Oleh: Muhammad Choli, Himaekis Universitas Tanjungpura
Peserta LOES
Tercapainya kebaikan dan tuntutan jiwa yang mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah telah memberikan tuntunan kepada para hambaNya agar menjadikan alokasi dana sebagai bagian dari amal sholeh. Inilah yang dapat mendekatkan seorang muslim kepada Tuhannya dan surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.
Seorang muslim ketika dihadapkan dengan sumber syariat akan mengarahkan jiwanya pada urgensi pencapaian ketaatan dan keridhaan Allah. Kehidupan dunia merupakan jalan menuju akhirat yang memang menjadi tujuan orang shaleh dalam setiap aktivitas mereka. Oleh karena itu setiap individu harus menyadari bahwa dalam mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik haruslah dengan proses produksi yang benar sesuai syariat Islam. Islam sangat memerhatikan kualitas dan kesucian makanan yang kita konsumsi. Hal ini termanifestasi dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 168 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Paradoks ini mendorong pada pemahaman bahwa kepuasan seorang muslim sangat ditentukan oleh kadar kehalalan dan keharaman makanan yang dikonsumsi. Jadi, bagaimana cara menciptakan variabel konsumsi yang halal lagi baik? Penggunaan metode analisis konvensional ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Konsumen muslim dihadapkan pada pilihan barang halal (X) dan barang haram (Y) dengan pendapatan sebesar I, karena Y memberi utilitas 0 atau U = 0 sehingga konsumen muslim tidak pernah membelanjakan pendapatannya pada barang Y. Identifikasi masalah ini adalah: Y= -(Px/Py) X + I/Py.
Persamaan ini memperlihatkan dengan jelas jika individu memilih membelanjakan seluruh dananya pada barang halal (Y) maka X = 0, sehingga persamaan diatas menjadi I/Py. Artinya, seluruh pendapatan individu muslim habis dibelanjakan hanya untuk barang Y, dan karena X = 0, antara barang X dan Y tidak pernah terjadi substitusi (pergantian) berapa pun harga dari barang Y dan berapapun murahnya barang X. Begitu pula berlaku sebaliknya.
Sedangkan analisis kepuasan, Robert H. Frank (dalam Wibowo, 2013:244) mengatakan hal tersebut dapat diselesaikan dengan corner solution, yaitu keadaan ketika pendapatan individu habis digunakan hanya untuk satu barang, dalam kasus ini adalah Y. Dengan kata lain, konsumen meningkatkan nilai guna dengan terus mengurangi konsumsi barang haram untuk mendapatkan lebih banyak barang halal, sampai pada titik ketika ia tidak dapat lagi melakukannya, yaitu seluruh pendapatannya digunakan untuk membeli barang halal. Dengan kata lain, semakin banyak barang halal yang dikonsumsi, semakin menambah utility. Sebaliknya, semakin sedikit barang haram yang dikonsumsi, semakin mengurangi disutility.
Fenomena halal lifestyle ini menunjukkan bagaimana kesadaran masyarakat akan kehalalan suatu produk sudah semakin tinggi terutama pada makanan halal. Hal ini disebabkan manusia sejatinya membutuhkan makanan setiap hari untuk bertahan hidup. Serta agar dapat diterima oleh tubuh dan dijadikan sebagai sarana untuk mengikuti perintah Allah dalam Al-Quran surah Al-Baqarah : 168.
Pengkonsumsian makanan yang halal dan baik juga harus berasal dari produksi yang halal dan baik pula. Ini berkaitan dengan variabel produksi dalam ekonomi mikro berikut.
- Setiap makanan yang dikonsumsi oleh manusia diwajibkan melewati BPOM Nasional dan LP POM MUI yang dapat mengeluarkan sertifikat Halal dan layak konsumsi bagi manusia.
- Penerapan sistem “Tembus Pandang” yaitu setiap tempat produksi di buat sepeti ruangan yang dibatasi dengan kaca sehingga proses produksi yang dilakukan oleh pelaku usaha (produsen) dapat dilihat langsung oleh konsumen dan hal itu dapat meyakinkan kosumen dalam membeli makanan.
- Penerapan sistem “Tinjau Kilat” yaitu BPOM dan LP POM MUI secara langsung meninjau suatu perusahaan makanan tanpa konfirmasi kepada produsen agar tidak ada kecurangan dari produsen dan produsen tidak sembarangan dalam memproduksi makanan.
Hal ini diberlakukan untuk semua pelaku usaha baik yang terdaftar dalam BPOM, LP POM MUI, maupun yang tidak terdaftar. Jika ketiga sistem ini dilaksanakan, maka akan tercipta suatu makanan yang halal dan baik (thayyib) serta menjadi lifestyle di Negara Indonesia.
Sehingga akan tercipta asumsi:
“No Halal, No Makan!”
“No Halal wa Thayyib, No Konsumsi!”
Sumber:
A Karim, Adiwarman. 2015. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: Rajawali Press
Wibowo, Sukarno. & Dedi Supriadi. 2013. Ekonomi Mikro Islami. Bandung: Pustaka Setia