Optimalisasi Peran Ziswaf dan Ekonomi Berbasis Masjid melalui Inovasi Sosial

Optimalisasi Peran Ziswaf dan Ekonomi Berbasis Masjid melalui Inovasi Sosial

Maulana Ryan Nurfadhila

Peran ekonomi syariah di Indonesia memiliki potensi besar, terutama pada instrumen ziswaf dan kegiatan ekonomi berbasis masjid. Menurut laporan Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ) oleh Pusat Kajian Strategis BAZNAS, salah satu unsur ziswaf yakni zakat memiliki nilai potensial sebesar Rp223.8 trilliun[1]. Potensi ekonomi berbasis masjid juga bersifat signifikan. Dewan Masjid Indonesia mencatat bahwa ada sekitar 880.000 masjid di Indonesia, membuat Indonesia negara dengan masjid terbanyak di dunia[2].

Tulisan singkat ini akan membahas singkat: (1) Apa yang dimaksud dengan Ziswaf dan Ekonomi berbasis Masjid; (2) Apa yang dimaksud dengan Sektor Nirlaba serta kaitannya dengan Ziswaf dan Ekonomi berbasis Masjid; dan (3) Potensi Inovasi Sosial dari Ziswaf dan Ekonomi Berbasis Masjid.

Ziswaf dan Ekonomi Berbasis Masjid

Ziswaf merupakan jenis-jenis filantropi dalam ajaran Islam yang terdiri atas zakat, shadaqah, infaq, dan wakaf. Tiap-tiap kategori tersebut memiliki definisi khusus sesuai syariah, namun dapat dipersatukan di bawah payung besar “Filantropi Islami”. Adapun keterkaitan erat antara filantropi Islami dan sektor nirlaba, mengingat kegiatan filantropi Islami turut dikategorikan sebagai kegiatan filantropi yang berada dalam ranah sektor nirlaba.

Ekonomi berbasis masjid merujuk kepada aspek ekonomi dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung di masjid. Hal ini kian menekankan signifikansi masjid pada kehidupan bermasyarakat. Layaknya dicerminkan dengan pengelolaan Masjid Nabawi yang meluaskan fungsi masjid lebih dari sekadar tempat ibadah dan mencakup beragam kebutuhan masyarakat (Shihab, 1996).

Sektor Nirlaba/The Third Sector

Dalam kerangka sektor ekonomi, aktivitas ziswaf dan ekonomi berbasis masjid berada di luar sistem sektor publik maupun swasta. Sektor khusus ini kerapkali disebut sebagai “the third sector” atau sektor ketiga, yang terdiri atas kegiatan-kegiatan nirlaba dan sukarelawan (Frumkin, 2009). Pelaku pada sektor ini tidak hanya terbatas pada institusi nirlaba saja, aktor sektor publik maupun swasta dapat berkontribusi pada sektor ini melalui ekstensi kelembagaan maupun institusi tertentu. Walaupun begitu, terdapat satu karakteristik utama yang perlu dijadikan acuan bagi setiap pelaku sektor nirlaba, yakni menjadi pemenuh kebutuhan yang tidak terlayani sektor swasta maupun publik. Untuk itu, sektor nirlaba memiliki potensi sekaligus tanggungjawab yang unik dalam menjawab permasalahan masyarakat dengan pendekatan inkovensional.

Potensi Inovasi Sosial dari Ziswaf dan Ekonomi Berbasis Masjid

Merujuk kembali kepada esensi ziswaf dan ekonomi berbasis masjid yang dapat dikategorikan dalam sektor nirlaba, peran yang perlu diemban aspek-aspek ekonomi syariah tersebut tentunya tidak serupa dengan peran yang ada di sektor publik maupun swasta. Kegiatan filantropi berbasis ziswaf dan ekonomi berbasis masjid lantas sudah semestinya mengambil pendekatan khusus. Untuk itu, pendekatan yang dapat diambil dalam penerapan lebih lanjut dari dana ziswaf dan ekonomi berbasis masjid ialah inovasi sosial.

Inovasi sosial adalah praktek sosial baru yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sosial secara lebih baik daripada solusi yang sudah ada (Howaldt & Schwarz, 2010). Dalam kata lain, inovasi sosial merupakan inovasi yang berorientasi kepentingan sosial, bukan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan maupun orientasi serupa. Inovasi-inovasi tersebut tidak hanya merupakan sekadar inovasi. Mekanisme-mekanisme tersebut berorientasi tujuan-tujuan sosial tertentu, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup. Praktek sosial seperti ini dapat dilakukan dengan dana yang terhimpun pada ziswaf dan kegiatan ekonomi berbasis masjid, tentunya dengan pertimbangan kaidah sesuai syariah. Sebagai langkah awal penerapan konsep ini pada ranah pemanfaatan ziswaf dan ekonomi berbasis masjid, berikut penulis menyertakan sejumlah praktek inovasi sosial yang dinilai cukup aplikatif:

  1. Social Entrepreneurship/Kewirausahaan Sosial

Kewirausahaan konvensional yang hanya mengenal konsep-konsep seperti keuntungan, pendapatan, dan harga saham yang dijadikan sebagai tolok ukur performa usaha. Kewirausahaan sosial merupakan modifikasi atas kewirausahaan konvensional, dengan mengutamakan pengaruh positif kepada masyarakat sekitar (Thompson, 2002).

Kegiatan ekonomi berbasis masjid dapat memaksimalkan pengaruh sosial positif dengan mengadopsi pendekatan kewirausahaan sosial. Masjid dapat membuka unit usaha yang akan mendorong perekonomiaan lingkungan sekitar dan membuka lapangan pekerjaan. Selain itu, keuntungan dari bisnis tersebut dapat digunakan untuk kegiatan masjid atau didonasikan lebih lanjut.

  • Filantropi berbasis Pembangunan SDM

Peningkatan keterampilan menjadi aspek utama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM), dan ekonomi Islam dapat berperan melalui banyak hal dalam kasus ini. Dana ziswaf dapat disalurkan pada program pendidikan maupun kesehatan, yang menjadi fondasi utama kualitas SDM. Hal ini bahkan sudah diterapkan pada beberapa media filantropi massal, dengan adanya program-program berorientasi pembiayaan fasilitas pendidikan, beasiswa, biaya prosedur kesehatan tertentu, dan lainnya.

Pemanfaatan filantropi ziswaf pun juga dapat diluaskan kepada pendanaan pelatihan dan pendidikan vokasi, pendampingan kerja, serta akomodasi lain yang dapat menunjang keahlian kerja SDM. Tentu saja, hal ini dapat dilakukan jika kebutuhan-kebutuhan mendasar telah terpenuhi. Untuk itu, penggunaan dana ziswaf tetap diutamakan pada proyek kemanusiaan seperti biasa.

  • Pembiayaan Usaha Kecil

Sebagai institusi, masjid memiliki modal yang cukup besar. Dalam hal semua kebutuhan operasional masjid telah terpenuhi, tidak jarang bahwa dana kas masjid bersifat ‘menganggur’ atau menjadi ‘idle fund’. Sebagai alternatif, dana tersebut dapat disalurkan kepada warga sekitar yang beraspirasi untuk membuka usaha. Hal ini dapat dicapai dengan pendanaan usaha oleh pihak masjid kepada warga yang menjadi wirausaha melalui akad-akad sesuai syariah maupun hibah.

Hal ini sudah diterapkan di Masjid Jogokariyan di kota Yogyakarta. Salah satu program masjid tersebut yang bernama “Program pemberdayaan ekonomi umat” menyediakan hibah modal usaha bagi jamaah miskin. Dana yang dihibahkan merupakan kombinasi himpunan filantropi zakat, infaq, dan shadaqah serta Kerjasama donatur institusional. Selain itu, Masjid Jogokariyan juga membantu memasarkan produk yang dijajakan dan menyediakan pelatihan bagi jamaah wirausahawan (Sumardianto, 2017).

Penutup

Sebagai kesimpulan, potensi besar pada dana ziswaf dan ekonomi berbasis masjid dapat dioptimalkan melalui inovasi sosial. Di antara beragamnya bentuk inovasi sosial, inisiatif seperti kewirausahaan sosial, filantropi berbasis pembangunan SDM, dan pembiayaan usaha kecil. Tentunya, masih banyak bentuk inovasi sosial yang belum dapat dieksplorasi pada tulisan ini. Penulis berharap akan muncul ide inovasi-inovasi sosial yang dapat diterapkan di ranah ekonomi syariah ke depannya.


[1] Pusat Kajian Strategis BAZNAS, 2019. Indikator Pemetaan Potensi Zakat. Jakarta: Puskas Baznas

[2] Situs Web Dewan Masjid Indonesia: http://dmi.or.id/    

Daftar Pustaka

Frumkin, P., 2009. On being nonprofit: A conceptual and policy primer. Harvard University Press.

Howaldt, J. and Schwarz, M., 2010. Social Innovation: Concepts, research fields and international trends. Sozialforschungsstelle Dortmund.

Shihab, M.Q., 1996. Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan Pustaka.

Sumardianto, E., 2017. Manajemen strategis Masjid Jogokariyan Yogyakarta (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya).

Thompson, J.L., 2002. The world of the social entrepreneur. International journal of public sector management.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *