Dewi Wahyu Setyo Rini
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2019
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia terus melakukan peningkatan dalam mengembangkan sistem ekonomi dengan prinsip syariah. Di Indonesia terdapat lembaga independent yang memiliki wewenang dalam hal pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyelidikan di sektor jasa keuangan dalam perekonomian Indonesia (Booklet Perbankan Indonesia, 2014). Dalam Roadmap Keuangan Syariah Indonesia 2015 2019, OJK mengungkapkan bahwa nilia luhur dan budaya bangsa Indonesia memiliki kesamaan dengan nilai ekonomi syariah. Sehingga tidak heran ketika beberapa pakar menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi tinggi menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Nilai luhur bangsa diungkapkan dalam point yang ada dalam setiap sila di Pancasila, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan dalam setiap tindakan, persatuan dan gotong royong, serta musyawarah secara mufakat untuk kesejahteraan umat. Sedangkan dalam prinsip ekonomi syariah nilai yang terkandung seperti al adl (keadilan), ukhuwah (persaudaraan), tawazun (keseimbangan) serta mashlahah (kemashlahatan). Nilai nilai tersebut memiliki tujuan yang sama dalam lingkup masyarakat luas yaitu menciptakan keadilan di masyarakat luas dengan membawa kemashlahatan bagi seluruh masyarakat.
Dalam Masterplan Arsitektur Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia (MAKSI) yang dirilis oleh BAPPENAS dalam Islam terdapat instrument penting pada sektor keuangan. Zakat merupakan salah satu rukun Islam ketiga yang memiliki dimensi tidak hanya pada ketauhidan atau keimanan individu, namun lebih luas dari itu zakat merupakan satu satunya rukun Islam yang memiliki dimensi pengaruh terhadap masyarakat terutama dalam bidang sosial dan ekonomi. Peran zakat sebagai instrument keuangan negara telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah SAW, di mana pada masa pemerintahan beliau zakat menjadi salah satu pendapatan utama negara yang kemudian disalurkan untuk kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut juga terus dilaksanakan oleh sahaabat Rasulullah. Pada masa salah satu sahabat yaitu Umar bin Abdul aziz, zakat menjadi instrument yang sangat penting hingga pada masanya sulit ditemukan masyarakat miskin yang layak diberikan zakat. Hal tersebut membuktikan peran zakat yang begitu luar biasa.
Suharto (2004) melakukan analisa pada kitab Al Amwal karya Abu Ubaid mengenai peran zakat terhadap keuangan public. Ditulisannya menyebutkan bahwa zakat memiliki dua karakter utama yakni sebagai karakter ibadah serta karakter politik. Karakter zakat sebagai ibadah ada pada firmanNya Qs At Taubah; 103 tentang kewajiban setiap umat islam untuk melakukan zakat. Berbeda dengan karakter ibadah, karakter politik membahas tentang hubungan zakat dengan negara atau pemerintahan.Seperti yang sudah disinggung di atas di mana pada masa Nabi dan sahabat pemerintahan suatu negara berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan zakat dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan (Shonhaji, 2014).
Di Indonesia, perhatian pemerintah akan potensi zakat sudah terlihat sejak dikeluarkannya UU No 30 tahu 1999 yang sekarang sudah diperbarui menjadi UU No 23 Tahun 2011. Upaya pemerintah untuk mewujudkan potensi zakat terus dilakukan, hal tersebut terbukti dengan adanya Intruksi Presiden (Inpres) No 3 Tahun 2014 yang mengatur tentang kewajiban Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk membayar zakat profesi. Oleh sebab itu, pantas kiranya ketika BAZNAS sudah menyebutkan bahwa zakat menjadi salah satu instrument keuangan inklusif di Indonesia. Keuangan inklusif adalah seluruh upaya yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan yang bersifat harga maupun non harga yang menghalangi ketidakmampuan masyarakat dalam mengkases layanan jasa keuangan, sehingga kemudian masyarakat dapat memanfaatkan layanan jasa keuangan yang ada.
Penetapan zakat sebagai salah satu instrument keuangan inklusif dikarenakan peran zakat sudah nampak secara konkrit dalam pengentasan kemiskinan. Puskas BAZNAS menyebutkan setidaknya terdapat empat peran zakat dalam pembangunan perkeonomian negara, yaitu: 1) memoderasi kesenjangan sosial, potensi zakat yang begitu besar diyakini akan mengurangi tingkat rasio gini di Indonesia ketika penghimpunan, pengelolaan dan distribusi dapat diwujudkan dengan benar. 2) membangkitkan ekonomi kerakyatan, hal ini berhubungan dengan pendistribusian zakat secara produktif dan kreatif yang sedang dioptimalkan. Distribusi ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mustahik dalam mencukupi kebutuhannya melalui usaha yang didirikan. 3) mendorong munculnya model terobosan dalam pengentasan kemiskinan, pemberdayaan melalui zakat diharapkan memunculkan etos kerja bagi mustahik yang belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehingga keadaan kemiskinan di Indonesia dapat diminimalisir dengan usahanya sendiri. 4) zakat menjadi sumber pendanaan pembangunan kesejahteraan umat di luar APBN dan APBD, potensi dana Rp 271 triliun setiap tahunnya dapat dipergunakan secara spesifik bagi mustahik. Ketika mampu dioptimalkan, maka potensi dana zakat ini dapat menjadi pelengkap agenda program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan melalui program yang dijalankan. Sehingga upaya penanggulangan tersebut dapat lebih optimal.
PEMBAHASAN
Optimalisasi zakat tidak dapat terealisasikan ketika hanya digalakkan oleh satu dua pihak, oleh sebab itu perlu adanya sinergi semua pihak yang memiliki pengaruh dalam upaya mengoptimalkan pengelolaan zakat utamanya pada penghimpunan. Mengingat potensi penerimaan zakat berasal dari beebrapa sektor yakni rumah tangga, perusahaan swasta, BUMN serta deposito dan tabungan (Firdaus et al, 2012). Sehingga perlu adanya sinergi beberapa pihak yang berkepentingan untuk mengoptimalkan potensi penghimpunan zakat.
BAZNAS sebagai Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) naungan pemerintah selalu melakukan evaluasi strategi dalam mengoptimalkan potensi zakat. Pada tahun 2018 zakat mempublikasikan roadmap startegi BAZNAS dalam meningkatkan upaya penghimpunanya, antara lain:
1. Konsolidasi kelembagaan yang tengah berjalan harus dapat dituntaskan dengan baik.
Hal ini berkaitan dengan penyesuaian implementasi operasional seluruh organisasi pengelola zakat dari BAZ pusat hingga ke kabupaten/kota serta selurus Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah terdaftar. Adanya UU No 23 Tahun 2011 seharusnya dapat menjadi acuan pelaksanaan pengelolaan zakat yang telah ditetapkan di Indonesia, sehingga keselarasan dalam pengelolaan zakat dapat tercapai. Selain itu, kesadaran amil pada setiap OPZ harus terus ditingkatkan, diharapkan setiap amil mampu mengelola secara maksimal OPZ yang dikelolanya.
Penanaman akan pentingnya zakat bagi perekonomian Indonesia juga harus tertanam pada jiwa setiap amil. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih mengingat menurut penelitian BAZNAS salah satu tingginya kesenjangan pada penghimpunan zakat dikarenakan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat masih rendah. Sehingga tidak jarang masyarakat yang lebih memilih menyalurkan zakatnya secara individu kepada mustahik. Walaupun hal demikian tidak dilarang dalam Islam, namun sungguh Rasulullahpun mencontohkan pembayaran zakat melalui amil (Islam, 2017). Beberapa alasan Rasulullah membayarkan zakat melalui amil seperti, zakat yang dikumpulkan berpotensi menjadi zakat produktif, menjamin kepastian dan kedisiplinan membayar zakat, menjaga kerendahan diri mustahik dan mencegah tumbuhnya riya’, serta zakat dapat dioptimalkan dengan penyaluran kepada delapan ashnaf(Islam, 2017).
2. Perlunya penguatan strategi penghimpunan dan penyaluran zakat secara nasional agar kesenjangan penghimpunan dan potensi dapat direduksi.
Lembaga pengelola zakat harus melakukan kolaborasi atau kerja sama dengan semua sektor yang memberikan pengaruh dalam perwujudan potensi tersebut. Potensi zakat di Indonesia berasal dari beberapa sektor yakni rumah tangga, perusahaan swasta, BUMN serta deposito dan tabungan. Strategi utama yang sedang dalam proses yakni tentang pemotongan pajak untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik individu yang bekerja disana maupun perusahaannya itu sendiri. Hal tersebut harus diikuti dengan kolaborasi terhadap sektor lain, seperti adanya kerja sama BAZNAS dan LAZ resmi dengan stakeholder keuangan yang memiliki wewenang terhadap institusi keuangan itu sendiri. Stakeholder yang memiliki pengaruh dalam semua hal yang berhubungan dengan lembaga keuangan seperti OJK, Bank Indonesia dan BAPPENAS. Melalui stakeholder stakeholder tersebut kendali edukasi dan penghimpunan zakat pada institusi keuangan sendiri lebih efektif. Diharapkan dengan demikian stakeholder terkait dapat mengimplementasikannya melalui ketetapan yang dibuatnya dengan menetapkan standarisasi institusi keuangan seperti apa yang wajib melakukan pembayaran zakat.
Selain itu BAZNAS dan LAZ resmi perlu memperkuat kerja sama dengan kementerian sosial sebagai media strategi penghimpunan zakat di perusahaan swasta maupun rumah tangga. Selain melalui stakeholder yang memiliki pengaruh, perlu adanya pengarahan dari muzakki muzakki yang sudah memiliki kesadaran tinggi untuk berzakat untuk melakukan persuasi terhadap lingkungannya yang memiliki kewajiban berzakat dan belum melaksanakannya. Jadi, lembaga pengelola zakat perlu memperkuat jaringan dengan muzakki bukan hanya untuk berzakat namun juga dalam upaya meningkatkan kesadaran calon muzakki lainnya. Berikut skema analisis sinergi berbagai stakeholder:
Dalam skema di atas, sinergi BAZNAS terhadap semua sektor diharapkan mampu mempengaruhi industri yang berada di bawahnya untuk melakukan pembayaran zakat. Terkai mekanisme pengumpulan disesuaikan dengan kebijakan stakeholder tersebut. Harapannya dengan adanya demikian para industri yang sudah menjadi muzakki dapat saling koordinasi untuk mengajak calon muzakki lain, sehingga penyaluran informasi dapat dilakukan secara vertical dan horizontal.
Peran peran stakeholder yang memiliki pengaruh terhadap semua sektor tersebut diharapkan dapat menjadi strategi kuat dalam mengurangi kesenjangan potensi dan realisasi penghimpunan zakat yang ada di Indonesia.
3. Rencana untuk mendirikan IIFSB (Islamic Inclusive Financial Service Board) pada tahun 2018 harus dikawal dengan baik.
IIFSB merupakan salah satu upaya kerja sama yang dilakukan BAZNAS oleh Bank Indonesia sebagai upaya penerapan standarisasi manajemen operasional lembaga pengelola zakat. Mengingat ketidakselarasan dalam pelaksanaan operasional masing masing lembaga pengelola zakat menjadi salah satu alasan minimnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat. Dengan adanya IIFSB diharapkan dapat memaksimalkan pengelolaan zakat, sehingga ketika penghimpunan zakat sudah optimal kemudian dikelola dengan maksimal tentu harapan masyarakat miskin berkurang dapat diwujudkan.
KESIMPULAN
Zakat sebagai salah stau instrument keuangan Islam yang memiliki potensi besar bagi penurunan jumlah masyarakat miskin yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, perlu adanya optimalisasi penghimpunan dan pengelolaan zakat di Indonesia. Karakter zakat politik yang sejak zaman Rasulullah diterapkan mampu menjadi solusi penguatan zakat di Indonesia. Mengingat Indonesia bukan negara Islam yang dapat mengutamakan instrument Islam sebagai sebuah aturan yang mutlak, mengharuskan adanya ketentuan lain yang mampu mengoptimalkan karakter zakat politik. Dengan demikian, penerapan sinergi beberapa stakeholder dalam rangka peningkatan optimalisasi pengelolaan zakat sangat tepat.
REFERENSI
Firdaus, M., Beik, I. S., Irawan, T., Juanda, B. (2012). Economic Estimation andDeterminations of Zakat Potential in Indonesia (Working Paper SeriesWP#1433-07). Jeddah: Islamic Research and Training Institute.
Islam, Mufatihatul. 2017. “5 Alasan Membayar Zakat Melalui Amil Zakat.” Editor Muhammad Nashir. https://suaramuslim.net/alasan-membayar-zakat-melalui-amil-zakat/. Diakses pada 17 Januari 2018 pukul 10.10 WIB.
Otoritas Jasa Keuangan. Booklet Perbankan Indonesia. (2014). Edisi 1. ISSN 1858 4233.
Pusat Kajian Strategis BAZNAS. 2018. Outlook Zakat Indonesia.
Pusat Kajian Strategis BAZNAS. 2018. Outlook Zakat Indonesia.
Shonhaji, Ahmad. (2014). Sejarah Kegemilangan Zakat. https://zakat.or.id/sejarah-kegemilangan-zakat/. Dipublikasikan pada 16 April, diakses pada 13 Januari 2018.Suharto, Ugi. 2004. Keuangan Publik Islam : Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah Yogyakarta).