Oleh: Muhammad Ghifariyadi
Kecerdasan buatan, digital economy, big data, dan robotic ialah beberapa fenomena dimana tanda-tanda kita semuat dipaksa untuk menyambut era revolusi Industri 4.0. Mau tidak mau baik kehidupan sosial kita sampai Business Environment akan berubah dengan menyesuaikan dengan teknologi yang semakin maju. Ambil contoh saja baru-baru ini perusahaan telekomunikasi terbesar di korea, KT, memasang speaker pintar di kamar yang ada di Novotel Ambassador and Residence di Seoul. Fungsinya untuk apakah ? tak seperti speaker yang hanya biasa kita gunakan untuk mendengarkan lantunan ayat suci, melainkan speaker pintar tersebut dapat digunakan untuk menyalakan lampu hingga memesan handuk.
Tak hanya kecerdasan buatan, melainkan masih ada beberapa teknologi yang membuka pintu dalam era baru ini, diantaranya IoT, human machine interface sampai 3D Printing yang mana efeknya ialah peningkatan efisiensi produksi dan peningkatan produktivitas.
Kalau tadi kita sama-sama membahas tentang revolusi industri secara umum, mari kita lihat dari sektor finansial. Kita ambil contoh beberapa penerapan yang sudah dilakukan di Industri keuangan. Contoh pertama diisi oleh perusahaan financial technology dalam lending atau layanan jasa pinjam-meminjam berbasis teknologi. Sudah pasti ketika kita berurusan dengan kata lending atau mungkin financing maka tak jauh jauh kita akan berbicara tentang penjagaan NPL atau NPF. Mudahnya NPL atau NPF ialah jumlah total kredit macet dari dana yang telah disalurkan. Maka menjadi suatu tantangan bagi perusahaan baik bank maupun fintech lending dalam menjaga NPL atau NPF. Hal unik yang dilakukan oleh salah satu perusahaan rintisan yang bernama crowdo, perusahaan rintisan yang bergerak dalam fintech lending, ternyata telah memakai teknologi kecerdasan buatan dalam menyeleksi calon peminjamnya sejak enam tahun yang lalu. Teknologi kecerdasan buatan tersebut mereka namakan Crowdo Ace. Bahkan menurut pemaparan dari General Manager Crowdo Indonesia, Cally Alexandra, bahwa Crowdo Ace dapat menyeleksi calon peminjam secara akurat meskipun para calon peminjam itu dari luar Jawa. Kemudian kita masuk ke contoh kedua yakni pemanfaatan big data dalam membantu penilaian kredit. Salah satu perusahaan yang telah mempraktikkannya ialah perusahaan di Tiongkok yang bernama China Rapid Finance (CRF). Dari banyaknya data transaksi dari mobile payment memungkinkan fintech dalam penciptaan sistem penilaian kredit yang lebih akurat. CRF mencocokkan kreditur dan segementasi peminjam dengan mengembangkan algoritma penilaian kredit yang disebut EMMAs (Emerging, Middle-Class, Mobile-Active Consumers).
Melanjutkan juga bahwa Big data sendiri dapat diaplikasikan dalam perusahaan fintech untuk membantu dalam mendeteksi potensi penipuan, mengalkulasi tingkat risiko, menganalisis data untuk merchant dan masih banyak lagi.
Setelah melihat pemaparan diatas tentang secuil contoh penerapan dari teknologi-teknologi yang lahir di era ini, mari kita kerucuti ke ranah fintech syariah. Sebetulnya di Indonesia saja hanya untuk ranah fintech lending/financing ada satu data yang mengejutkan bahwa pada pemaparan yang disampaikan oleh Hendrikus Passagi selaku Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK bahwa terdapat beberapa potensi yang sangat menggiurkan terutama untuk para pegiat fintech lending. Diantaranya terdapat potensi pinjaman sebesar Rp 2.500 Triliun rupiah dari 50 juta UMKM yang masih unbankable, GAP kebutuhan pembiayaan tiap tahun tercatat sangat besar di angka Rp 1000 Triliun kemudian potensi kolaborasi dengan 110.000 koperasi simpan pinjam dengan anggota berjumlah lebih dari 20 Juta orang.
Dari ranah fintech lending atau financing saja sudah kita sama-sama pahami bahwa terdapat potensi pinjaman atau pembiayaan sebanyak 15 nominal angka atau sampai satuan kuadriliun dan sebetulnya kue besar ini yang harus digarap secepat dan setepat-tepatnya oleh pemain fintech terutama fintech syariah. Dengan kue yang begitu besar dibutuhkan juga kemampuan yang besar jugauntuk menggarapnya. Kalau mengacu pada beberapa contoh penerapan teknologi-teknologi yang lahir pada era revolusi industri ke empat ini bahwa terdapat banyak tools untuk menggarap potensi-potensi yang ada oleh para pemain fintech syariah. Diantaranya pemanfaatan Artifical Intelligence dalam menyeleksi para calon kreditur atau para calon peminjam dalam pengoptimalan jalannya proses lending ataupun financing sehingga potensi dapat digarap seoptimal mungkin dengan jumlah NPF dapat dijaga dalam kadar yang aman. Selain kecerdasan buatan, masih ada banyak tools seperti big data dan beberapa teknologi lainnya yang dapat digunakan oleh para pelaku fintech syariah untuk menggarap potensi-potensi dari financial sector terutama di Indonesia.