Oleh : Zilal Afwa Ajidin, Presidium Nasional FoSSEI 2016-2017
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi besar dalam bidang pertanian dan peternakan. Ini terbukti dengan besarnya kontribusi sektor pertanian dan peternakan pada PDB Indonesia. Salah satu subsektor yang cukup berandil besar terhadap kontribusi PDB adalah subsektor peternakan. Terjadi peningkatan dari TW I pada 2014 sebesar 38.92 menjadi 44.05 pada TW I tahun 2015.
Namun kesadaran mengkonsumsi susu di Indonesia terbilang masih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Berdasarkan data dari Dirjen Argo, Kementerian Perindustrian, mengatakan bahwa tingkat konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia saat ini baru mencapai 11,09 liter per tahun. Bandingkan dengan negara ASEAN seperti Singapura yang mencapai 44,5 liter/kapita/tahun, Thailand sebesar 33,7 liter/kapita/tahun, Filiphina mencapai 22,1 liter/kapita/tahun, Malaysia mencapai 22,1 liter/kapita/tahun, dan Vietnam sebesar 12,1 liter/kapita/tahun.
Sementara itu, kebutuhan bahan baku susu segar dalam negeri (SSDN) untuk susu olahan dalam negeri mencapai 3,3 juta ton per tahun. Angka tersebut tentu jauh sekali jika dibandingkan dengan jumlah produksi susu nasional yang baru mencapai 805.363 ton pada tahun 2015. (Dirjen PKH, 2015) Artinya, produksi susu nasional baru memenuhi sekitar 30% total kebutuhan susu nasional. (Aji Purwanto, 2016)
Jumlah populasi sapi perah mengalami kenaikan dan penurunan. Ini pula yang berakibat pada naik turunnya jumlah produksi susu nasional di Indonesia. Berdasarkan data dari Sensus Pertanian tahun 2013, jumlah rumah tangga sapi perah pun mengalami penurunan sebanyak 5.626.614 rumah tangga. Artinya turun sekitar 30,26% dari rumah tangga peternak sapi perah pada Sensus Pertanian 2003. (BPS, 2016)
Jika dirunut, salah satu hal yang menyebabkan berkurangnya jumlah rumah tangga peternak sapi adalah karena rendahnya harga susu sapi per liter di pasaran. Selama ini yang mengatur harga susu bukan dari peternak itu sendiri, melainkan ditentukan oleh Industri Pengolahan Susu (IPS). Menurut data Dewan Persusuan Nasional (2015) harga susu sapi tersebut berkisar sekitar Rp 4.500 – Rp 5.500 per liternya. Harga tersebut belum termasuk biaya perawatan dan pakan sapi selama di peternakan. Sehingga membuat keuntungan bagi peternak menjadi kecil. Jika saja harga tersebut lebih tinggi, maka tentu kesejahteraan peternak susu akan meningkat. Sisi lainnya adalah, jumlah peternak susu pun akan meningkat pula.
Jika melihat beberapa permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab kurangnya produksi susu di Indonesia adalah karena kurangnya jumlah sapi itu sendiri. Ditambah lagi dengan menurunnya jumlah peternak sapi perah. Hal ini disokong oleh kurang idealnya harga susu sapi yang diberikan IPS kepada peternak. Serta jumlah konsumsi susu sapi yang rendah di masyarakat Indonesia. Sehingga jumlah pembeli susu pun kurang.
Melihat kondisi diatas, penulis memandang perlu adanya solusi agar produksi susu bisa meningkat. Serta kesejahteraan peternak sapi pun bisa membaik. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka penulis memandang perlu melaksanakan hal-hal berikut.
Pertama, pemerintah harus menaikkan jumlah sapi perah di Indonesia. Hal ini bisa dengan memaksimalkan potensi desa yang cocok untuk pengembangan peternakan susu sapi. Untuk mewujudkannya, bisa dilakukan dengan memanfaatkan dana desa yang pada tahun 2016 ini turun sebesar 46,9 Triliun. Dengan dana ini pun, bisa memperbaiki tekonologi pengembangan bibit unggul sapi perah. Juga penambahan pengadaan jumlah sapi itu sendiri.
Disisi lain pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang mendukung peningkatan hasil peternakan ini. Pemerintah telah mengeluarkan UU nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU tersebut mengatur tentang pencegahan penyakit pada hewan ternak, juga mengatur tentang dukungan terhadap pengembagan bibit unggul.
Tentunya jika UU 41/2014 tadi dijalankan, serta disinergikan dengan pemanafaatan dana desa yang ada, maka bisa diprediksi bahwa jumlah sapi perah penghasil susu di Indonesia bisa meningkat secara signifikan. Salah satunya dengan pemusatan pengembangan sapi perah di beberapa daerah tertentu yang dipandang cocok untuk dikembangkan.
Kedua, perlunya peningkatan kesejahtaraan peternak sapi. Ini dimungkinkan apabila harga susu sapi per liter itu sendiri naik. Jika selama ini yang mengatur harga adalah IPS, maka peternak hendaknya bisa membuat nilai tambah dari susu yang dihasilkan oleh sapi perahnya. Sehingga peternak tidak terlalu tergantung pada penjualan susu melalui IPS.
Untuk mengembangkan ini, maka perlu ada sebuah koperasi yang secara khusus menampung, mengolah dan menyalurkan olahan susu sapi para peternak. Sehingga terdapat nilai tambah pada susu yang diproduksi dari para perternak. Jika selama ini jumlah susu sapi yang dijual ke IPS berkisar pada harga Rp 4.500-Rp 5.500, maka ketika disalurkan ke koperasi, harganya dapat lebih meningkat menjadi Rp 6.000-Rp 7.000. (KUD Kabupaten Malang)
Disisi lain, koperasi pun diuntungkan. Jika harga yang dibeli oleh koperasi pada peternak adalah Rp 6.000 per liter, maka ketika diolah value addednya akan meningkat. Diasumsikan jika satu liter itu bisa menghasilkan 4 gelas susu segar berukuran 250 ml (setara dengan segelas air mineral). Jika dijual dengan harga Rp 3.000 per gelas. Maka omzet yang bisa didapatkan adalah sebesar Rp 12.000. Jika dikurangi harga yang dibeli dari peternak sebesar Rp 6.000 dan harga produksi persatu gelasnya Rp 1.000, maka akan didapatkan penambahan nilai sebesar Rp 5.000 setiap satu liternya bagi koperasi.
Ketiga, perlu adanya penyadaran konsumsi susu bagi masyarakat. Ini menjadi penting, mengingat dampak baik susu terhadap kesehatan masyarakat. Pemerintah perlu mendorong sosialisasi peringatan Hari Susu Nusantara sehingga dapat meningkatkan kedasaran masyarakat. Hal ini juga telah diterapkan di provinsi Jawa Tengah. Banyak orang yang tidak mengetahui tentang sosialisasi kesadaran mengkonsumsi susu ini.
Kebijakan lainnya, pemerintah khususnya di tingkat kota atau provinsi bisa menerapkan program seperti Selasa Minum Susu. Hal tersebut bisa dimulai ditingkat instansi pemerintahan, maupun di tingkat sekolah yang berada dibawah pemerintahan. Hal ini sekaligus membiasakan minum susu dikalangan pegawai dan pelajar. Juga bisa dikerjasama produsen susu dari koperasi susu milik masyarakat.
UU nomor 41 tahun 2014 pasal 37 ayat 1, berbunyi,”Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan dengan mengutamakan penggunaan bahan Baku dari dalam negeri”. Itu berarti ketika kita melaksanakan langkah diatas, sama saja kita menaati amanat UU yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Tentunya ketika pemerintah terus mendorong konsumsi susu di tingkat masyarakat, akan berdampak baik pada peningkatan pendapatan peternak susu sapi itu sendiri. Bagaimana tidak, ketika susu yang dibeli banyak, maka peternak susu akan mendapatkan income yang banyak pula. Jika hal ini dijalankan, tentu akan berdampak pada kesejahteraan peternak itu sendiri. Jayalah ekonomi kreatif Indonesia!