IONS FoSSEI : Fintech bagi Perbankan Syariah, Peluang atau Ancaman ?

IONS FoSSEI : Fintech bagi Perbankan Syariah, Peluang atau Ancaman ?

NOTULENSI ISLAMIC ECONOMICS ONLINE TALKS (IONS)
Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam
Selasa, 14 Mei 2018
20.00-22.00 WIB

Tema : Fintech bagi Perbankan Syariah, Peluang atau Ancaman ?

Pemateri : Bapak Luthfi Adhiansyah
Moderator : Ria Mawaddah (BAPERNAS KEILMUAN FoSSEI)
Notulensi : Opi Chanty Mahendra (BAPERNAS KEILMUAN
FoSSEI)

 

Bismillah , Assalamualaikum wr, wb.,

Ba’da tahmid wa shalawat, amma ba’du.

Saat ini kita berada di era digital atau sering kita dengan revoludi industri 4.0 Apa sih itu? Dimana era yang mempunya big data bisa menangkan persaingan yang ada? Kenapa? Karena dengan big data industri 4.0 menggunakan kecanggihan mesin untuk membuat keputusan. Biasa kita sebut AI / machine learning. Gap teknologi inilah yang melahirkan peluang fintek bertumbuh, Kenapa? Karena fintek bisa melakukan apa yang bank tidak bisa lakukan Fintech lahir karena ketidakpuasan pengguna atas informasi yg disajikan bank. Sebagai contoh, apabila kita menabung deposito di bank. Apakah pernah tau kemana dana kita diinvestasikan? Tidak tentunya, Yang nasabah tau hanyalah kapan temponya jatuh dan mendapatkan bunga/imbal hasil. Seringkali dana2 mengendap kita dibank diinvestasikan kepasar uang untuk membeli reksadana/surat berharga, Sehingga seringkali sektor riil tidak terlalu berkembang dengan dana sumber dari bank.

Ketidak transparan yang terjadi diperbankan menyebabkan banyak pelanggan-pelanggan di era milenial ini mereka tidak puas dengan pelayanan perbankan.kalau kita lihat saat ini yang terlahirdiera digital, masyarakat ingin sebuah  mocilitas yang tinggi transparansi informasi yang jelas, transaksi yang mudah, transaksi yang bisa dilakukan di berbagai channel.

Banyak masyarakat yang mempunyai uang lebih hingga mereka menaruh uangnya diperbankan dalam bentuk deposito, mereka tidak pernah taumanfaat deposito itu berputar kemana, yang mereka tau, mereka hanya mendapat hasil dan jatuh temponya kapan. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan perbedaan signifikan atas informasi yang diterima oleh costumer menyebabkan banyak fintek-fintek itu dapat bertumbuh pesat dengan menawarkan kecanggihan tekonologi maupun transparansi informasi.

Kalau kita melihat fintech seperti yang ada pada saat ini fintech itu terbagi menjadi 2:

  1. Fintech yang diatur oleh Bank Indonesia ( Sistem pembayaran )
  2. Fintech yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan ( Jasa keuangan )

Untuk dunia fintech itu sendiri terutama fintech Pear to Pear Landing yang diatur oleh POJK NO. 77 Tahun 2016 yang bertujuan untuk melindungi konsumen. Di OJK telah terdaftar 51 perusahaan fintech Pear To Pear Landing. Dari 51 perusahaan hanya ada 1 perusahaan yang menggunakan sistem syariah. Untuk bisa masuk kedalam fintech ini harus memiliki modal minimal sebesar 2.5 miliar. Ojk juga melarang peusahaan Pear to Pear Landing untuk beroperasi dikantor bersama. Fintech memiliki hubungan erat dengan perlindungan informasi. Dengan POJK NO. 77 Tahun 2016 ojk memberi aturan kepada fintech untuk mendapatkan sertifikasi ISO-27001 terkait keamanan sistem informasi.

Apakah fintech itu sebagai ancaman bagi perbankan atau menjadi peluang ?

Itu semua tergantung pada posisi bank atau fintech itu sendiri karena dua hal tersebut sangat mungkin dilakukan. Walaupun dipermukaan sepertinya fintech terlihat bersaing, namun fintech dan perbankan memiliki potensi untuk terus bersinergi kedepan.

Potensi bekerjasama antara perbankan dan fintech

Pertama, Perbankan dapat melihat kesempatan ini untuk sebagai model bisnis branceless banking dimana fintech dengan kecanggihan teknologinya melalui platform website mereka menjadi pintu bagi nasabah untuk mengenali layanan perbankan. Kedua, sistem pembayaran secara regulasi fintech tidak boleh menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpan atau payment get way disitulah potensi bekerja sama dengan perbankan.

Antara fintech dan perbankan sendiri tidak ada gap yang terlalu jauh sehingga mereka terlihat bersaing. Justru saat ini startup digital yang berbahaya untuk industri perbankan bukanlah dari financial technology. Yang lebih berbahaya untuk perbankan adalah startup digital seperti Go-Jek, Go-Jek lebih punya potensi untuk bersaing dengan perbankan karena dipakai hampir setiap hari oleh masyarakat. Ketika Go-Jek telah mempunyai big data dari kebiasaan manusia bila dikaitkan dengan industri keuangan artinya Go-Jek bisa mengukur resikonya dalam transaksi pembiayaan. Industri-industri seperti inilah yang dapat bersaing oleh pebankan.

 

SESI TANYA JAWAB

Q: Lalu bagaimana kalau jadinya perbankan dan fintech berkalaborasi? Apa peran marketing tergantikan karena bisa dilihat sendiri bahwasanya dalam penjelasan bapak tadi disebutkan bahwa fintech dapat mempertemukan pengelola dan penghimpun ini berarti ada peran marketing yg dipangkas didalam perbankan itu sendiri.

A: fintech dan marketing kaitannya sangatlah erat karena seluruh fintech untuk menawarkan layanannya mereka menggunakan frontend teknologi bisa dalam bentuk website maupun mobile apps. Mobile apps adalah digital marketing yang sangat pesat di bandingkan perbankan.

Q: Bagaimana menyikapi perkembangan fintech yang notabenenya belum banyak yang syariah?

A: dengan cara mendukung industri syariah. Kita terus belajar apalagi dalam islam diperintahkan untuk menuntut ilmu. Ketika kita ingin bertransaksi muamalah, yang sering terjadi di fintech non syariah adlah pembiayaan yang konsumtif. Ironisnya ditengah kecepatan teknologi mengajukan pendanaan dan mayoritas adalah non syariah, maka yang terjadi pada masyarakat saat ini adalah kehidupan yang konsumtif. Ini menjadi tantangan pada fintech syariah dengan mengedukasi masyarakat bahwa jasa keuangan itu hanya diakses apabila diperlukan bukan diperlukan untuk
sehari-hari.

Q: Bagaimana menurut bapak mengenai adanya kemungkinan hadirnya fintech menjadi ancaman bagi sdm yang berprofesi sebagai karyawan? dalam hal ini saya ambil contoh ada salah satu bank di wilayah ini , yang dengan keberadaan fintech memangkas jumlah karyawannnya, kemudian contoh adanya e-tol membuat beberapa karyawan juga di phk, lalu bagaimana dalam pandangan Islam mengenai hal ini? bukankah kemaslahatan umat merupakan tujuan dari Ekonomi Islam.

A: Tidak terlepas dari maqoshid syariah. Didalam maqoshid syariah terdapat prinsip-prinsip yang diutamakan dan tidak boleh dibatalkan. Kemajuan teknologi adalah keniscayaan. Kita bisa lihat pada sisi lain, dengan kehadiran teknologi proses lebih menjadi efisien cepat dan bermanfaat, sehingga efisien tersebut masuk kedalam prinsip islamic etic. Kalau dilihat pada sisi negatif maka banyak karyawan yang di phk, namun dengan adanya teknologi maka menjadi efisien orang menjadi mudah dan ceoat masuk kedalam gerbang. Karena, kalau kita lihat pada perspektif syariah juga maka rezeki sudah ada yang atur, sehingga sudah bisa dipastikan ketika ada kebijakn seperti e-toll sehingga si karyawan diphk. Apabila di karyawan tersebut berpegang teguh kepada rezeki sudah ada yang atur, maka permasalahan tersebut bukan dikatakan sebagai kesenjangan sosial.

Q: apakah ada kesulitan mencari investor utk berinvestasi di Ammana, dan Kira2 kenapa.?

A: alhamdulillah Amanna selama berdirinya kami tidak menemukan tantangan-tantangan yang tidak dapat kami selesaikan, karena kami percaya melakukan sesuatu dan memiliki komitmen dan komitmen tersebut mulia pasti ada bantuan ta terduga dari Allah SWT . ketika kami beroperasi tanpa iklan atau kami sebut dengan organik maka saat itu kami menemukan 1500 user dan 400 user menjadi investor 20 user menaruh dana dalam virtual account Amanna masing-masing dananya sebesar 100 juta. Saat ini banyak bermunculan animo masyarakat yang mencari nilai spiritual sebagai loyalis syariah, mereka mungkin sudah antipati pada perbankan syariah padahal perbankan syariah juga belum tentu salah namun tidak bisa dipungkiri ada sekitar 21% loyalitas syariah yang mengatakan “harus islami”. Dan kita ketika menjalankan bisnis kita hanya melihat dari sisi teori dalam arti resiko yang terdefinisi. Intinya Amanna tidak kesulitan mencari investor namun tentu harus dikombinasikan dengan strategi marketing fitur digital marketing.

Q: Sasaran dari pembiayaan fintech ini untuk ke pelaku usaha atau untuk konsumsi saja, seperti yang kita ketahui dunia usaha memiliki risiko bisnis lalu bagaimana kah cara fintech ini dapat mengelola pembiayaan yang telah diberikan dan pula dapat mengendalikan risiko seperti halnya perbankan saat ini? Dan fintech syariah ini apa sudah menggunakan fatwa MUI dan DPS sebagai pengawas dalam struktur organisasinya? Lalu dengan tujuan yang sama
sebagai lembaga intermediasi keuangan, apakah sudah ada bentuk kerja sama antara fintech dengan lembaga keuangan syariah lain seperti bank, koperasi atau lainnya?

A: dalam dunia jasa keuangan, resiko itu bisa diukur yang pertama dengan cara melihat karakter sipelaku usaha, standart skoring perbankan itu ada istilahnya 5C ( Caracter, Capacitiy, Colatrol, dll ) selain tata cara mengendalikan resiko, salah satu hal yang dilakukan fintech Amanna lakukan untuk mengendalikan resiko dilapangan adalah kita melakukan O2O Offline To Online. Walaupun teknologi Amannah canggih, tapi tidak sepenuhnya menggunakan teknologi. Pembiayaan yang kami lakukan selalu lewati BMT atau Koperasi syariah. fatwa mui atau DPS dalam penyelenggaraan fintech syariah ini? Sudah ada draftnya tinggal menunggu fatwanya keluar.

Q: Apakah P2P Lending Syariah menerima nasabah di luar muslim ? Apakah menerima pemodal dari luar muslim ?

A: Amanna tidak tertutup pada siapapun. Amanna menerima pemodal baik dia non muslim ataupun muslim. Karena untuk terjadi akad syariah itu adalah siapa yang mengelola uangnya. Maka dengan hal ini ketika Amanna mengelolah uang investor dengan akad syariah maka transaksi tersebut menjadi syariah

 

 

 

untuk file PDF nya silahkan Download disini

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *