Penulis: Muhammad Shalhan Assalam dan Khansa Fairuz S. (Bapernas FoSSEI 2020/2021)
Lansia menjadi salah satu komponen demografi penduduk yang relatif tidak banyak diperbincangkan dalam berbagai diskusi. Padahal, berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, jumlah lansia, yaitu penduduk yang berusia 60 tahun ke atas, mencapai 9,92 persen. Proporsi populasi lansia pun juga mengalami peningkatan sejak tahun 1970. Peningkatan populasi lansia ini tentu juga searah dengan peningkatan rasio dependensi. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah yang ditanggung oleh masyarakat di usia produktif semakin hari semakin meningkat. BPS melaporkan bahwa pada tahun 2020, tingkat rasio dependensi Indonesia mencapai 15,54. Maka, untuk setiap 100 orang produktif, terdapat sekitar 16 orang non-produktif, termasuk lansia, yang harus ditanggung. Tren peningkatan populasi lansia ini serupa dengan negara maju, seperti G20, yang mengindikasikan adanya peningkatan harapan hidup. Secara jangka panjang, terdapat potensi perubahan struktur demografi Indonesia yang semula berbentuk piramida ekspansif mendekati bentuk konstruktif.
Konsekuensi dari fenomena ageing population ini adalah peningkatan perhatian khusus bagi lansia, seperti program bantuan dan jaminan sosial, khususnya kesehatan. Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menerapkan program social safety net dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) guna menunjang keberlangsungan hidup kaum lansia di Indonesia. Pada tahun 2017, PKH mulai menargetkan kaum lansia sebagai penerima bantuan yang dibayarkan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan fixed/flat-policy sebesar Rp2.000.000/KPM/tahun. Namun, pada tahun 2019 hingga saat ini, bantuan PKH untuk lansia meningkat menjadi Rp2.400.000/KPM/tahun dengan menerapkan indeks variasi (non-flat) yang memperhitungkan kondisi setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Penetapan indeks variasi tersebut memungkinkan setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) mendapatkan bantuan minimal Rp900.000 hingga maksimal Rp10.800.000 sesuai dengan kondisi masing-masing, tetapi bantuan lansia hanya dibatasi maksimal 1 orang/KPM dengan umur 70 tahun keatas.
Di balik perencanaannya, implementasi PKH bagi lansia menghadapi banyak kendala. Seperti pada tahun 2018, BPK menemukan adanya kendala pada penggabungan database dari penerima PKH lansia dengan program Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT). Masalah tersebut menyebabkan ketimpangan antara jumlah lansia terdaftar dengan bantuan yang dibayarkan (lihat gambar 2). Hal ini diperparah dengan tertundanya pembayaran PKH bagi lansia pengalihan program ASLUT akibat proses verifikasi yang lama dan diantaranya menerima bantuan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Temuan ini disebabkan karena peserta PKH lansia dari pengalihan program ASLUT tidak tercantum kedalam Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial (SIKS) serta tidak adanya proses validasi dan verifikasi data pada aplikasi SIKS (Zakiah dkk., 2020). Oleh karena pengalihan program ASLUT pada PKH tidak efektif dan memiliki prinsip yang bertentangan, program ASLUT dipisah kembali dari PKH pada tahun 2019. Tidak hanya berhenti disitu saja, belakangan ini ditemukan banyaknya database penerima PKH fiktif yang dimanipulasi oleh pejabat pemerintah, pendamping PKH, dan pegawai bank. Selain itu mekanisme graduation (pemberhentian penerima bantuan ketika sudah sejahtera) tidak dijalankan dan diperbaharui oleh pejabat setempat sehingga lansia miskin baru yang rentan terhadap pandemi Covid-19 tidak bisa menerima bantuan PKH.
Dalam hal penjaminan sosial bagi lansia, Norwegia merupakan salah satu negara yang dapat menjadi acuan best practice. Menurut laporan Global AgeWatch (2014), Norwegia menjadi negara dengan status terbaik dalam hal perawatan lansia, khususnya dalam hal penjaminan pendapatan, kapabilitas, dan lingkungan (Zaidi, 2014). Norwegia menjamin tersedianya dana pensiun mencapai 100 persen sehingga hanya terdapat 1,8 persen lansia usia yang berpenghasilan di kuartil terendah. Selain itu, ditemukan bahwa terdapat 56 persen lansia yang merasa puas dengan sistem transportasi umum dan 89 persen merasa memiliki seseorang yang dapat diandalkan ketika dibutuhkan. Meskipun penjaminan kesehatan di negara ini masih dikategorikan menengah, 98,9 persen lansia di Norwegia merasa hidupnya memiliki tujuan. Secara keseluruhan, lansia Norwegia diharapkan mencapai 24 tahun kehidupan lagi setelah usia 60 tahun dengan 17,4 tahun di antaranya dalam keadaan sehat (Wilson, 2014). Dengan demikian, penjaminan sosial bagi lansia merupakan hal esensial yang berpotensi berdampak secara tidak langsung pada kesehatan dan bahkan harapan hidupnya.
Selain itu, dalam menghadapi pandemi, bagi kaum lansia yang termasuk kelompok rentan terhadap penyebaran virus Covid-19, bantuan ekonomi berupa PKH tidak cukup menopang kesejahteraan jika tidak diikuti dengan bantuan akses kesehatan. Kaum lansia menjadi penyumbang 48,18 persen kasus kematian dari Covid-19 dengan tingkat kematian tertinggi sebesar 12,4 persen dibanding kelompok usia lain. Maka, sudah seharusnya kaum lansia mendapatkan prioritas vaksinasi oleh pemerintah. Pada pelaksanaannya, Kementerian Kesehatan telah menargetkan 21.5 juta jiwa lansia dalam program vaksinasi tahap kedua, tetapi per 28 Mei 2021 hanya 15.09 persen yang sudah melakukan vaksinasi dosis pertama dan 10,05 persen melakukan vaksinasi dosis kedua. Padahal, tahap kedua vaksinasi nasional akan berakhir pada akhir Mei 2021, sedangkan pencapaian vaksinasi lansia masih rendah. Hal ini membuktikan bahwa golongan lansia kurang mendapatkan prioritas utama vaksinasi (tahap 1). Pencapaian vaksinasi lansia yang terlambat akan semakin memperlambat laju vaksinasi nasional dari golongan prioritas lainnya.
Hal lain yang perlu diberi perhatian khusus adalah panti jompo belum mendapatkan prioritas vaksinasi karena susahnya pendataan dan pendaftaran. Tidak ada data secara eksplisit yang menyebutkan jumlah panti jompo di Indonesia, tetapi BPS pada tahun 2019 memperkirakan ada 270 panti jompo yang menampung sekitar 220.000 lansia. Jika dipukul rata, setiap panti jompo mengurus 814 orang dalam satu tempat dengan pengurus yang terbatas. Tempat tinggal yang padat, fasilitas yang terbatas, dan susahnya mengakses data panti jompo semakin meningkatkan risiko penularan. Pemerintah perlu “menjemput bola” dalam menjangkau vaksinasi lansia di panti jompo sebagaimana lansia sangat lemah dalam mengakses teknologi. Lebih jauh, lansia di panti jompo didominasi oleh golongan terlantar dan tidak memiliki keluarga.
Selain dari upaya vaksinasi, pemerintah perlu meningkatkan edukasi skrining vaksinasi secara mandiri kepada lansia dan memperketat proses skrining sebelum vaksinasi dilakukan. Proses skrining sangat menentukan efektifitas vaksin terhadap kondisi kesehatan lansia sebelum vaksinasi berlangsung. Tingkat morbidity rate lansia pada 2019 cukup mengkhawatirkan yaitu sebesar 26.2 persen yang didominasi oleh penderita komorbid dari penyakit hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung. Lansia penderita komorbid harus mendapatkan prioritas skrining guna menghindari risiko kematian pasca vaksinasi. Proses skrining harus efisien, mengingat kemampuan fisik lansia yang terbatas ketika melakukan antrian dan transportasi. Pemerintah dapat menyediakan fasilitas skrining pada fasilitas kesehatan terdekat bagi kaum lansia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa poin rekomendasi terkait permasalahan lansia. Pertama, dalam hal program pro-kesejahteraan, seperti PKH atau BLT, perlu adanya sistem distribusi yang lebih baik. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi adanya mistargeting, khususnya akibat adanya elite capture. Maka, perlu adanya evaluasi rutin untuk memastikan realisasi pihak penerima sama dengan nama yang terdata dan benar-benar membutuhkan. Dari sisi permintaan, masyarakat perlu didorong untuk proaktif melaporkan lansia yang memenuhi syarat sebagai penerima bantuan sosial, tetapi tidak mendapatkan di lapangan. Untuk mengoptimalkan gerakan bottom up tersebut, dapat digunakan sistem incentive-based bagi masyarakat yang mengumpulkan sejumlah lansia yang belum terpapar program bantuan sosial. Dari sisi penawaran, aparatur sipil atau perangkat desa yang terlibat dalam penyelewengan distribusi bantuan sosial perlu ditindak tegas, seperti sanksi pemotongan gaji, mutasi tempat kerja, atau diberhentikan jika dalam kondisi ekstrem.
Kedua, dalam upaya penanganan pandemi, lansia yang terbilang rentan perlu untuk menjadi prioritas pemerintah, khususnya dalam hal vaksinasi. Pemberian vaksin yang secara prakteknya menuai banyak polemik perlu untuk diminimalisasi potensi dampaknya. Sebagai contoh, banyaknya jumlah lansia yang justru jatuh sakit setelah vaksinasi, pada umumnya disebabkan oleh adanya penyakit atau gangguan kesehatan lain. Maka, perlu adanya skrining pra-vaksinasi yang dilakukan oleh tenaga medis. Skrining mandiri yang dilakukan lansia pada akan kurang relevan karena bisa didasarkan pada hasil pemeriksaan kesehatan dalam rentang waktu cukup lama. Selain itu, lansia bisa jadi tidak merasa jika ia mengalami gangguan kesehatan sehingga melaporkan dirinya sehat dan siap untuk divaksin. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan masalah yang baru jika tidak dilakukan langkah preventif yang sistematis.
Terakhir, tentu upaya perawatan lansia tidak hanya menjadi beban pemerintah, tetapi juga masyarakat dan lembaga sosial, termasuk filantropi. Lansia dapat menjadi target dari berbagai aksi dan bantuan sosial yang dilaksanakan oleh masyarakat maupun lembaga filantropi. Lebih jauh, perawatan lansia di rumah juga membantu meringankan beban publik, seperti halnya panti jompo. Perspektif agama pun juga mendukung perawatan mandiri lansia sebagai bentuk birrul walidain bagi anak kepada orang tuanya.
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2010). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2010. Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2015. Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2020. Badan Pusat Statistik.
Bayu, D. J. (17 Juli 2020). Hasil Studi: PKH dan Bantuan Sembako Tak Tepat Sasaran Terganjal Data. Katadata.id https://katadata.co.id/agustiyanti/berita/5f1154c4a509b/hasil-studi-pkh-dan-bantuan-sembako-tak-tepat-sasaran-terganjal-data
Covid19.go.id (28 Mei 2021). Peta Sebaran Covid-19. https://covid19.go.id/peta-sebaran. Diakses pada 28 Mei 2021
Omer, S., Faden, R., Kochhar, S., Kaslow, D., Pallas, S., Olayinka, F., … & Wilder-Smith, A. (2020). WHO SAGE roadmap for prioritizing uses of COVID-19 vaccines in the context of limited supply. World Health Organization.
Panolih, K. P. (28 Mei 2021). Vaksin Covid-19 dan Status Kerentanan Warga Lansia. Kompas.id https://www.kompas.id/baca/riset/2021/05/28/vaksin-covid-19-dan-status-kerentaan-lansia/
Robot, Y. & Toreh, R. (14 Mei 2020). PKH, PHK dan Setumpuk Masalah. Manado Post.
https://manadopost.jawapos.com/opini/14/05/2020/pkh-phk-dan-setumpuk-masalah/
Vaksin.kemkes.go.id. (28 Mei 2021). Vaksinasi Covid-19 Nasional. https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines. Diakses pada 28 Mei 2021
Wilson, J. (2014, Oktober 17). Which Countries Are Best At Caring For Their Elderly? Hometouch. https://myhometouch.com/articles/which-countries-do-the-best-job-caring-for-their-elderly
World Bank. (2012). PKH Conditional Cash Transfer. World Bank.
Zaidi, A. (2014, November 26). Hard Evidence: Which is the best country to grow old in? The Conversation. https://theconversation.com/hard-evidence-which-is-the-best-country-to-grow-old-in-33873
Zakiah, K., Lestari, V. P., & Putra, H. D. (2020). Akuntabilitas Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH): Komponen Kesejahteraan Sosial (Lanjut Usia dan Disabilitas Berat) di Indonesia.