Baru baru ini public dihebohkan dengan marketing yang dilakukan oleh salah satu perusahaan fashion islami khususnya untuk produk produk muslimah bahwa produknya merupakan produk yang mendapat sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk produk hijab. Tentu hal ini menjadi polemik tersendiri dikalangan hijabers.
Masyarakat di dunia maya dikagetkan dengan marketing yang dilakukan oleh perusahaan karena klaim yang dilakukannya mengundang sebuah logika yang kurang tepat, jika adanya hijab bersertifikasi halal maka selama ini hijab yang digunakan dari perusahaan sebelum tersertifikasi adalah haram. Logika yang dipakai ini tidak tepat sama sekali, dalam tulisan ini akan dijabarkan bagaimana yang sebenarnya dalam industri hijab dan sertifikasi yang dilakukan oleh MUI untuk industri hijab.
Polemik sertifikasi halal bahan hijab dan UU JPH
Industri hijab yang cukup kuat ternyata memaksa para industri untuk bersaing cukup kuat agar menjadi terpercaya bagi masyarakat, hal ini didukung dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) bahwa pada tahun 2019 akan diwajibkan semua produk di Indonesia untuk bersertifikasi halal barang dan/atau jasa yang terkait dengan produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat, dari penjelasan tersebut bahwa industri hijab bisa masuk ke produk kimiawi dan tentu dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa dalam sub bab tulisan ini menjelaskan “bahan hijab” bukan “hijab” saja? hal ini yang menjadi salah kaprah dimata masyarakat, ketika perusahaan yang mengklaim ini bahwa produk mereka adalah hijab halal pertama di Indonesia, masyarakat menganalogikannya bahwa sebelum adanya sertifikasi halal terhadap hijab ini seluruh produk produk hijab yang digunakan oleh masyarakat adalah hijab yang haram, pertama yang diluruskan adalah MUI ini mengeluarkan sertifikasi hanya khusus produk hijab dari perusahaan ini, bukan inisiatif MUI ingin memberikan sertifikasi halal terhadap produk ini.
Menjadi rahasia umum dikalangan industriawan bahwa sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI merupakan inisiatif dari para pembisnis dan MUI hanya memiliki kewajiban untuk melindungi masyarakat Indonesia yang merupakan mayoritas muslim agar terhindar dari produk produk dan tidak halal dan tidak thoyib, singkat cerita yang menjadi indikator halal dalam produk hijab ini adalah bukan dari produk hijabnya, tetapi bahan kainnya yang mengandung polistier, senyawa polistier dan polimer ada yang mengandung polimer hewani dan nabati, dalam proses pembuatan kain untuk menjadi kuat, elastis, atau panjang pasti melalui sebuah proses dan menggunakan campuran bahan lain, dan yang menjadi penelilitian utamanya adalah campuran bahan lain tersebut termasuk pewarnanya, sehingga ketika campuran bahannya tidak ada masalah, penggunaan bahan utama, dan prosesnya, LPPOM MUI akan membawanya ke rapat internal MUI untuk dibahas mengenai hasil penelitiannya untuk disertifikasi. Hasil dari penelitian LPPOM MUI bahwa bahan campuran yang digunakan tidak ada masalah, MUI akan mengeluarkan sertifikasi bahwa produk hijab tersebut halal yang mengandung arti bahan campuran yang digunakan sudah sesuai syariat islam berdasarkan sampel penelitian yang diambil oleh LPPOM MUI.
Mungkinkah Hijab Haram?
Masalah yang muncul kemudian logika yang digunakan oleh masyarakat adalah ada produk halal maka sisanya adalah haram, tentu ini logika yang harus diluruskan, seperti penjelasan sebelumnya produk disertifikasi halal itu karena keinginan dari pihak perusahaan hijab tersebut, bukan inisiatif dari MUI sendiri, bukan berarti mereka yang tidak mendapat sertifikasi halal dinyatakan haram, logika ini kita andaikan ada sebuah warung nasi padang X yang mendapatkan sertifikasi halal dari LPPOM MUI, lalu apakah ketika masyarakat tidak makan nasi padang di warung nasi X dikatakan telah makan makanan yang haram? Padahal kita tahu bahwa pemiliknya beragama Islam yang bisa dianalogikan bahwa pemilik tahu bagaimana mengelola dan menjual nasi padang yang halal, tentu hal ini tidak logis bukan, dan seperti produk hijab ini ketika produk hijabnya tersertifikasi halal bukan berarti yang lain itu haram, diharapkan masyarakat menggunakan logika yang tepat dalam hal yang sederhana ini.
Tidak terlepas dari kaidah fiqh muamalah bahwa “semua bentuk muamalah diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya” tentu yang menjadi larangan dalam produk hijab ini adalah bahan campurannya saja bukan secara objek keseluruhan dari hijab tersebut, dan sertifikasi yang dikeluarkan adalah hanya khusus produk tersebut dan tidak pernah LPPOM MUI mengeluarkan pernyataan bahwa ada hijab yang haram, padahal halal dan haram itu sudah jelas diatur, untuk itu sebelum adanya pernyataan LPPOM MUI mengenai adanya hijab haram karena bahan campurannya tidak sesuai syariat islam, masyarakat tentu tidak perlu panic dan was-was terhadap hijab yang digunakannya.
Bahkan rRasulallah SAW dan sahabat pernah menggunakan kain impor yang berasal dari Syam, Yaman, atau Mesir, padahal daerah daerah ini tersebut masih mengonsumsi khamr dan babi dan tidak dijumpai dalam riwayat bahwa rasul dan para sahabat memeriksa kesucian pakaian impor itu. Pemasaran yang baik akan memberikan pemahaman yang baik hasil terkuat dalam penulisan ini adalah yang menjadi masalah terbesar adalah bagaimana perusahaan tersebut memasarkan produk hijabnya yang telah bersertifikat halal untuk bahan campurannya dari LPPOM MUI dengan cara yang bijak dan tepat, ketika pemasaran yang tidak tepat akan menimbulkan pemahaman yang tidak dipungkiri akan terjadi sebuah logika yang menyesatkan dikalangan masyarakat kita sendiri.
Untuk itu bagi perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi halal harus bisa menggunakan bahasa yang tepat dalam pemasaran produknya, karena perusahaan yang menjual produk-produk untuk kebutuhan spiritual tidak hanya bahannya saja yang thoyib tetapi proses hingga pemasarannya pun harus thoyib, tidak menjatuhkan usaha lain dan harus bersikap sesuai tuntutan islam, karena islam itu terdiri dari 3 hal, aqidah,syariah dan akhlak.
Tentu disini akhlak atau tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik, memang tidak dipungkiri bahwa sertifikasi halal ini tujuannya adalah memberikan kenyamanan dan kepercayaan bagi konsumen, tetapi kenyamanan dan kepercayaan yang ada jangan sampai menimbulkan keraguan konsumen terhadap produk-produk sejenis yang belum memiliki sertifikasi halal dari MUI. Selain itu pemasaran yang baik tidak hanay datang dari perusahaan saja, tetapi LPPOM MUI juga perlu ikut andil untuk memberikan eduakasi atau informasi kepada para industriawan baik skala UMKM atau skala besar mengenai hal-hal apa saja yang tidak boleh dan dihindari untuk bahan campuran dan proses produksi, agar hijab yang digunakan itu menjadi lebih baik.
Diharapkan dengan adanya edukasi dan pengetahuan yang tepat bagi industri hijab akan memperkuat posisi tawar Indonesia di skala internasional dengan keyakinan secara nasional bahwa para industriawan hijab tahu bagaimana bahan hijab dan proses produksi hijab yang baik dan tepat sesuai dengan syariat islam.
Masyarakat jangan panik dan ragu-ragu untuk menggunakan hijabnya pasca adanya sertifikasi halal untuk bahan hijab, tentu kita harus apresiasi langkah ini untuk mendukung UU JPH dan tentu memberikan kebijaksanaan kepada MUI untuk mengedukasi kepada para industriawan agar tahu seperti apa bahan dan proses produksi hijab yang baik dan tepat, bukan sekedar memberikan sertifikasi saja kepada produk-produk industriawan. Tentu yang menjadi focus utama adalah bukan keributan yang tidak berujung mengenai sertifikasi halal untuk hijab ini tetapi bagaimana kita mengedukasi orang-orang disekitar kita untuk menggunakan pakaian-pakaian yang melindungi diri mereka, agar terhindar dari perbuatan-perbuatan jahat dari orang lain dan memberikan pemahaman yang baik bagaimana menjadi wanita muslimah yang baik, agar Indonesia ini menjadi lebih baik dan bermanfaat.