Meninjau Stabilitas Keuangan Perbankan Syariah di Masa Inflasi

Meninjau Stabilitas Keuangan Perbankan Syariah di Masa Inflasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ziana Fatina Parwati

KSEI AkSES LIPIA

Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi efektif dan efisien terhadap kerentanan internal (domestik) dan eksternal (luar negeri), sehingga alokasi sumber daya atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan perekonomian nasional. Kerentanan internal dan eksternal yang dimaksud merupakan guncangan atau shock yang bisa menimbulkan fluktuasi perekonomian yang dapat berasal dari variabel moneter domestik maupun luar negeri. Variabel moneter tersebut antara lain berupa jumlah uang yang beredar, suku bunga, inflasi dan nilai tukar.

Internal monetary shock atau guncangan pada variabel moneter domestik dapat menyebabkan penurunan output nasional. Contoh, adanya penurunan jumlah uang yang beredar sehingga suku bunga domestik mengalami peningkatan dan menimbulkan pelambatan upaya stimulus sektor riil perekonomian dan dan lain-lain. Rendahnya tingkat investasi, konsumsi, dan pengikisan nilai aset akibat inflasi akan menyebabkan penurunan dalam permintaan agregat masyarakat, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi melambat pula.

Adapun External monetary shock atau guncangan pada variabel moneter luar negeri bisa berupa exchange rate shock, yaitu perubahan sistem nilai tukar yang dianut maupun pergerakan nilai tukar domestik terhadap mata uang asing, serta fluktuasi pada tingkat suku bunga dunia, inflasi, dan jumlah uang yang beredar. Sementara itu guncangan pada tingkat suku bunga dunia juga dapat berpengaruh kepada Indonesia. Indonesia yang merupakan small open economy dengan mobilitas modal yang relatif sempurna, maka tingkat bunga dalam perekonomiannya akan ditentukan oleh tingkat suku bunga dunia (Mankiw,2000:291). Oleh karena itu Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap terjadinya eksternal rate shock. Sebagai contoh adanya foreign nominal shock seperti kebijakan moneter kontraktif dan meningkatnya suku bunga luar negeri. Apabila terus berlanjut maka akan memperburuk perekonomian dalam negeri karena aliran dana tersebut tidak dapat digunakan untuk menambah investasi jangka panjang yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada prinsipnya stabilitas keuangan berkaitan dengan dua elemen, yaitu stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan yang mencakup lembaga keuangan serta pasar keuangan yang secara langsung mendukung jalannya sistem keuangan.

Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Sebagai bagian dari sistem perekonomian, sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada yang mengalami defisit. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan, sistem keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya.

Secara umum ketidakstabilan sistem keuangan bisa mengakibatkan kebijakan moneter yang tidak efektif, terhambatnya pertumbuhan ekonomi, hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan yang mendorong terjadinya kesulitan likuiditas.

Adapun keuangan islam memiliki prinsip yaitu mengutamakan etika dalam berusaha dan melarang spekulasi serta ketidakpastian. Prinsip keuangan islam juga mengutamakan risk sharing atau berbagi resiko, melarang transaksi money for money, dan mengharuskan adanya riil aset yang mendasari suatu transaksi. Prinsip dalam keuangan islam ini mendorong terwujudnya keseimbangan dan memenuhi rasa keadilan yang pada akhirnya akan menciptakan ketahanan dan stabilitas keuangan serta dapat mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Disisi lain, terdapat salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi stabilitas keuangan yaitu, tingkat inflasi yang tinggi. Sebagaimana yang terjadi pada krisis moneter tahun 1998 dimana inflasi mencapai 77,63% dan saat krisis ekonomi global tahun 2008 inflasi mencapai 11,06% (sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia) dikarenakan pengaruhi nilai tukar rupiah yang melemah dan naiknya harga-harga pokok, sehingga hal ini menyebabkan kemampuan membeli masyarakat menjadi terbatas dan kemampuan berinvestasi berkurang karena sebagian masyarakat menggunakan dananya untuk berjaga-jaga. Selain itu, minat masyarakat dalam mengajukan pembiayaan menjadi turun dikarenakan biaya yang tinggi akibat dari kenaikan suku bunga.

Perbankan syariah muncul sebagai alternatif dalam kondisi krisis yang dialami Indonesia. Sistem bagi hasil dengan prinsip syariah menjadi pembeda dengan perbankan konvensional. Saat tingkat suku bunga di bank konvensional meningkat, nasabah akan cenderung melakukan pembiayaan di bank syariah karena sistem bagi hasil yang diterapkan dan tidak terpengaruh oleh peningkatan sistem bunga tersebut. Pada sistem bagi hasil, kinerja bank syariah menjadi transparan kepada nasabah, sehingga nasabah dapat mengawasi kinerja bank syariah atas jumlah bagi hasil yang diperoleh.

Perbankan syariah di Indonesia pertama kali hadir pada tahun 1992 yang ditandai dengan keberdaan Bank Muamalat Indonesia. Namun, setelah terjadinya krisis pada tahun 1998, perbankan syariah mengalami peningkatan jumlah yang pesat. Dimana sampai saat ini dari segi jumlah institusi, tercatat jumlah perbankan syariah di Indonesia sebanyak 198 bank yang terdiri dari 12 Bank Umum Syariah (BUS), 21 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Jumlah BUS berkurang dari sebelumnya 14 institusi (data laporan OJK tahun 2019) menjadi 12 institusi dikarenakan adanya penggabungan (merger) bank syariah milik bank BUMN yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM), BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. Peningkatan ini sejalan dengan meningkatnya kepercayaan publik bahwa perbankan dan keuangan syariah menjadi alternatif terbaik dalam mengatasi krisis keuangan. Selain itu, pertumbuhan perbankan syariah menunjukkan tren positif bahkan saat memasuki era pandemi dimana aset perbankan syariah tumbuh 15,6% (year on year) atau mencapai Rp. 598,2 triliun.

Dalam hal ini, pemerintah menilai bahwa sektor keuangan syariah memiliki potensi yang besar terhadap pemulihan ekonomi nasional terutama dalam mengurangi kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam praktiknya keuangan syariah menekankan prinsip atau nilai-nilai islam seperti keadilan melalui risk sharing (berbagi resiko). Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu Febrio Kacaribu pada agenda The Annual Islamic Finance Conference (AIFC) ke-5 mengatakan “Keuangan syariah merupakan cara, kerangka, yang mengatur aset dan transaksi berdasarkan prinsip keadilan dan kerelaan. Beliau berharap interpretasi dari prinsip-prinsip tersebut akan terimplementasi ke dalam proses pengembangan keuangan syariah, terutama dalam mendesain skema berbagi resiko yang semakin baik.

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1. Perkembangan Pembiayaan Industri Jasa Keuangan

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan

Sebagai sumber pembiayaan perekonomian, industri jasa keuangan syariah merupakan salah satu lembaga penyedia pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan keuangan pelaku ekonomi. Pada tahun 2020 terjadi peningkatan aset industri jasa kuangan syariah sebesar 12,71% (year on year) menjadi Rp710,30 triliun. Peningkatan tersebut memberi harapan positif terhadap pertumbuhan industri syariah meskipun saat kondisi ekonomi yang melambat di tengah pandemi. Pada tahun 2020, industri jasa keuangan syariah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp434,52 triliun. Jumlah tersebut meningkat 6,27% dibandingkan total pembiayaan yang disalurkan sepanjang tahun 2019. Pembiayaan perbankan sebesar Rp395,69 triliun masih menjadi kontributor utama dari industri ini. Pangsa pembiayaan tersebut mengalami peningkatan 0,69% dibandingkan pangsa pembiayaan terhadap total kredit perbankan dari 6,45% pada tahun 2019 menjadi 7,13% pada tahun 2020. Hal ini memberikan sinyal elemen positif terhadap pembiayaan perbankan syariah yang tumbuh positif ditengah pertumbuhan negatif kredit perbankan umum.

Dalam dekade terakhir, keuangan islam menjadi salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat di industri keuangan global bahkan melampaui pasar keuangan konvensional. Global Islamic Economic Report (2020) memperkirakan nilai aset keuangan syariah meningkat 13,9% pada tahun 2019, dari $2,52 triliun menjadi $2,88 triliun. Selanjutnya di tahun 2021 seiring dengan meningkatnya tren keuangan global, keuangan syariah di Indonesia tumbuh positif di tengah pandemi.

Bahkan, bukan hanya dalam hal perbankan syariah, potensi keuangan syariah juga terlihat dari pasar modal syariah, dengan jumlah investornya yang meningkat 9,3% selama 3 bulan pertama pada tahun 2021.

Aspek yang turut berkontribusi mendorong peningkatan aset ini termasuk diantaranya penerapan Peraturan Daerah (qanun) No.11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah di Provinsi Aceh yang mewajibkan seluruh lembaga keuangan untuk menerapkan prinsip syariah. Penerapan qanun secara bertahap tersebut berdampak pada model bisnis industri jasa keuangan beroperasi di Provinsi Aceh, diantaranya adalah konversi bank umum menjadi bank umum syariah.

Hal ini menunjukkan bahwa keuangan perbankan syariah berada pada kondisi yang stabil bahkan kinerjanya mengalami pertumbuhan bahkan saat terjadi inflasi dan krisis ekonomi.

Walaupun demikian bank umum syariah harus tetap mengantisipasi inflasi karena dapat kemungkinan bahwa biaya bank meningkat lebih cepat dari pada pendapatan bank. Sehingga bank umum syariah harus memiliki kemampuan dalam memprediksi inflasi yang akan datang. Hal ini mengasumsikan bahwa dengan peramalan dan prediksi tingkat inflasi dapat membantu bank umum syariah membuat kebijakan untuk menentukan tingkat bagi hasil, kuantitas pembiayaan dan kualitas aset.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Referensi:

Bank Indonesia. (2021). Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah. Retrieved from https://www.bi.go.id/id/LEKSI-2020/default.aspx

Nita, D.D. Arifin M. & Nurisniani, N. (2021). “Analisis Pengaruh Tingkat Inflasi Dan Tingkat Bagi Hasil Terhadap Profitabilitas Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia”. http://dx.doi.org/10.37641/jimkes.v9i2.763

Saleh, I. 2021. Pengaruh Kinerja Keuangan Dan Inflasi Terhadap Return On Asset Pada Bank Umum Syariah Di Indonesia. 2(2), 212-225. https://doi.org/10.46367/jps.v2i2.369

Otoritas Jasa Keuangan. (n.d.). Stabilitas Sistem Keuangan. Retrieved from https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/stabilitas-sistem-keuangan/Pages/Ikhtisar.aspx

Kementrian Keuangan. (2021). “Keuangan Syariah Sangat Berperan Dalam Pemulihan Ekonomi Nasional”. Retrieved from https://fiskal.kemenkeu.go.id/baca/2021/08/25/4308-keuangan-syariah-sangat-berperan-dalam-pemulihan-ekonomi-nasional

Supriani, I., Fianto, B. A., Fauziah, N. N., & Maulayati, R. R. (2021). Revisiting the Contribution of Islamic Banks’ Financing to Economic Growth: The Indonesian Experience. Shirkah: Journal of Economics and Business6(1), 18–37. https://doi.org/10.22515/shirkah.v6i1.383

Dhany, R.R. (2021). “Sudah 30 Tahun, Berikut Sejarah Ekonomi Syariah Di Indonesia”. Retrieved from https://www.idxchannel.com/syariah/sudah-30-tahun-berikut-sejarah-ekonomi-syariah-di-indonesia#:~:text=Ekonomi%20syariah%20sudah%20ada%20sejak,Indonesia%2C%20bagaimana%20perkembangannya%20saat%20ini%3F

Syariah Pedia. (2022). “Daftar Lengkap Bank Syariah di Indonesia: BUS, UUS, dan BPRS”. Retrieved from https://www.syariahpedia.com/2022/02/daftar-lengkap-bank-syariah-di-indonesia.html

Wijaya, Prakuta. (2015). “Dampak Guncangan (Shock) Internal dan Eksternal Kebijakan Moneter”. Retrieved from https://repository.unair.ac.id/3675/4/4.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *