqad ini hanya dijadikan hilah fiqih untuk mencari celah penglegalan tentang aqad pinjaman berbasisis bunga. Artinya, walaupun akad bank syariah sudah berubah menjadi syariah, namun dalam praktiknya sama saja dengan akad ribawi di perbankan konvensional. Entah mengapa, para ilmuan muslim sengaja membuat akad ini yang mirip dengan sistem kapitalisme. Sistem keuangan syariah yang masih belum lepas dengan kredit ribawi ini adalah salah satu bentuk konkret ketidak syariahan secarah kaffah sistem keuangan syariah Indonesia.

Jika kita kembali kembali ke tafsir dari Al Baqarah :275 bahwa “orang orang yang memakan riba tidak mampu berdiri melainkan berdiri karena gila” jika dikaitkan dengan sistem keuangan syariah Indonesia yang masih belum lepas dengan sistem kredit ribawi, maka jelas bahwa sistem keuangan syariah Indonesia masih belum mampu menjadi yang terdepan dalam kancah industri keuangan dunia disebabkan, sistem keuangan syariah Indonesia masih mengandung riba, itu artinya melanggar ketentuan Allah serta menistakan Al Qur’an Al Baqarah : 275. diujung esai ini, penulis mencoba mengkrtik dan memberikan saran kepada para pembuat kebijakan industri keuangan syariah di Indonesia, agar segera mengubah sistem yang ada di industri keuangan syariah menjadi benar benar sesuai dengan syariah islam. Wallahu’alambisshawaf…..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *