Revitalisasi Peran Perempuan, Refleksi Perjuangan Shahabiyah di Masa Kejayaan Islam

Revitalisasi Peran Perempuan, Refleksi Perjuangan Shahabiyah di Masa Kejayaan Islam

fossei-3-300x225

Sejarah telah mencatat bahwa perempuan memiliki peran yang kuat dalam pembangunan Islam. Bagaimana kita mengenal Khodijah, wanita yang pertama yang membenarkan apa yang dating dari Allah melalui Sang Nabi, sang saudagar kaya yang telah mengorbankan jiwa, raga serta hartanya untuk dakwah Islam. Bagaimana Jabal Nur menjadi saksi bahwa jejak-jejak kaki sang mujahidah itu selalu mendarat setiap minggunya untuk menemui Sang Nabi yang sedang menyendiri dalam gua yang berbatu, Tidak banyak yang mengetahui tentang ini, jarang yang mencatat ceritanya, hanya tatapan matahari yang merekamnya kala itu, hanya gundukan bebatuan yang membentur jemari kakinya yang menjadi saksi perjuangan itu. Maka Sang mujahidahpun mewarnai dakwah ini dengan jiwa, raga, harta dan tenaga.


Tidak kalah menggetarkan sejarah. Kita mengenal Sa’ad bin Muadz as-siddiq yang menjadi pelopor pertama kebenaran wahyu yang dibawa Sang Rasul pada Kaum Anshar ini adalah putra dari sosok yang luar biasa Kabsyah binti Rafi’ bin Mu’awiyah. Sosok yang menawan sejarah dengan inisiatifnya untuk menjadi yang terdepan. Maka tercatat bahwa ia adalah perempuan yang terdepan menyadiakan kebutuhan bagi Sang Rasul saat ia hijrah ke Madinah, ia pula yang terus mendorong kedua anaknya untuk menjadi mujahid di medan perang, maka sosoknya menjadi motivator kebaikan yang mengantarkan kedua anaknya kepada keberkahan syahid.

Kita juga mengenal, Asma binti Abu Bakar, sosok yang tangguh itu turut menguatkan peran perempuan dalam kisah paling monumental dalam sejarah Rasul, Hijrah Sang Nabi ke Madinah. Masih ingatkah saudari tentang satu alur cerita tentang persembunyian nabi di sebuah gua yang di pintu masuknya terdapat jaring laba-laba yang telah mengelabui Kafir Quraisy, Satu kali lagi, perjuangan Asma yang tengah mengandung itu mendaki bukit sambil memanggul makanan, “Dzatinnitaqain” Sang pemilik dua bilah sabuk, panggilan yang indah itu disematkan kepadanya, dengan kegigihan dan ketangguhannya menguatkan langkah sang Nabi menuju masa depan Islam di Madinah. Maka sang mujahidahpun menyambung dakwah ini dengan ketangguhannya.

Tidak kalah mempesona, Aisyah binti Abu Bakar, satu-satunya Istri Nabi yang namanya diabadikan oleh Al-Qur’an, Istri yang paling dicintai Nabi sepeninggal Khodijah ini membuat sejarah Islam semakin mempesona di langit perjuangan. Aisyah yang selalu berada di sisi Nabi menjadi penyampai ilmu dari apa yang ia lihat, dari apa yang ia dengar., maka ia berhasil menangkap pelajaran dari Sang Qudwah. Sehingga dengan kecerdasannya saat ini beribu-ribu hadits mencatat namanya, maka dengan kecerdasannya pula para sahabat dapat merasakan madrasah ilmu yang luar biasa. Sang Mujahidahpun menawan dakwah ini dengan kecerdasannya.

Namun kini, kisah gemilang yang telah ditoreh para perempuan mulia itui seolah memburam. Kini tidak sedikit tinta hitam yang menetes dalam lembar sosok perempuan. Bagaimana perempuan dijadikan latar belakang kasus-kasus yang meruntuhkan peradaban. Saat seorang perempuan harus menjadi sosok paling berpengaruh dalam kesuksesan pemimpin rumah tangga, ia malah mejadi alasan kasus pengelapan uang negara. Ketika seorang perempuan yang harusnya menjadi penguat pondasi moral seorang anak, ia malah mencontohkan kebobrokan. Maka tidak heran, kasus kekerasan pemuda kini menjadi topik utama di media. Saat seorang perempuan dituntut untuk anggun dalam menjaga syariat agama yang memuliakannya, ia malah menjadi batu penghancur dalam mencerminkan kemuliaan yang dimilikinya dengan memamerkan keindahan dirinya. Maka, kini kertas kehidupan seorang perempuan seolah tidak memiliki warna yang putih lagi.

Sebagai seorang perempuan, tidak rindukah kita mendengar rekaman warisan perjuangan para perempuan yang mulia dalam langkah kita. Pesona perjuangan sang shahabiyah, patut menjadi refleksi perjuangan kita sebagai muslimah saat ini. Mulailah petakan langkah, dimana kaki kita akan berpijak, dimana tangan kita akan merangkul.

Menjadi seorang perempuan, bukan berarti mengharuskan kita hanya terpaku pada satu peran—Ibu Rumah Tangga. Sadar dan Tidak sadar, sebagai seorang perempuan memiliki dimensi yang luas. Dari satu peran, sebagai Ibu artinya adalah menjadi sosok yang tangguh, menyiapkan seluruh bekal perjuangan seorang suami serta anak-anak. Maka Asma dengan kekuatannya menjadi sandaran bagi kita sang penopang peran suami serta anak-anak kita di masyarakat. Dalam peran sebagai perempuan yang berdiri di belakang lelaki yang kokoh itu, kita juga tentu Tidak boleh melupakan, istri pertama Rasul, Khadijah RA, yang selalu menjadi jantung yang mengalirkan darah dalam setiap perjalanan dakwah Sang Rasul.

Menjadi seorang ibu artinya mengambil peran sebagai pembangun pondasi yang paling fundamental bagi peradaban, karena dari sentuhan nilai madrasah pertama ini lahir para sosok-sosok yang luar biasa yang mencemerlangkan tiap lembar sejarah. Seperti Kabsyah binti Rafi’ bin Mu’awiyah, yang selalu mendorong anaknya untuk ikut berjihad di medan perang, maka sejarah mencatat bahwa kedua putranya—Sa’ad bin Muadz dan Amru bin Muadz–syahid di medan perang. Dari nilai-nilai aqidah yang ditanamkannyalah Sa’ad bin Muadz menjadi As-Siddiq kedua yang membenaran ajaran yang dibawa Sang Rasul.

Dari peran madrasah pertama ini, berangkatlah peran-peran mulia lainnya. Sebagai perempuan artinya Tidak lepas dari para pendidik nilai-nilai kehidupan. Tentu, Aisyah RA. yang hafal 2210 hadist itu sangat pantas menjadi cermin kita sebagai seorang pendidik. Maka memenuhi kapasitas keilmuan menjadi sebuah keharusan, sehingga setelahnya kita dapat menyirami tunas-tunas peradaban yang akan tumbuh menjadi kebun yang rindang, menyejukkan dunia dengan wawasannya. Tidak hanya bagi keluarga, Aisyahpun berhasil menjadi pendidik para sahabat Rasul yang telah menancapkan tongggak-tonggak dakwah Islam ini.

Sebagai seorang perempuan, mari kita kokohkan kaki kita untuk melangkah dari satu peran ke peran lainnya, menjadi Asma binti Abu Bakar yang tangguh menopang kebutuhan hijrah Sang Rasul, menjadi Khadijah yang terampil berwirausaha serta mengelola keuangan untuk mengalirkan pundi-pundi bagi keberlangsungan dakwah Islam, menjadi Kabsyah yang selalu menjadi pelopor serta pendorong kebaikan itu, menginspirasi sejarah dengan semangatnya, menjadi Aisyah sang pendidik yang menguatkan risalah ini dengan ilmu yang ditanamkannya kepada para sahabat.

Sebagai seorang perempuan, mempersiapkan penguatan pondasi syariah, meningkatkan kapasitas keilmuan, mengasah keterampilan serta bekal yang akan menjadi penunjang sebagai madrasah pertama yang mempelopori peran-peran selanjutnya adalah mutlak adanya. Karena berawal dari sentuhan lembut seorang ibulah, akan tumbuh tunas-tunas yang akan merindangkan peradaban dan mencemerlangkan sejarah dengan kontribusinya.
“Sekali lagi, mulailah petakan langkah, dimana kaki kita akan berpijak, dimana tangan kita akan merangkul, karena sebagai seorang perempuan, dari langkah madrasah kita gemintang sejarah akan bercahaya….”

(Tiffany Fauzia Rizqa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *