Refleksi Setengah Tahun UU Cipta Kerja: Konsep Kesejahteraan yang Sering Dilupakan

Refleksi Setengah Tahun UU Cipta Kerja: Konsep Kesejahteraan yang Sering Dilupakan

Penulis: Muhammad Adi P. dan Fadia Utami (Trainee FoSSEI Research Team 2021)

Setengah tahun berlalu sejak DPR mengesahkan Undang-Undang sapu jagat yang menyapu hak-hak para buruh. Setengah tahun pula tidak ada tanda-tanda bahwa Undang-Undang yang sering dipelesetkan menjadi “UU Celaka” tersebut akan dicabut. Sebaliknya,  penolak Omnibus Law dianggap tidak mengerti substansi dan urgensi Undang-Undang ini. Bahkan, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa penolakan UU Cipta Kerja disebabkan karena disinformasi dan hoaks yang beredar di masyarakat.

Padahal, pejuang hak buruh tidak mempermasalahkan keberadaan keberadaan Omnibus Law sebagai penyederhana tumpang-tindihnya birokrasi serta akselerator investasi di Republik Indonesia ini. Namun,  satu hal yang terus dipertanyakan buruh selama ini adalah letak keikutsertakan mereka dalam perumusan UU Cipta Kerja di negara “demokrasi”. Sebaliknya, hanya para pebisnis papan atas dan para pemangku kebijakanlah yang menjadi mimbar berpikir lahirnya Undang-Undang ini. Padahal, negara tidak sesederhana perusahaan berbasis balance sheet dan neraca laba rugi. Di dalam negara terdapat unsur rakyat yang harus diperhatikan kesejahteraannya, dijaga haknya, serta didengar suaranya, sebagaimana diamanatkan oleh pelopor bangsa dalam UUD 1945.

Secara sederhana, sebenarnya bukanlah hal buruk jika kaum pengusaha diuntungkan dengan adanya UU Cipta Kerja. Hal ini disebabkan karena secara matematis, jika pengusaha diuntungkan, buruh juga akan merasakan keuntungannya. Namun, jika mempertimbangkan kemungkinan terburuk, tidak ada yang dapat menjamin bahwa buruh akan ikut terangkat kesejahteraannya. Sebaliknya, Omnibus Law memiliki potensi menjadikan pengusaha semakin kapitalis, misalnya dengan dihilangkannya hak pekerja untuk menuntut perusahaan yang melakukan PHK. Sebelumnya, hak tersebut diatur dalam Pasal 159 UU Nomor 13 Tahun 2003. Namun aturan tersebut dalam UU Cipta Kerja ini telah dihapus. Lebih jauh, banyak hak lain dari para pekerja yang sebelumnya dijamin secara hokum, dikurangi atau tidak lagi dijamin sehingga hak tersebut bergantung pada kebijakan perusahaan yang belum pasti.

UU Cipta Kerja memang dinilai akan mampu mendorong reindustrialisasi di Indonesia, sehingga akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) negara, termasuk pendapatan per kapita. Padahal, peningkatan pendapatan per kapita belum tentu dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat secara merata. Misalnya, pada tahun 2019 PDB perkapita Indonesia mencapai Rp59,1 juta per tahun atau Rp4,9 juta per bulan (Badan Pusat Statistik, 2020). Faktanya terdapat banyak orang yang pendapatannya jauh di bawah angka tersebut. Hal ini dibuktikan oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa lebih dari 24 juta warga negara Indonesia berpendapatan kurang dari Rp401.220,00 per bulan. Oleh karena itu, baik PDB maupun pendapatan per kapita tidak dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan rakyat secara mutlak.

Konsep kesejahteraan yang luput dalam perhatian Omnibus Law sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang menjadikan perburuhan salah satu fokus utama dalam permasalahan bermuamalah. Menurut Batubara (2016), sedikitnya terdapat empat hak buruh yang harus diperhatikan dalam masalah ketenagakerjaan, yakni (1) kemerdekaan manusia (2) kemuliaan derajat manusia (3) keadilan dan anti-diskriminasi (4) prinsip anti-perbudakaan. Rasulullah telah mencontohkan cara beliau menghormati buruh sebagai sesama manusia. Beliau pernah mempekerjakan seorang Yahudi tetapi tidak pernah memaksakan agama kepadanya. Rasulullah juga menjamin kesejahteraan para pekerjanya, tidak merendahkan harkat-martabatnya, dan menjamin prinsip antiperbudakan serta eksploitasi pekerja dalam hubungan bermuamalah. Hal ini sesuai dengan sabda beliau dalam hadist, Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Islam dengan jelas hadir untuk menghapuskan perbudakan dan meninggikan derajat para buruh. Namun, jika perburuhan bukanlah sebuah nama lain dari perbudakan yang dikemas manis oleh pemerintah dan pengusaha di era modern, mengapa masih marak sekali demo dari serikat buruh yang menuntut peningkatan upah dan jaminan kesejahteraan?

Undang-Undang Cipta Kerja seharusnya tidak hanya memudahkan penciptaan lapangan pekerjaan, tetapi juga harus menjamin keamanan pekerja dalam sebuah pekerjaan. Pasal 88 tentang sistem pengupahan, pasal 59 tentang tenaga kontrak, pasal 77 tentang jam kerja,  pasal 78 tentang ketentuan lembur, serta pasal 79 tentang hak cuti dan istirahat, yang dianggap ‘bias’ seharusnya ditinjau dan dikaji ulang oleh para pemangku kebijakan. Aspirasi buruh sebagai penopang perekonomian harus didengar dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Pandangan pengusaha terhadap buruh juga harus diluruskan, buruh bukanlah aset perusahaan yang dapat digunakan semena-mena dan dibuang ketika sudah tidak berguna. Buruh seharusnya dianggap sebagai stakeholder perusahaan sehingga  dalam mengurangi beban produksi yang harus dilakukan bukanlah pengurangan penggunaan tenaga, melainkan efisiensi.

Omnibus Law yang sejatinya memiliki niat baik untuk memudahkan investasi seharusnya disusun dengan jalan yang baik pula. Penghapusan dan penyederhanaan pasal-pasal hendaknya tidak memangkas hak-hak pekerja dengan dalih meningkatkan investasi. Investasi yang digaungkan dalam UU Cipta Kerja juga harus dievaluasi kembali. Jika pemangku kebijakan ingin meningkatkan aliran modal dalam negeri, investasi luar negeri bukanlah satu-satunya solusi. Investasi ini hanya berpotensi mengaliri usaha besar yang jumlahnya hanya sebesar 1% di Indonesia  (Kementerian Koperasi dan UMKM, 2019). Jika Omnibus Law memang alat pemerintah dalam meningkatkan PDB negeri, seharusnya pemerintah lebih fokus untuk menumbuhkan 99% jenis usaha lainya, yakni sektor UMKM yang memiliki peran vital dalam perekonomian Indonesia.

Pada tanggal 1 Mei 1886, perjuangan buruh pertama kali berhasil menaklukkan sistem perbudakan dunia.  Akan tetapi,  sistem perbudakan saat ini justru masih menggerogoti perburuhan dalam diam. Setengah tahun sudah UU Cipta Kerja disahkan, apakah kesejahteraan yang sudah ratusan tahun digaungkan telah menemukan titik terang?

REFERENSI:

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2020). Ekonomi Indonesia 2019 Tumbuh 5,02 Persen. Badan Pusat Statistik, 17/02/Th. XXIV, 1–12. https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/02/05/1755/ekonomi-indonesia-2019-tumbuh-5-02-persen.html

Batubara, I. (2016). Perspektif Hukum Islam Tentang Dinamika Hubungan Industrial Di Indonesia. MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 37(2), 347–373. https://doi.org/10.30821/miqot.v37i2.87

Kementrian Koperasi dan UMKM. (2019). PERKEMBANGAN DATA USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH (UMKM) DAN USAHA BESAR (UB) TAHUN 2018 – 2019. https://www.kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1617162002_SANDINGAN_DATA_UMKM_2018-2019.pdf

Kulsum, F. U. (2018). TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENUNDAAN PEMBAYARAN UPAH BURUH (Studi Kasus CV. Bangkit Jaya Desa Windunegara Kecamatan Wangon Kabupaten Banyumas) Faria Ummi Kulsum NIM: 1423202015 (Doctoral dissertation, IAIN).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *