Oleh: Ifran Gian Pratama
Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki potensi yang besar dalam berbagai sektor, termasuk pada sektor ekonomi, terlebih pada besarnya potensi wakaf. Wakaf sendiri merupakan perangkat ekonomi yang mendapatkan perhatian yang cukup penting dalam diskursus fiqh Islam, sebagai upaya mengembalikan relasi/interaksi antara sesama manusia. Direktur Utama Inisiatif Wakaf (iWakaf), Romdlon Hidayat mengatakan bahwa potensi aset wakaf di Indonesia mencapai Rp. 2.000 triliun, sedangkan pada wakaf tunai mencapai Rp. 188 triliun pertahun. Akan tetapi yang terserap dengan efektif pada wakaf tunai hanya sekitar 400 miliar.Mengapa bisa demikian?Dengan potensi yang begitu besar, wakaf dapat menjadi salah satu solusi dalam mengentaskan kemiskinan yang terjadi di Indonesia.
Bila kita menilik lebih jauh terhadap pengelolaan wakaf oleh negara-negara yang sudah baik manajemennya, maka kita akan menemukan perbedaan yang cukup signifikan dengan manajemen wakaf di Indonesia. Misalnya saja di Arab Saudi, pengelolaan wakaf mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah dengan dibentuknya Kementrian Haji dan Wakaf serta diresmikan Majelis Tinggi Wakaf yang fungsinya adalah mengembangkan dan mengawal kebijakan perwakafan di sana. Pengelolaan wakaf di Arab Saudi juga sudah berkembang sangat pesat dan bentuknya bermacam-macam. Seperti diproduktifkan dalam bentuk hotel, toko, kebun, apartemen, serta pada sektor lainnya yang bisa menghasilkan manfaat lebih banyak.
Selanjutnya adalah di negara Sudan. Pengelolaan wakaf menjadi wakaf produktif sudah dimulai sejak tahun 1987, berpuluh-puluh tahun setelahnya baru Indonesia menerapkan wakaf produktif. Pada tahun yang sama juga dibentuklah Badan Wakaf Islam Sudan yang diberikan wewenang yang luas untuk mengelola semua tugas yang berkaitan dengan wakaf. Barulah empat tahun kemudian pemerintah Sudan mengeluarkan kebijakan yang memberikan banyak keistimewaan kepada Badan Wakaf Islam Sudan. Salah satunya adalah memberikan dana cadangan bagi lembaga wakaf yang mengerjakan proyek tanah produktif.
Begitupun pada negara negara seperti Turki, Mesir, Malaysia, Syria pengelolaan wakafnya sudah berjalan cukup maksimal dan membantu memperkuat perekonomian negaranya. Salah satu yang menyebabkan pengelolaan wakaf negara-negara tersebut maksimal adalah peran pemerintahnya. Pemerintah dengan segala kebijakan dan bantuannya bekerjasama dengan badan pengelola wakaf untuk bersama memanfaatkan potensi wakaf yang besar.
Kondisi di negara-negara tersebut sangat berbeda dengan Indonesia, dimana peran pemerintah dalam hal ini masih kurang maksimal. hal ini bisa dilihat dari permasalahan-permasalahan wakaf di Indonesia. Pertama adalah kurangnya dukungan dan peran pemerintah, baik dalam membuat kebijakan yang mendukung wakaf maupun terhadap skala prioritas pengembangannya. Hal ini terbukti dengan masih minimnya regulasi yang mengatur tentang wakaf. Ada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang pelaksanaanya baru direalisasikan 2 tahun kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. Tentu hal tersebut memberikan dampak yang kurang optimal bagi perkembangan wakaf di Indonesia. Ditambah dengan kurangnya sinkronisasi regulasi wakaf dengan regulasi lainnya seperti peraturan terkait pajak. Tidak seperti di negara Afrika Selatan, wakaf yang ditunaikan oleh wakif dapat menjadi pengurang dari tagihan pajak, namun hal tersebut belu berlaku di Indonesia.
Selanjutnya adalah pemerintah kurang memberikan dukungan berupa fasilitas dan dana kepada lembaga lembaga pengelola wakaf. Badan Wakaf Indonesia atau BWI mendapatkan kucuran dana sebesar Rp. 5 – 6 miliar pertahun. Tentu dana tersebut dirasa belum cukup untuk menutupi biaya operasional BWI termasuk biaya untuk mengembangakan dan mesosialisasikan wakaf pada masyarakat.
Terakhir adalah masalah terkait legalisasi tanah wakaf. Banyak tanah-tanah wakaf yang menjadi sengketa atas kepemilikannya. Hal ini disebabkan karena pihak yang digugat tidak dapat menunjukan bukti bahwa tanah tersebut adalah tanah wakaf. Tingginya tanah yang belum memiliki legalitas tersebut dikarenakan prosedur terkait agraria masih dinilai sebagai hal yang rumit oleh sebagian besar masyarakat. Dimana banyak persyaratan yang harus dilengkapi untuk membuat sertifikat tanah wakaf tersebut yang dianggap merepotkan. Padahal sejatinya pengakuan atas tanah tersebut menjadi sangat penting untuk keberlangsungan proses pemanfaatannya.
Dengan masih minimnya peran pemerintah dalam membantu mengembangkan wakaf di Indonesia akan sulit bagi kita untuk mengelola potensi yang besar dari wakaf tersebut. Sehingga perlu bagi kita semua, baik pemerintah, akademisi, hingga masyarakat semuanya untuk sama-sama saling mengingatkan dan saling memperjuangkan pengembangan wakaf di Indonesia. Karena penulis yakin, wakaf dapat menjadi instrumen pengentas kemiskinan yang solutif untuk saat ini.