Industri Kuliner Halal Indonesia

Industri Kuliner Halal Indonesia

Oleh : Zilal Afwa Ajidin (Presidium Nasional FoSSEI 2016-2017)

Populasi muslim di dunia menunjukkan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan ummat beragama lainnya. Saat ini saja, total penduduk muslim  dunia mencapai jumlah 1,6 milyar jiwa (Mamoon, 2016: 1). Dengan angka pertumbuhan mencapai 35% per tahunnya, maka diprediksi pada tahun 2030 jumlah penduduk muslim akan mencapai 2,2 milyar jiwa (Ahmad Baker, 2016: 2). Dengan begitu, Islam akan menjadi agama dengan populasi terbesar di dunia dibandingkan agama lainnya.

Dari data diatas, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jumlah ini diikuti oleh negara lainnya, yakni Pakistan, India dan Bangladesh. Berdasarkan data The Pew Forum on Religion & Public Life tahun 2010, jumlah penduduk Muslim Indonesia mencapai 205 juta jiwa. Angka tersebut mencapai 86% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 248 juta jiwa (BPS, 2010). Hal ini membuat kebutuhan akan costumer moslem service di Indonesia menjadi satu hal yang sangat penting.

Dalam mendukung pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh itu, maka berkembanglah industri halal di dunia. Hal tersebut dalam upaya mendukung dan memfasilitasi pemeluk Islam agar nyaman saat melaksanaan ibadah. Adapun industri wisata halal yang berkembang meliputi bidang makanan halal, keuangan, farmasi, fashion, media rekreasi, dan kosmetik. (Global Islamic Economic Report : 2015)

Industri halal ini memang menjadi penting, sebab Islam sangat konsen dan perhatian terhadap segala hal yang dapat membuat ummat Islam mudah dalam beribadah. Selain itu, dalam banyak ayat, Allah menganjurkan kepada ummat Islam agar mencari rizki dan harus mengupayakannya dengan cara yang halal.

Menurut State of The Global Islamic Economy (2014-2015) yang dikeluarkan oleh Thomson Reuters dan Dinar Standard, menyatakan bahwa peluang ekonomi di sektor produk halal ini sangatlah menjanjikan. Fokus dari industri makanan halal sendiri adalah pada produk yang halal dan murni (thayyib). Ini sejalan dengan apa yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran. Dalam hal ini, tingkat konsumsi masyarakat muslim dunia terhadap produk makan dan minuman halal pada tahun 2013 mencapai nilai USD 1,29 milyar. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 10,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan Thomson Reuters memprediksi, tingkat konsumsi makanan halal dunia pada tahun 2019 akan mencapai USD 2,54 milyar. Angka tersebut setara dengan 21,2% dari total konsumsi masyarakat dunia. (Kemendag, 2015: 4)

Masih sejalan dalam hal produk halal, bidang farmasi yang berbahan dasar halal pun memiliki peluang yang sangat besar jika dikembangkan. Definisi dari produk farmasi halal adalah bahan obat-obatan dan kosmetika yang tidak mengandung unsur haram sebagaimana yang dilarang dalam Al-Quran dan Hadits, seperti unsur babi dan alkohol. Jumlah pengeluaran dunia dalam produk farmasi halal pada tahun 2013 mencapai USD 72 milyar, dan diperkirakan pada tahun 2019 nanti akan memiliki nilar sebesar USD 103 milyar. (Kemendag: 4-5)

Selain itu, sejalan dengan perkembangan produk halal dunia,  nilai konsumsi produk/jasa wisata halal pada tahun 2013 mencapai USD 140 milyar. Dan diprediksi meningkat menjadi USD 238 milyar pada tahun 2019. Angka tersebut setara dengan 11,6% dari total konsumsi dunia. (State of The Global Islamic Economy: 2014-2015)

Pada tahun 2009, angka perdagangan produk halal dunia mencapai angka yang besar, yakni USD 634,5 milyar pertahunnya. Angka tersebut meliputi 17% dari industri makanan halal secara keseluruhan. Dari angka tersebut, total pasar perdagangan makanan halal Asia merupakan yang tersebesar, yakni mencapai nilai USD 400 milyar. Dan pasar terendah adalah Australia, yakni sebesar USD 1,2 milyar. (Kemendag, 2012: 26)

Asia terbukti menguasai pangsa pasar makanan halal dunia. Selain itu, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa besar dengan memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Namun hal tersebut tidak sejalan dengan posisi Indonesia dalam penguasaan market share industri halal ini. Posisi Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Berdasarkan data The Global Islamic Economy Indicator (2014-2015), menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam pengembangan pasar Industri halal berada di peringkat 10, sedangkan Malaysia berada di posisi 1, Brunei posisi 11 dan Singapura posisi 13. Khusus dalam pengembangan produk makanan halal, Posisi Indonesia justru melorot ke peringkat ke 15. Bandingkan dengan Malaysia yang berada di peringkat 1, Singapura peringkat 10 dan Brunei di posisi ke 13.

Dilihat dari jumlah sertifikasi halal yang dikeluarkan disetiap tahunnya, maka produk halal yang dikeluarkan di Indonesia masih cukup terbatas. Selain itu jumlah produk yang di sertifikasi melalui LPPOM MUI masih mengalami pasang surut di setiap tahunnya. Indonesia bukannya tidak memiliki peluang. Bahkan Indonesia berhasil mendapatkan 12 penghargaan dari 16 nominasi dalam World Halal Tourism Award yang di Abu Dhabi, Desember 2016 lalu. Salah satu penghargaan yang berhasil dimenangkan adalah World Best Halal Culinary Destination yang dimenangkan oleh provinsi Sumatera Barat.

          Khusus dari segi regulasi, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor 518 tahun 2001. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi ummat Islam dan pengelolaannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. (Danang Waskito, 2015: 11)

          Namun diterbitkannya Keputusan Menteri Agama saja dirasa belum cukup untuk melindungi konsumen masyarakat muslim. Oleh karena itu, pemerintah melalui DPR akhirnya mengesahkan UU nomor 33 tahun 2014tentang Jaminan Produk Halal (JPH) pada 25 September 2014 lalu. UU tentang JPH tersebut menjadi benang merah agar terbentuknya interaksi positif antara konsumen dan pelaku usaha yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Di lain hal, meskipun UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah disahkan oleh DPR, masih saja ditemukan hal-hal yang kurang sesuai dalam UU JPH tersebut. Pasal-Pasal dalam UU JPH dianggap kontradiktif, saling melemahkan, dan tak cukup operasional sehingga MUI berbendapat bahwa UU JPH belum bisa diturunkan menjadi Peraturan Pemerintah. Dan sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perbaikan system sertifikasi halal yang digadang-gadang akan diterapkan berdasarkan amanat Undang-Undang.

Sampai hari ini, belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur secara detail teknis pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini. Sehingga berbagai pihak belum bisa mengimplementasikan makna dan maksud dari undang-undang ini. Sehingga penulis menyarankan kepada pemerintah agar segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Produk Halal ini, agar perlindungan terhadap konsumen muslim bisa lebih terjamin lagi.

Selain bidang regulasi, masyarakat dan swasta perlu mendorong ikhtiar pemerintah dalam mengembangkan sektor kuliner halal ini dari sisi ekonomi. Apalagi dengan ditetapkannya Indonesia sebagai pemenang kompetisi kuniler halal tingkat dunia. Jika hal ini dapat diseriuskan dan ditindaklanjuti, maka Indonesia sangat berpotensi menjadi pemimpin pasar dalam bidang kuliner halal ini. InsyaAllah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *