Menakar Potensi Wakaf untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia

Menakar Potensi Wakaf untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia

oleh Izzudin Al Farras Adha

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai sejak 1994. Hal tersebut ditandai dengan bergabungnya Indonesia ke dalam World Trade Organization (WTO). Dengan meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, segala perjanjian tersebut wajib ditaati oleh Indonesia, termasuk di dalamnya kesepakatan mengenai General Agreement on Trade in Services (GATS). GATS mengharuskan Indonesia untuk melakukan deregulasi dan privatisasi 12 sektor jasa, salah satunya adalah pendidikan.

Universitas sebagai salah satu institusi pendidikan pun terkena dampak sehingga pengelolaan universitas publik atau negeri mengarah kepada korporatisasi dan komersialisasi. Kekuasaan ‘negara’ dialihkan ke ‘pasar’ dengan menanamkan logika kompetisi dalam pengelolaan institusi pendidikan dan mereduksi peran negara dalam pendanaan pendidikan tinggi. Saat ini, topeng liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia bernama PTN-BH atau status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum bagi beberapa kampus di Indonesia sesuai dengan amanat UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Reduksi peran negara dalam pendanaan pendidikan tinggi ini menjadi persoalan pelik mengingat pendidikan merupakan kunci dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Peningkatan kualitas SDM memainkan peranan penting dalam menatap puncak bonus demografi yang diproyeksikan datang pada 2025 hingga 2035.

Apabila SDM Indonesia berkualitas, maka bonus demografi akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Sebaliknya, apabila SDM kita tidak siap dalam menghadapi bonus demografi, maka tantangan berat akan hadir dengan meningkatnya pengangguran, kemiskinan, dll. Jika pendidikan tinggi tidak mampu dijangkau dan diakses oleh seluas-luasnya rakyat Indonesia, maka bonus demografi justru bisa menjadi bencana bagi generasi mendatang.

Alternatif pembiayaan

Semakin berkurangnya peran negara membuat perguruan tinggi harus mencari alternatif solusi dalam membiayai segala aktivitas operasional pendidikan yang dijalankan. Selama ini, perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya belum mampu berkreasi dalam mencari sumber pendanaan alternatif selain dari APBN.

Mari ambil contoh dalam kasus di kampus saya Universitas Indonesia (UI). Mahasiswa UI dijadikan sumber pendanaan utama kampus dengan presentase pendapatan dari mahasiswa sebanyak hampir 60 persen dari total anggaran pendapatan pada 2015. Coba bandingkan dengan bantuan anggaran dari negara dalam bentuk Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri (BPPTN) ke UI yang hanya berjumlah 24 persen dari anggaran pendapatan UI pada tahun yang sama.

Pendapatan UI yang menitikberatkan pada mahasiswa menjadi sinyal berbahaya bagi peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, selama rezim pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia masih seperti saat ini, maka perguruan tinggi harus memaksimalkan potensi pencarian dana selain dari APBN dan mahasiswa.

UU Nomor 12 Tahun 2012 telah mengatur berbagai hal terkait penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, termasuk mengenai pendaanaan dan pembiayaan di bab V yang mencakup pasal 83 s.d. 89. Pasal 84 ayat 2 menjelaskan perihal sumber pendanaan pendidikan tinggi yang dapat diperoleh dari masyarakat. Poin b dalam pasal tersebut, wakaf, menjadi perhatian saya dalam tulisan ini.

Wakaf selama ini masih dipandang sebelah mata dalam berbagai aktivitas ekonomi, termasuk pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal, jika kita mau merujuk ke negara lain di dunia, wakaf telah memiliki peran sentral dalam pendanaan pendidikan tinggi. Sebut saja salah satu universitas tertua di dunia, Universitas Al Azhar di Mesir, yang dapat berdiri sejak dinasti Fathimiyyah pada 970 masehi hingga hari ini merupakan hasil pengelolaan wakaf dari masyarakat Mesir secara terus-menerus. Bahkan banyak pula universitas terkemuka dunia pada hari ini, misalnya Harvard University di Amerika Serikat, yang juga mengelola dana “wakaf” dengan jumlah sangat besar untuk mendanai operasional kampus. Mari sekilas mengenal wakaf lebih jauh.

Tentang Wakaf

Secara etimologi, wakaf berarti diam, menahan, berhenti. Wakaf menurut beberapa ulama bermazhab Syafii artinya adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk orang lain serta menggunakannya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Landasan wakaf dalam Alquran terdapat dalam QS. 2: 261-262 dan 267, QS. 3: 92, serta QS. 22: 77.

Terdapat hadis nabi pula yang dapat dijadikan insentif penguat bagi setiap muslim yang ingin berwakaf. Hadis tersebut berbunyi, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang shalih” (HR. Muslim). Para ulama telah sepakat bahwasannya yang dimaksud sedekah jariyah pada hadis tersebut adalah wakaf. Sebab, wakaf memiliki manfaat yang tetap dan terus mengalirkan pahala. Selain itu, wakaf juga berfungsi dalam mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.

Wakaf dapat berbentuk tanah, bangunan, uang tunai, perkebunan, kendaraan, sumur, dll. Banyaknya bentuk wakaf tersebut seharusnya menjadi kemudahan bagi setiap orang yang ingin mendapatkan amalan yang tiada putus. Tentu wakaf memiliki beberapa unsur dalam pelaksanaannya seperti wakif (pihak yang berwakaf), nazhir (pihak yang menerima wakaf), dan beberapa unsur lainnya serta dengan beberapa persyaratan tertentu agar wakaf tetap sesuai dengan aturan main dan kaidah yang berlaku di dalam islam. Semua hal tersebut sudah diatur cukup baik di UU tentang wakaf.

Indonesia sudah memiliki lembaga yang mengembangkan perwakafan di Indonesia, yaitu bernama Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI bersifat independen dan sudah ada sejak 2007. BWI terus melakukan pembinaan terhadap nazhir agar dapat mengelola aset wakaf dengan baik dan produktif serta terus melakukan sosialisasi ke berbagai kalangan agar masyarakat dapat menerima manfaat yang besar dari adanya wakaf.

Sejarah wakaf dalam islam pun sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW sebagai panutan dalam segala aspek kehidupan umat muslim beberapa kali melakukan praktik wakaf yang kemudian dicontoh oleh para sahabat. Harta benda yang diwakafkan oleh Muhammad SAW di Madinah dan sekitarnya, misalnya, adalah sebidang tanah dari mukhairik, harta rampasan perang Bani Nadhir, dan masjid yang dibangun di beberapa tempat dakwah Rasulullah SAW. Sedangkan para sahabat memberi contoh dalam berwakaf berupa tanah di Khaibar yang diwakafkan oleh Umar bin Khattab ra, Usman bin Affan yang mewakafkan sumur Raumah, dan Ali bin Abi Thalib yang mewakafkan hartanya di Yanbu dan Khaibar.

Dalam sejarah islam, wakaf memegang posisi strategis dalam pembangunan kesejahteraan umum. Salah satu yang bisa diambil contohnya adalah praktik wakaf pada masa kekhalifahan Ottoman. Pada masa tersebut, banyak sekali fasilitas umum dibangun berdasarkan praktik wakaf dalam upaya memacu pembangunan sosial dan ekonomi, seperti pembangunan madrasah/sekolah, darussyifa/rumah sakit, imaret/dapur umum, hamam/pemandian umum, hingga tabhane/penginapan.

Bahkan sampai sekarang masih terdapat bangunan hasil wakaf masa kekhalifahan Ottoman, yaitu saluran air dan masjid Fatih di kota Istanbul, Turki. Dengan adanya peran wakaf dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kekhalifahan Ottoman dapat berjaya dan menegakkan nilai-nilai islam dalam kehidupan sehari-hari.

Indonesia pun telah memiliki sejarah yang panjang mengenai praktik wakaf di masyarakatnya. Hasil penelitian Rachmat Djatnika pada 1977 menyebutkan bahwa wakaf tanah di Jawa Timur telah ada pada abad XV, seperti wakaf masjid Rahmat dengan pesantren di Ampel Denta di Surabaya. Selain itu, hasil penelitian Koesoemah Atmaja (1922) menyebutkan bahwa pada 1922 telah terdapat wakaf di seluruh nusantara, mulai dari Aceh, Gayo, Tapanuli, Jambi, Palembang, Bengkulu, Minahasa, Gorontalo, Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan istilah serta benda wakaf yang berbeda-beda.

Belanda sebagai pemerintahan kolonial ketika itu juga telah concern terhadap wakaf dengan menerbitkan berbagai aturan terkait wakaf. Dua contohnya adalah Surat Edaran sekretaris governemen pertama 31 Januari 1905 No. 435 tentang Toezicht op den bouw van Muhammadaansche bedehuizen yang ditujukan kepada kepala daerah di Jawa dan Madura untuk melakukan pendataan tanah-tanah atau tempat ibadah Islam yang ada di kabupaten masing-masing dan Surat Edaran sekretaris governemen  27 Mei 1935 No. 1273/A yang membahas mengenai mengenai tata cara perwakafan. Jadi, wakaf sama sekali bukanlah hal yang baru di Indonesia.

Wakaf untuk Pendidikan Tinggi

Seperti yang sudah dibahas diatas, wakaf dapat digunakan untuk keperluan pendidikan. Perguruan tinggi sebagai sebagai penyelenggara pendidikan tertinggi setelah jenjang pendidikan SD-SMP-SMA dan sederajat tentu perlu biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan operasionalnya. Dibutuhkan partisipasi masyarakat luas dalam pendanaan pendidikan tinggi ditengah anggaran negara yang terbatas untuk mendanai pendidikan tinggi. Wakaf dapat hadir dalam semangat partisipasi tersebut serta menjadi salah satu alternatif solusi pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Wakaf yang dalam bahasa inggris diartikan sebagai endowment bukanlah barang baru di pendidikan tinggi seluruh dunia. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Harvard University di Amerika Serikat yang merupakan pengelola academic endowment terbesar di dunia memiliki nilai endowment lebih dari 35 miliar dolar AS pada 2016. Jumlah endowment kampus tersebut sangat besar dan menjadi penopang pemasukan kampus terbesar dengan presentase 36 persen dari total penerimaan.

Dalam konteks Indonesia, perguruan tinggi yang terbaik dalam mengelola endowment fund (dana abadi/dana lestari) adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). ITB menyandang predikat terbaik di Indonesia sejak 2007 untuk pengelolaan endowment fund yang memiliki total dana dikelola per 31 Desember 2014 adalah sebesar Rp 113 miliar dengan presentase 8,75 persen dari total penerimaan.

Dari dua contoh terbaik di Amerika Serikat dan Indonesia di atas sudah terlihat perbedaan yang sangat mencolok dalam pengelolaan endowment bagi penerimaan di kampusnya masing-masing. Tata kelola endowment harus baik agar dapat menjadi sumber penerimaan yang besar bagi keuangan kampus. Pengelolaan endowment di Harvard dan kampus-kampus besar lainnya di dunia dikelola oleh suatu lembaga manajemen yang khusus menangani urusan endowment sehingga dikerjakan secara profesional oleh ahlinya. Artinya, endowment sudah dipandang sebagai suatu pendanaan strategis dan sebuah cara untuk terus menghidupkan aktivitas operasional kampus secara berkelanjutan. Kampus-kampus di Indonesia harus belajar banyak atas hal tersebut.

Terakhir, meski wakaf memiliki arti endowment dalam bahasa inggris, penulis perlu sampaikan juga bahwa watak aset produktif pada wakaf layaknya dana abadi/dana lestari haruslah berasal dari perdagangan, bukan permainan riba atau spekulasi sebagaimana dana abadi/dana lestari yang kemungkinan besar terdapat pada dua contoh di atas. Artinya, pengembangan wakaf sebagai sarana penerimaan bagi pendidikan tinggi jauh lebih besar potensinya, terlebih dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia yang negaranya memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *