Revisi Qanun LKS, Pemprov Aceh Sepakat Bank Konvensional Beroperasi Kembali?

Revisi Qanun LKS, Pemprov Aceh Sepakat Bank Konvensional Beroperasi Kembali?

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tertuang bahwa Aceh diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur pelaksanaan syariat Islam di daerahnya. Berdasarkan undang-undang tersebut, pada 31 Desember 2018, Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) mulai diterapkan di Provinsi Aceh sebagai upaya dalam mengimplementasikan prinsip ekonomi dan keuangan yang berlandaskan syariat Islam. Peraturan Qanun ini diberlakukan untuk seluruh masyarakat Aceh, badan usaha dan/atau badan hukum yang melakukan transaksi keuangan dengan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, lembaga keuangan di Aceh, hingga lembaga keuangan di luar Aceh selama beroperasi dan memiliki kantor yang berpusat di Aceh. Dari sekian banyak bank syariah yang ada saat ini, bank syariah yang paling dominan di Aceh adalah Bank Syariah Indonesia dan Bank Aceh. Per tahun 2023 ini jumlah pengguna BSI Mobile di Region Aceh bahkan mencapai 542.161 pengguna. Menurut Chief of Economist Bank Syariah Indonesia, menjelaskan bahwa perbankan syariah di Aceh berkontribusi sekitar 8% terhadap total nilai industri perbankan syariah secara nasional.  Aset perbankan syariah di Aceh mencapai Rp 48.90 Triliun atau sekitar 8,08%, dana pihak ketiga sebesar Rp 36,25 Triliun dan pembiayaan sekitar Rp 29,65 Triliun.

Namun demikian, baru baru ini serangan siber menimpa Bank Syariah Indonesia pada 08 Mei 2023 dan menyebabkan sistem bank error sehingga menghambat aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat serta para pelaku usaha di Aceh selama beberapa hari. Jauh sebelum kejadian BSI tersebut, Pemerintah Aceh telah sepakat mengajukan revisi Qanun LKS sejak Oktober 2022 dan memperbolehkan bank konvensional untuk beroperasi kembali. Kejadian yang menimpa BSI ini akhirnya semakin menarik perhatian masyarakat dan pemerintah Aceh. Jubir Pemerintah Aceh menuturkan “Infrastruktur perbankan syariah belum bisa menjawab dinamika dan problematika sosial ekonomi, terutama berkenaan dengan realitas transaksi keuangan berskala nasional dan internasional bagi pelaku usaha di Aceh” ujarnya. Kebijakan revisi Qanun tersebut tentu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagaimana tidak, implementasi Qanun LKS di Aceh adalah hasil dari perjuangan masyarakat Aceh untuk mewujudkan sistem perekonomian yang adil dan sesuai dengan syariat.

Pernyataan revisi Qanun LKS tersebut turut menyorot perhatian publik. Hal ini membuat banyak pihak merespon negatif, mulai dari masyarakat, akademisi hingga pemuka agama. Bahkan dikabarkan pada Rabu, 24/05/2023 ribuan mahasiswa UIN Ar-Raniry akan melakukan aksi di depan gedung DPRD Banda Aceh. Mereka menuntut agar tetap dipertahankan prinsip Islam dengan menolak revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Massa juga menuntut agar BSI segera memperbaiki perubahan sistem karena problematika yang terjadi di BSI beberapa hari lalu telah menjadi perhatian khusus baik di kalangan masyarakat hingga pemerintah Aceh. Selain itu, ribuan mahasiswa tersebut juga meminta agar ketua DPRD Saiful Bahri untuk melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) serta menuntut agar direksi BSI Aceh dicabut. DPRA juga telah tegas menolak Revisi Qanun Aceh Nomor 11 tentang Lembaga Keuangan Syariah, yang disampaikan pada saat menemui aksi mahasiswa pada 24/05/2023.

Pengajuan revisi Qanun LKS yang bertujuan untuk membiarkan bank konvensional beroperasi kembali sebenarnya menunjukkan tidak konsistennya Pemerintah atas keputusan yang telah dibuat. Perlu disadari bersama bahwa saat ini bank syariah terus mengalami pertumbuhan baik dari segi aset maupun jumlah bank itu sendiri. Kejadian yang dialami BSI, hendaknya membuka mindset masyarakat bahwa bank syariah bukan hanya BSI saja. Per januari 2023, data OJK mencatat bahwa sudah ada 12 BUS, 20 UUS dan 169 BPRS. Melihat data yang ada, bahwa sebenarnya terbuka peluang besar untuk tetap menggunakan bank syariah di Aceh. Presidium Nasional Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) Bidang Keilmuan,  A’am Ar Rosyad, mengatakan “Masalah yang menimpa salah satu bank syariah nasional beberapa waktu lalu sebaiknya menjadi trigger bagi pemerintah setempat untuk mendorong perbaikan sistem dan pengembangan layanan LKS di Aceh. Hal tersebut rasanya lebih arif dibandingkan harus merevisi Qanun LKS yang berkaitan dengan regulasi bank konvensional di Aceh” ujarnya.

Pemerintah harus memberikan dukungan dan kemudahan masyarakat Aceh dalam menjalankan aktivitas ekonomi yang sesuai dengan syariah. Dengan tidak hanya berfokus pada satu bank syariah saja. Pemerintah Aceh perlu memperluas dan menambah jaringan  Unit Usaha Syariah seperti kantor cabang dan ATM hingga di tingkat desa dan kelurahan. Untuk menghindari kondisi yang dialami nasabah BSI sebelumnya di Aceh, sangat diperlukan adanya bank-bank syariah lain yang beroperasi di Aceh. Sebagai masyarakat maka, yang perlu dilakukan salah satunya adalah diversifikasi rekening pada bank syariah lainnya. Untuk industri perbankan syariah kejadian error pada sistem BSI beberapa hari lalu perlu menjadi perhatian khusus dan evaluasi bagi BSI untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas layanannya, komunikasi pada nasabah serta meningkatkan keamanan data nasabah dan menyiapkan mitigasi risiko dengan optimal. Sebetulnya serangan siber pada bank bukanlah kejadian baru dan pertama yang ada di Indonesia, Hal ini juga pernah terjadi pada bank-bank konvensional. Namun, kecepatan merespon masalah yang masih perlu diperbaiki oleh BSI menjadi problematika yang kemudian melahirkan banyak tanda tanya dari para nasabah. Dan bagi Pemerintah Aceh dapat terbuka untuk membiarkan Unit Usaha Syariah turut beroperasi di Aceh, sehingga menambah referensi penggunaan bank syariah bagi masyarakat Aceh dan bentuk mitigasi risiko serta konsistensi atas penerapan syariah dalam bidang ekonomi. Pada akhirnya sistem operasional bank syariah memang belum sepenuhnya sempurna, namun upaya kita untuk bersikap konsisten dalam memilih bank yang berikhtiar menjauhi riba semoga tercatat sebagai pahala jihad di sisi Allah Ta’ala. Sebab Jihad yang paling utama adalah berjihad (berjuang) melawan diri dan hawa nafsu. Sebab memilih berjuang dan berikhtiar lebih untuk menerapkan value Islam dalam bermuamalah tidaklah mudah di zaman ini.

 

Penulis: Putri Oktavia Rusadi & Alvi Aulia Shofyani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *