Oleh: Maratus Sholikha – KSEI SESCOM UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (Peserta Lomba Opini Ekonomi Syariah FoSSEI 2017)
Potensi pertanian di Indonesia cukup besar dan potensial untuk dikembangkan. Kondisi geografis menunjukkan bahwa wilayah Indonesia terdiri dari lahan pertanian yang cukup luas. Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merupakan negara agraris dengan komoditas pertanian yang unggul. Berikut ketahanan pangan tidak terlepas dari peran serta sektor pertanian. Sangat disayangkan, potensi besar tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik. Alih-alih memanfaatkan lahan tersebut justru para petani lebih suka menyewakan lahan pertaniannya. Selain itu, pada sektor pertanian praktik-praktik ribawi, gharar dan kerjasama yang menguntungkan sebagian pihak masih sangat mudah ditemukan di kalangan petani.
Berdasarkan studi di lapangan menunjukkan bahwa kerjasama bisnis antara masyarakat dan perusahaan cenderung hanya menguntungkan pihak perusahaan. Sistem kerjasama yang diterapkan adalah dengan sistem sewa lahan, perusahaan menawarkan harga sewa yang sangat rendah. Salah satu daerah di Malang misalnya melakukan sewa lahan dengan luas 3.000 meter dengan harga Rp 5.000.000/tahun sementara jika lahan pertanian dikelola secara mandiri oleh petani dengan lahan seluas 2250 meter dapat menghasilkan Rp 30.000.000 untuk satu kali tanam. Adapun dalam satu tahun petani bisa melakukan beberapa kali penanaman, setiap satu kali tanam hanya membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk siap panen .
Kebiasaan sewa menyewa lahan pertanian menyebabkan lahan tidak dikelola secara optimal oleh pemilik lahan. Ketika lahan pertanian disewakan, maka produktifitas sektor pertanian pemilik lahan akan terhenti. Sehingga hal ini akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani. Sewa lahan menyebabkan sikap malas pada diri petani. Petani cenderung mudah takut terhadap risiko yang akan dihadapi. Begitu juga dengan ketahanan pangan akan semakin rendah ketika produktifitas juga menurun sebagai akibat kurang optimalisasinya pemanfaatan potensi lahan pertanian. Selain itu, model kerjasama ini cenderung hanya menguntungkan satu pihak saja, sewa lahan tanpa melibatkan kerjasama petani dalam pengelolaan, akan cenderung lebih menguntungkan atau merugikan salah satu pihak.
Terkait penyewaan lahan untuk pertanian, dalam Islam terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih (fukaha’). Maka, dalam hal ini penulis tidak cenderung kepada salah satu pendapat karena pada dasarnya perbedaan itu merupakan bagian dari ijtihad dalam Islam yang diperbolehkan selama memiliki penguatan dalilnya masing-masing. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengambil pendapat “jalan tengah” dalam mengelola lahan pertanian, melalui sistem kerjasama bagi hasil pertanian atau melalui pembelian salam.
Sistem kerjasama bagi hasil, bisa menggabungkan antara tenaga dan modal kedua belah pihak. Pemilik lahan (petani) bisa berlaku sebagai pemilik modal dan pengelola, demikian juga halnya dengan perusahaan. Kedua belah pihak masing-masing menyertakan modal dan tenaga dalam pengelolaan sebuah bisnis/usaha (kerjasama inan). Sewa lahan dapat dikonversi sebagai penyertaan modal bagi petani.
Selama pengelolaan, maka petani akan mendapatkan transfer teknologi dalam mengelola lahan, pengelolaan hasil, dan pemasaran hasil produksi pertanian. Transfer teknologi sangat diperlukan dalam menunjang kemandirian petani. Oleh karena itu, perusahaan atau instansi pemerintah yang bekerja sama dengan petani perlu memberikan edukasi sehingga harapannya ketergantungan terhadap kerjasama tidak berlangsung lama.
Demikian juga kerjasama sistem salam, petani akan memperoleh hasil keuntungan tanpa dibuat bingung memasarkan hasil produksi pertanian yang harganya kadang sulit diprediksi. Kerjasama tersebut bisa dilakukan dengan perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Dana desa bisa digunakan secara bergulir bagi petani sebagai upaya optimalisasi potensi dan produktifitas lahan pertanian. Model kerjasama ini, menurut penulis akan lebih mendidik, baik melalui cara berfikir (pengetahuan dan motivasi) maupun dalam mengelola lahan pertaniannya (profesional dan etos kerja).
Kedua model kerja sama tersebut merupakan alternatif lain dari optimalisasi potensi lahan. Sejatinya masih banyak model kerjasama yang dianjurkan dalam Islam. Tentu hal itu menjadi pemahaman bersama bahwa penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh akan mampu mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan para petani yang saat ini cenderung menjadi pihak yang selalu dirugikan.
Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang membawa kemaslahatan, sistem yang tidak ada kedzaliman di dalamnya, sistem yang memberikan keadilan dan keberkahan melalui penerapannya. Kemaslahatan akan terwujud hanya dengan penerapan Islam secara kaffah melalui optimalisasi peran negara. Negara dalam hal ini bisa berperan sebagai ra’in atau pelayan umat. Melalui kebijakan berupa politik pertanian secara Islami pada sektor produksi (primer), sektor industri (sekunder) maupun sektor perdagangan dan jasa (tersier). Sehingga makna hakiki kesejahteraan akan dapat dirasakan oleh semua pihak lebih khusus oleh para petani.