Rifaldi Majid
Pendahuluan
Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada September 2019 berjumlah 24,79 juta dengan komposisi presentase penduduk miskin di pedesaan sebesar 12,60% atau 2 kali lipat dari persentase penduduk miskin di perkotaan yang sebesar 6,56%. Dari data yang sama, 49,41% rumah tangga miskin masih menggantungkan hidupnya di sektor pertanian (Badan Pusat Statistik, 2020b). Kemiskinan yang dialami petani adalah muara yang berakar dari masalah utama mendasar yaitu rendah dan terbatasnya pemilikan lahan akibat konversi ke sektor non pertanian (Irawan & Ariningsih, 2015) dan lemahnya permodalan karena tidak mampu memenuhi persyaratan administrasi dan jaminan sebagai syarat pembiayaan sehingga dinyatakan unbankable (Sudaryanto & Rusastra, 2006; Agrofarm, 2020; Ridwan, 2016; Moh’d, Mohammed, & Saiti, 2017).
Sementara itu, Indonesia memiliki potensi tanah wakaf yang besar dengan persebaran di 382.320 lokasi titik dan luas yang mencapai 51.261,22 hektare. Sayangnya, potensi tersebut dominannya masih digunakan untuk kegiatan konsumtif yang tidak menghasilkan imbal positif bagi ekonomi yakni 75% masjid dan mushola, lalu sekolah (10,68%), makam (4,45%), pesantren (3,49%), dan sisanya untuk aktivitas sosial sebesar 8,61% (Siwak, 2020). Potensi yang sama juga diikuti dengan besarnya potensi wakaf uang dan wakaf melalui uang yang mencapai angka 217 triliun (Badan Wakaf Indonesia, 2019; Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2020).
Keuangan syariah dengan segala keunikan, keadilan, dan keunggulan instrumennya memiliki potensi besar untuk dapat dioptimalkan sebagai upaya mengatasi masalah kemiskinan petani, diantaranya melalui implementasi akad Salam dan Muzara’ah. Sayangnya di Indonesia, implementasi akad Salam2
tertentu yang detail dan jelas kepada pembeli dengan
pembayaran dilakukan secara tunai (advance)
didepan dan barang akan diserahkan di masa depan sesuai kontrak (Al-Zuhaili,
2004).
sebagai sarana bagi petani mendapatkan modal awal bagi petani, masih belum optimal dan bahkan nihil (0%) dalam laporan rincian pembiayaan perbankan syariah terhitung sejak 2003 hingga Februari 2020 (Otoritas Jasa Keuangan, 2020). Demikian pula akad muzaraah yang merupakan bentuk kerjasama bagi hasil pemanfaatan dan penggarapan lahan pertanian antara pemilik lahan dan pengelola (Al-Zuhaili, 2004) belum mendapatkan perhatikan signifikan dari industri keuangan syariah di tengah peluang besar penduduk Indonesia yang mayoritasnya muslim dan berprofesi sebagai petani (Ridwan, 2016). Atas dasar hal tersebut, paper ini berupaya untuk mengajukan sebuah inovasi model integrasi pembiayaan dengan mengombinasi kekuatan instrumen akad salam, Muzara’ah, dan wakaf sebagai solusi penanggulangan akses permodalan petani dan keterbatasan lahan.
A Proposed Model
Penulis mengajukan sebuah model untuk mengintegrasikan potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing keuangan komersial dan sosial yang dikenal dengan Salam-Muzara’ah – Waqf Financing (SM-WF). Salam-Muzara’ah
– Waqf Financing (SM-WF) adalah model keuangan yang mengintegrasikan keuangan komersial dan sosial syariah yang tujuannya untuk mengatasi masalah kemiskinan petani kecil yang umumnya disebabkan karena keterbatasan akses modal dan lahan pertanian. Model ini diajukan utnuk diimplementasikan di lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang dalam hal ini tepatnya adalah baitul maal wat tamwil (BMT) atau koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) yang juga sebagiannya berperan sebagai nazhir wakaf uang.
Modus Operandi Salam-Muzara’ah – Waqf Financing
Operasional implementasi model Salam-Muzara’ah – Waqf Financing ditunjukkan dalam skema berikut:
Gambar 1. Modus Operandi Salam-Muzara’ah – Waqf Financing
(Sumber: Analisis Penulis)
Keterangan:
- BMT/KJKS
melakukan transaksi salam dengan
Petani. Petani
mendapatkan pembayaran tunai 100% di depan, dan barang akan
diserahkan kemudian sesuai perjanjian.
- Petani melakukan kontrak kerjasama muzara’ah atas pengelolaan tanah wakaf sebagai lahan pertanian. Dalam hal ini akad disepakati bersama antara petani dengan nazhir wakaf produktif. Penyediaan alat, mesin, bibit
dan perlengkapan pertanian bisa berasal dari nazhir wakaf (selaku
pengelola tanah)
atau dari petani.
Jika berasal dari petani, petani
dapat
menggunakan BMT/KJKS.
uang yang berasal
dari harga salam yang diperoleh dari
- Petani
menyerahkan hasil panen atas pengelolaan lahan dengan persentase bagi hasil
yang disepakati di awal akad kepada pemilik lahan (nazhir wakaf).
- Petani menyerahkan komoditas pesanan Salam sesuai spesifikasi, kualitas dan kuantitas kepada BMT/KJKS sesuai waktu yang ditentukan di awal.
- Setelah menerima komoditas yang dibeli, BMT/KJKS pasar.
menjualnya ke
- (6a) Nazhir wakaf menjual hasil panen yang diterima ke pasar. Ada dua bentuk yang dapat dilakukan:
- Nazhir
menjual langsung ke pasar;
- Setelah menerima dan menguasai barang, nazhir mewakilkan kepada petani untuk menjual barang ke pasar. Dalam hal ini petani mendapatkan upah/ujroh tersendiri atas aktivitas yang dilakukan.
(6b) Dalam hal BMT/KJKS (sebagai penjual) kekurangan jumlah komoditas yang akan diserahkan kepada pembeli (dengan menggunakan akad salam paralel), maka nazhir dapat menjual hasil panennya kepada BMT/KJKS, baik dengan menjual langsung atau diwakilkan kepada petani.
Dalam rangka melakukan mitigasi risiko, SM-WF memberikan solusi melalui pemanfaatan dana hasil pengelolaan wakaf uang. Petani yang membutuhkan bibit dan peralatan pertanian lainnya dapat melakukan transaksi murabahah lewat BMT/KJKS dengan hanya membayar pokok harga saja, sedangkan margin murabahah3 ditanggung dari dana hasil manfaat pengelolaan wakaf uang. Demikian pula, risiko kekurangan kuantitas komoditas yang akan diserahkan petani kepada BMT/KJKS akan disubsidi dari hasil panen yang dihasilkan petani di atas tanah wakaf (yang dilakukan dengan akad muzara’ah).
Selain itu, dana manfaat hasil pengelolaan wakaf uang yang diterima petani dari BMT/KJKS dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan harian dan atau tambahan dana untuk membeli komoditas pesanan BMT/KJKS dari pasar jika ternyata masih terdapat kekurangan jumlah komoditas yang akan diserahkan. Harapannya model ini dapat menjadi jembatan untuk menambah khazanah keilmuan keuangan syariah sekaligus mendorong inklusi keuangan syariah melalui inovasi produk dan pendalaman pasar keuangan komersial dan sosial syariah.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Model ini memiliki potensi untuk menguatkan peran BMT/KJKS dari sisi komersial dan juga sosial serta perannya sebagai nazhir wakaf uang. Potensi komunikasi dan interaksi juga dapat terwujudkan dengan BMT/KJKS dalam
kapasitasnya sebagai nazhir wakaf uang dengan nazhir wakaf produktif di daerah. Termasuk juga hal ini sebagai tantangan bagi nazhir wakaf uang yang menerima dana wakaf dari masyarakat untuk bisa memberikan image positif pengelolaan dan pendayagunaan wakaf yang bermanfaat dan berkelanjutan.
Model SM-WF memiliki implikasi yang besar terhadap inovasi produk dan pendalaman pasar keuangan syariah, inovasi pengelolaan dan penyaluran manfaat hasil pengelolaan wakaf uang dan produktif, serta upaya mitigasi risiko pembiayaan dengan menggunakan instrumen wakaf. Harapannya model ini dapat memberikan manfaat lebih kepada petani, meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Termasuk juga menghindarkan petani dari transaksi ribawi yang terlarang, akad dzolim, dan ketidakjelasan yang (umumnya) merugikan posisi petani.
REFERENSI
Agrofarm. (2020, March 21). Moeldoko: Ketersediaan Lahan Jadi Tantangan Pertanian Indonesia. Retrieved May 18, 2020, from agrofarm.co.id: https://www.agrofarm.co.id/2020/03/22000/
Al-Zuhaili, W. (2004). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (4th Edition ed.).
Damascus: Dar al-Fikr.
Badan Pusat Statistik. (2020a). PDB Indonesia Berdasarkan Lapangan Usaha.
Jakarta: Badan Pusat Stasitik.
Badan Pusat Statistik. (2020b). Berita Resmi Statistik 15 Januari 2020. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Wakaf Indonesia. (2019, October). Daftar Nazhir Wakaf Uang-Update Oktober 2019. Retrieved May 3, 2020, from bwi.go.id: https://www.bwi.go.id/3912/2019/10/pengumuman-bwi/daftar-nazhir- wakaf-uang-update-oktober-2019/
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. (2020, May 1). Kontribusi dan Solusi Zakat Wakaf di Masa Pandemi . Retrieved May 3, 2020, from bimasislam.kemenag.go.id: https://bimasislam.kemenag.go.id/materiliterasi/Sesi1-1.pdf
Irawan, B., & Ariningsih, E. (2015). Dinamika Kebijakan dan Ketersediaan Lahan Pertanian. Jakarta: Indonesian Agency for Agricultural Research and Development.
Moh’d, I. S., Mohammed, M. O., & Saiti, B. (2017). The problems facing agricultural sector in Zanzibar and the prospects of Waqf-Muzar’ah-supply chain model: the case of Clove Industry. Humanomics , 33 (2), 1-28.
Otoritas Jasa Keuangan. (2020). Statistik Perbankan Syariah. Jakarta: Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan Otoritas Jasa Keuangan.
Ridwan, A. A. (2016). Implementation Akad Muzara’ah in Islamic Bank: Alternative to Access Capital Agricultural Sector. Iqtishoduna , 7 (1), 34- 48.
Siwak. (2020). Data Tanah Wakaf . Retrieved June 3, 2020, from siwak.kemenag.go.id: http://siwak.kemenag.go.id/
Sudaryanto, T., & Rusastra, I. W.
(2006). Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Produksi
Dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal
Litbang Pertanian , 25 (4), 115-122.